Faktor Impulsif Pengaruhi Tingkat Konsumsi Barang
A
A
A
IMPULSIVE buying merupakan sebuah keputusan tidak terencana untuk membeli produk atau jasa. Bisa terjadi pada siapa pun dan di mana pun. Produk yang dibeli pun bisa bermacam-macam. Mulai dari baju, sepatu hingga makanan.
Tapi siapa yang menyangka kalau Ketua Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Asnawi Bahar juga kerap melakukan impulsive buying. Biasanya hal demikian terjadi ketika pengusaha asal Sumatera Barat itu bepergian untuk urusan bisnis di luar negeri.
"Kalau sedang ada tugas ke luar negeri biasanya suka masuk ke mal. Tujuannya sih sekadar lihat-lihat. Tapi ketika ada sale besar-besaran pada sepatu pasti beli," kata dia ketika dihubungi. Apalagi jika sepatu tersebut merupakan brand ternama di Indonesia atas dasar kualitasnya. Tidak pakai lama, sepatu tersebut sudah berada di dalam tas atau plastik di tangan Asnawi.
(Baca Juga: Mampu Meningkatkan Prestise Jadi Pertimbangan Membeli Produk
Sebagai pegiat pariwisata, pria kelahiran Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara pada 56 tahun lalu itu sadar betul bahwa impulsive buying sangat bermanfaat bagi perekonomian. Bahkan sejumlah brand berlomba-lomba membungkus produknya dengan baik dan menarik agar bisa menimbulkan keinginan masyarakat membeli produknya. Ini karena impulsive buying bukan lahir dari sebuah kebutuhan, tetapi dari mata yang tertarik melihat sebuah produk atau barang yang ditata dengan menarik. Apalagi dipadukan dengan warna senada, makin tersedotlah minat orang untuk membeli.
"Saya juga sering impulsive buying ketika mengantar anak atau istri berbelanja di mal. Daripada tidak berbuat apa-apa, lebih baik jalan-jalan. Tapi seringnya suka belanja juga, apalagi kalau melihat pakaian berwarna biru dengan motif menarik. Padahal tidak ada rencana," kata dia.
(Baca Juga: Memikat Konsumen dengan Diskon
Hal demikian tentu peluang bagi peritel untuk memperkenalkan produk-produk baru. Melalui komunikasi yang efektif di dalam toko dan program promosi, hal itu akan memengaruhi pilihan merek yang dibeli konsumen dan mendorong keputusan untuk belanja lebih banyak. Artinya hal tersebut meningkatkan potensi wisata belanja di Tanah Air.
Direktur Utama PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) Friderica Widyasari Dewi juga kerap melakukan impulsive buying. Tapi bedanya Frederica melakukannya pada saat-saat tertentu saja. Misalkan ketika sedang menunggu waktu berbuka puasa. "Kalau lagi puasa, terus belanja makanan buat buka. Apa saja suka dibeli," tuturnya melalui pesan pendek.
Biasanya ngabuburit dilakukannya bersama keluarga di sebuah pusat perbelanjaan. Entah mengapa, pada saat itu, ada saja makanan yang dibawanya pulang. Padahal Frederica tidak bisa makan banyak. Bagaimana dengan diskon? Perempuan yang sudah banyak pengalaman di bidang pasar modal ini mengaku hal itu tidak membuatnya impulsif.
(Baca Juga: Konsumen Offline Pentingkan Brand, Pembeli Online Lebih Rasional(amm)
Tapi siapa yang menyangka kalau Ketua Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Asnawi Bahar juga kerap melakukan impulsive buying. Biasanya hal demikian terjadi ketika pengusaha asal Sumatera Barat itu bepergian untuk urusan bisnis di luar negeri.
"Kalau sedang ada tugas ke luar negeri biasanya suka masuk ke mal. Tujuannya sih sekadar lihat-lihat. Tapi ketika ada sale besar-besaran pada sepatu pasti beli," kata dia ketika dihubungi. Apalagi jika sepatu tersebut merupakan brand ternama di Indonesia atas dasar kualitasnya. Tidak pakai lama, sepatu tersebut sudah berada di dalam tas atau plastik di tangan Asnawi.
(Baca Juga: Mampu Meningkatkan Prestise Jadi Pertimbangan Membeli Produk
Sebagai pegiat pariwisata, pria kelahiran Tanjung Balai, Asahan, Sumatera Utara pada 56 tahun lalu itu sadar betul bahwa impulsive buying sangat bermanfaat bagi perekonomian. Bahkan sejumlah brand berlomba-lomba membungkus produknya dengan baik dan menarik agar bisa menimbulkan keinginan masyarakat membeli produknya. Ini karena impulsive buying bukan lahir dari sebuah kebutuhan, tetapi dari mata yang tertarik melihat sebuah produk atau barang yang ditata dengan menarik. Apalagi dipadukan dengan warna senada, makin tersedotlah minat orang untuk membeli.
"Saya juga sering impulsive buying ketika mengantar anak atau istri berbelanja di mal. Daripada tidak berbuat apa-apa, lebih baik jalan-jalan. Tapi seringnya suka belanja juga, apalagi kalau melihat pakaian berwarna biru dengan motif menarik. Padahal tidak ada rencana," kata dia.
(Baca Juga: Memikat Konsumen dengan Diskon
Hal demikian tentu peluang bagi peritel untuk memperkenalkan produk-produk baru. Melalui komunikasi yang efektif di dalam toko dan program promosi, hal itu akan memengaruhi pilihan merek yang dibeli konsumen dan mendorong keputusan untuk belanja lebih banyak. Artinya hal tersebut meningkatkan potensi wisata belanja di Tanah Air.
Direktur Utama PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) Friderica Widyasari Dewi juga kerap melakukan impulsive buying. Tapi bedanya Frederica melakukannya pada saat-saat tertentu saja. Misalkan ketika sedang menunggu waktu berbuka puasa. "Kalau lagi puasa, terus belanja makanan buat buka. Apa saja suka dibeli," tuturnya melalui pesan pendek.
Biasanya ngabuburit dilakukannya bersama keluarga di sebuah pusat perbelanjaan. Entah mengapa, pada saat itu, ada saja makanan yang dibawanya pulang. Padahal Frederica tidak bisa makan banyak. Bagaimana dengan diskon? Perempuan yang sudah banyak pengalaman di bidang pasar modal ini mengaku hal itu tidak membuatnya impulsif.
(Baca Juga: Konsumen Offline Pentingkan Brand, Pembeli Online Lebih Rasional(amm)