BI Beberkan Penyebab Pelemahan Nilai Tukar Rupiah
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan disebabkan karena pasar keuangan global tengah bergejolak.
Gejolak pasar uang global tersebut bahkan menyebabkan nilai tukar rupiah pada hari ini melemah ke level Rp13.800 per dolar AS.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Doddy Zulverdi mengatakan, pihaknya telah mengevaluasi apa yang terjadi dengan pasar keuangan global dan dampaknya terhadap pasar keuangan domestik dan nilai tukar. Salah satu penyebabnya adalah pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) AS pada akhir Januari 2018 lalu.
"Itulah saat kemudian setelah itu perkembangan pasar keuangan global baik pasar saham, obligasi, kemudian menjadi bergerak dengan cepat," katanya di Gedung BI, Jakarta, Kamis (1/3/2018).
Dari pertemuan tersebut, kata dia, pasar membaca bahwa arah kebijakan Negeri Paman Sam akan lebih ketat dan suku bunga acuan AS (The Fed) akan naik lebih cepat. Meskipun pasar sebelumnya telah memperkirakan The Fed akan naik tiga kali di tahun ini, namun pertemuan FOMC tersebut mengindikasikan kenaikan suku bunga The Fed akan lebih cepat dan bisa lebih dari tiga kali di tahun ini.
"Maka ketika FOMC muncul di akhir Januari dan menunjukkan pernyataan The Fed lebih yakin naikkan suku bunga, membuat market melakukan penyesuaian terhadap ekspektasi suku bunga ke depan," imbuh dia.
Selain pertemuan FOMC tersebut, lanjutnya, hal lain yang menyebabkan gejolak tesebut adalah adalah peristiwa penghentian aktivitas pemerintahan (government shutdown). Selain itu, adanya kesepakatan yang menambah ruang bagi defisit di AS sekitar USD200 miliar.
"Selain faktor tax reform yang disetujui akhir tahun lalu, itu semua menimbulkan ekspektasi yield di AS akan semakin naik. Supply bond dan obligasi di AS akan membengkak. Ini kemudian kombinasi arah pernyataan The Fed, fakta defisit fiskal di AS semakin besar, menyebabkan ekspektasi kenaikan suku bunga makin kuat," tuturnya.
Terlebih, pada awal Februari data-data di AS seperti upah dan produksi terlihat positif. Sehingga, pasar membaca bahwa kenaikan suku bunga AS diperkirakan bisa lebih dari tiga kali.
"Kombinasi faktor ini kemudian menyebabkan pasar keuangan global bergejolak. Sempat terjadi koreksi harga saham di AS 4-6% dalam sehari, karena memang kekhawatiran suku bunga tadi. Kemudian waktu Powell pidato juga saham AS jatuh. Karena pasar AS sangat dominan, pasti akan ada rembesan ke pasar keuangan global. Karena kalau ada kenaikan suku bunga, maka dana yang berputar di dunia akan menyusut dan kembali ke AS," paparnya.
Gejolak pasar uang global tersebut bahkan menyebabkan nilai tukar rupiah pada hari ini melemah ke level Rp13.800 per dolar AS.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Doddy Zulverdi mengatakan, pihaknya telah mengevaluasi apa yang terjadi dengan pasar keuangan global dan dampaknya terhadap pasar keuangan domestik dan nilai tukar. Salah satu penyebabnya adalah pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) AS pada akhir Januari 2018 lalu.
"Itulah saat kemudian setelah itu perkembangan pasar keuangan global baik pasar saham, obligasi, kemudian menjadi bergerak dengan cepat," katanya di Gedung BI, Jakarta, Kamis (1/3/2018).
Dari pertemuan tersebut, kata dia, pasar membaca bahwa arah kebijakan Negeri Paman Sam akan lebih ketat dan suku bunga acuan AS (The Fed) akan naik lebih cepat. Meskipun pasar sebelumnya telah memperkirakan The Fed akan naik tiga kali di tahun ini, namun pertemuan FOMC tersebut mengindikasikan kenaikan suku bunga The Fed akan lebih cepat dan bisa lebih dari tiga kali di tahun ini.
"Maka ketika FOMC muncul di akhir Januari dan menunjukkan pernyataan The Fed lebih yakin naikkan suku bunga, membuat market melakukan penyesuaian terhadap ekspektasi suku bunga ke depan," imbuh dia.
Selain pertemuan FOMC tersebut, lanjutnya, hal lain yang menyebabkan gejolak tesebut adalah adalah peristiwa penghentian aktivitas pemerintahan (government shutdown). Selain itu, adanya kesepakatan yang menambah ruang bagi defisit di AS sekitar USD200 miliar.
"Selain faktor tax reform yang disetujui akhir tahun lalu, itu semua menimbulkan ekspektasi yield di AS akan semakin naik. Supply bond dan obligasi di AS akan membengkak. Ini kemudian kombinasi arah pernyataan The Fed, fakta defisit fiskal di AS semakin besar, menyebabkan ekspektasi kenaikan suku bunga makin kuat," tuturnya.
Terlebih, pada awal Februari data-data di AS seperti upah dan produksi terlihat positif. Sehingga, pasar membaca bahwa kenaikan suku bunga AS diperkirakan bisa lebih dari tiga kali.
"Kombinasi faktor ini kemudian menyebabkan pasar keuangan global bergejolak. Sempat terjadi koreksi harga saham di AS 4-6% dalam sehari, karena memang kekhawatiran suku bunga tadi. Kemudian waktu Powell pidato juga saham AS jatuh. Karena pasar AS sangat dominan, pasti akan ada rembesan ke pasar keuangan global. Karena kalau ada kenaikan suku bunga, maka dana yang berputar di dunia akan menyusut dan kembali ke AS," paparnya.
(fjo)