Rombak Direksi Pertamina, Menteri BUMN Perlu Jelaskan ke Presiden

Senin, 19 Februari 2018 - 06:12 WIB
Rombak Direksi Pertamina,...
Rombak Direksi Pertamina, Menteri BUMN Perlu Jelaskan ke Presiden
A A A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo dianggap perlu memanggil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, terkait pergantian Direksi Pertamina. Pasalnya dinilai, banyak hal yang janggal dan perlu dijelaskan soal perombakan struktur direksi tersebut.

"Secara RUPS, tentu saja Kementerian BUMN yang bertanggung jawab. Panggil saja Menteri BUMN," kata Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa di Jakarta,

Pemanggilan tersebut, menurut Fabby sangat penting. Sebab, banyak keanehan dalam perubahan nomenklatur direksi yang diputuskan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pertengahan Februari 2018 lalu. Bukan hanya soal penghapusan posisi Direktur Gas yang semula dijabat Yenni Andayani. Namun, juga adanya dua jabatan baru, yaitu Direktur Pemasaran Retail serta Direktur Logistik, Supply Chain, Infrastruktur.

Keanehan pertama, soal waktu. Sebab, saat ini Pertamina sedang dalam proses holding BUMN Migas. Baru saja RUPS sebelumnya menegaskan rencana holding, namun pada RUPS berikut justru terjadi perombakan direksi.

"Serius tidak dengan holdingisasi tersebut? Kalau Pemerintah serius, seharusnya perubahan struktur bisa dilakukan setelah holding selesai. Itu lebih tepat. Kalau sekarang, apa urgensinya?" lanjut Fabby.

Selain persoalan waktu, Ia juga menyoroti perubahan struktur yang menjadi lebih gemuk. Sayangnya, penambahan dua direktur baru itu malah tidak sesuai dengan bisnis migas Pertamina. "Kok malah seperti bank. Kalau bank memang ada pemisahan pelanggan retail dan korporat. Tetapi Pertamina itu kan bisnisnya dari hulu ke hilir, yang harusnya terintegrasi dari hulu ke hilir," kata dia.

Fabby tidak menampik, bawa struktur baru seperti itu malah mengacaukan sistem internal Pertamina yang selama ini sudah berjalan baik. Struktur yang baru ini, membuat Pertamina tidak integrasi dari hulu ke hilir. "Jadi ada implikasi yang membuat antar direksi menjadi tidak sinkron. Selain itu, cost juga semakin besar," sambungnya.

Mengenai alasan perubahan susunan direksi yang disebut untuk mengatasi masalah kelangkaan LPG 3Kg, dirinya juga tidak sependapat. Menurutnya, kelangkaan gas melon bukan kesalahan Pertamina. Sebab, LPG 3 Kg merupakan komoditas subsidi. Dan dalam hal ini, ujarnya, Pertamina hanya melakukan distribusi sesuai kuota.

Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Berry Nahdian Furqon juga sependapat bahwa Menteri BUMN Rini Soemarno harus bertanggung jawab terhadap perubahan nomenklatur direksi Pertamina. Pasalnya, perubahan tersebut potensial berdampak pada lingkungan hidup. "Presiden harus meminta penjelasan Bu Menteri. Menteri BUMN yang bertanggung jawab atas semua ini," kata Berry.

Menurut Berry, penghapusan posisi Direktur Gas, sangat mungkin memunculkan gejolak pada industri migas. Antara lain, seperti yang dikhawatirkan kalangan industri, bahwa akan memunculkan ketidakpastian mengenai harga dan pasokan. Imbasnya, industri bisa mengalihkan penggunaan gas kepada bahan bakar lain yang mereka anggap lebih ekonomis, seperti solar atau batu bara.

Kalau ini terjadi, kata Berry, maka merupakan kemunduran. Dengan alasan menekan biaya produksi, industri bisa saja kembali pada bahan bakar fosil tersebut. Padahal seperti diketahui, solar dan batu bara akan menghasilkan emisi tinggi yang berdampak pada pemanasan global. Ini tentu berbeda dengan gas, yang jauh lebih bersih. "Lingkungan hidup akan terancam, hanya karena perombakan struktur direksi," tegasnya.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1052 seconds (0.1#10.140)