Pekerja Freeport Beberkan Nasib Karyawan yang Mogok Kerja
A
A
A
JAKARTA - Nasib ribuan pekerja PT Freeport Indonesia yang melakukan mogok kerja sejak 1 Mei 2017 semakin tidak jelas. Sudah 10 bulan mereka tidak mendapatkan upah, perlindungan kesehatan dari BPJS dan tidak dapat mengakses rekening pribadi di bank.
Hal ini diungkapkan Dedi Mukhlis, perwakilan panitia mogok massal pekerja PT Freeport Indonesia di Timika, Papua saat konferensi pers di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (11/3/2018). Akibat tidak mendapat perlindungan BPJS dan tanpa uang di tangan, kata Dedi, hingga saat ini sudah ada 16 pekerja meninggal dunia karena sakit.
"BPJS distop padahal kami belum tanda tangan berhenti bekerja di Freeport," kata Dedi didampingi salah satu kuasa hukumnya dari Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia, Lokataru, Nurkholis Hidayat.
Menurut Dedi, pemogokan massal sebenarnya respons atas kebijakan Freeport merumahkan 1.000-an pekerja pada awal 2017. Tidak ada alasan yang jelas dalam pengambilan kebijakan tersebut. Sebab di antara pekerja yang dirumahkan adalah karyawan rajin dan bekerja di divisi produksi. Setelah ditelusuri, ternyata mereka yang dirumahkan adalah perwakilan pekerja yang kritis.
Langkah perusahaan tambang itu dinilai melanggar kesepakatan New Era pada 2014 yang menyatakan bahwa setiap kebijakan manajemen harus dimusyarahkan dengan serikat pekerja. "Kami protes karena Freeport telah melanggar kesepakatan," ujarnya.
Yang menjadi aneh, ribuan pekerja yang ikut mogok massal lantaran protes atas kebijakan merumahkan karyawan malah dianggap mengundurkan diri, sehingga tidak lagi mendapatkan hak-haknya. "Kami tidak pernah tanda tangan berhenti bekerja dan tidak ada catatan pemberhentian kerja di Disnaker," katanya.
Nurkholis menambahkan, tidak hanya gaji pekerja yang distop, akun BPJS dibekukan dan rekening bank juga diblokir. Menurut keterangan yang diterima, itu semua merupakan permintaan dari PT Freeport. Banyak yang menjadi korban akibat kebijakan Freeport tersebut. Dua orang bunuh diri karena tidak kuat dengan penderitaan yang dialami dan 35 keluarga terusir dari kontrakan lantaran tidak bisa membayar sewa. "40 anak pekerja terpaksa putus sekolah karena sudah tidak memiliki biaya," katanya.
Sementara itu, Anwar Sastro Ma'ruf dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) mengatakan, langkah yang dilakukan PT Freeport merupakan pemberangusan terhadap serikat pekerja yang sistematis. Kebijakan itu sudah direncanakan dan sangat erat kaitannya dengan masa kontrak karya yang hampir habis.
Menurutnya, ada dua tujuan yang ingin dicapai dari langkah tersebut. Pertama, memberangus serikat pekerja. Kedua, membangun opini bahwa akan ada banyak korban jika kontrak karya benar-benar tidak diperpanjang. Adapun keuntungan yang akan diperoleh PT Freeport adalah kontrak karya akan diperpanjang, dan setelah itu tidak ada serikat pekerja yang kritis.
"Yang penting dilakukan saat ini adalah melakukan penekanan ke PT Freeport, Kemenaker/disnaker, termasuk TNI/Polri. Kita tahu selama ini Freeport ini pundi-pundi emas, pundi-pundi harta yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Ini harus diungkap," katanya.
Hal ini diungkapkan Dedi Mukhlis, perwakilan panitia mogok massal pekerja PT Freeport Indonesia di Timika, Papua saat konferensi pers di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (11/3/2018). Akibat tidak mendapat perlindungan BPJS dan tanpa uang di tangan, kata Dedi, hingga saat ini sudah ada 16 pekerja meninggal dunia karena sakit.
"BPJS distop padahal kami belum tanda tangan berhenti bekerja di Freeport," kata Dedi didampingi salah satu kuasa hukumnya dari Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia, Lokataru, Nurkholis Hidayat.
Menurut Dedi, pemogokan massal sebenarnya respons atas kebijakan Freeport merumahkan 1.000-an pekerja pada awal 2017. Tidak ada alasan yang jelas dalam pengambilan kebijakan tersebut. Sebab di antara pekerja yang dirumahkan adalah karyawan rajin dan bekerja di divisi produksi. Setelah ditelusuri, ternyata mereka yang dirumahkan adalah perwakilan pekerja yang kritis.
Langkah perusahaan tambang itu dinilai melanggar kesepakatan New Era pada 2014 yang menyatakan bahwa setiap kebijakan manajemen harus dimusyarahkan dengan serikat pekerja. "Kami protes karena Freeport telah melanggar kesepakatan," ujarnya.
Yang menjadi aneh, ribuan pekerja yang ikut mogok massal lantaran protes atas kebijakan merumahkan karyawan malah dianggap mengundurkan diri, sehingga tidak lagi mendapatkan hak-haknya. "Kami tidak pernah tanda tangan berhenti bekerja dan tidak ada catatan pemberhentian kerja di Disnaker," katanya.
Nurkholis menambahkan, tidak hanya gaji pekerja yang distop, akun BPJS dibekukan dan rekening bank juga diblokir. Menurut keterangan yang diterima, itu semua merupakan permintaan dari PT Freeport. Banyak yang menjadi korban akibat kebijakan Freeport tersebut. Dua orang bunuh diri karena tidak kuat dengan penderitaan yang dialami dan 35 keluarga terusir dari kontrakan lantaran tidak bisa membayar sewa. "40 anak pekerja terpaksa putus sekolah karena sudah tidak memiliki biaya," katanya.
Sementara itu, Anwar Sastro Ma'ruf dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) mengatakan, langkah yang dilakukan PT Freeport merupakan pemberangusan terhadap serikat pekerja yang sistematis. Kebijakan itu sudah direncanakan dan sangat erat kaitannya dengan masa kontrak karya yang hampir habis.
Menurutnya, ada dua tujuan yang ingin dicapai dari langkah tersebut. Pertama, memberangus serikat pekerja. Kedua, membangun opini bahwa akan ada banyak korban jika kontrak karya benar-benar tidak diperpanjang. Adapun keuntungan yang akan diperoleh PT Freeport adalah kontrak karya akan diperpanjang, dan setelah itu tidak ada serikat pekerja yang kritis.
"Yang penting dilakukan saat ini adalah melakukan penekanan ke PT Freeport, Kemenaker/disnaker, termasuk TNI/Polri. Kita tahu selama ini Freeport ini pundi-pundi emas, pundi-pundi harta yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Ini harus diungkap," katanya.
(amm)