Jangan Sampai Menembus Level Psikologis
A
A
A
PELEMAHAN rupiah yang terjadi sepanjang dua bulan pertama tahun ini mulai menunjukkan kedigdayaan. Anjloknya nilai mata uang Garuda itu mampu menyedot cadangan devisa (cadev) yang ada di Bank Indonesia (BI). Jika pada Januari posisi cadev masih sebesar US$131,98 miliar, pada akhir Februari kemarin angkanya tinggal US$128,06 miliar. Jadi, dalam sebulan, cadev kita amblas sebanyak US$3,9 miliar.
Dalam keterangan persnya, BI menyatakan bahwa penurunan cadev tersebut terutama dipengaruhi oleh penggunaan devisa untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah. Kendati menjaga rupiah ditempatkan di "peringkat kedua" sebagai penyebab penurunan, toh sulit untuk menampik bahwa pengurangan cadev itu utamanya karena melemahnya rupiah.
Di sepanjang dua bulan pertama kemarin, bahkan sampai awal Maret, rupiah tetap mengalami pelemahan. Pada penutupan perdagangan Kamis pekan lalu, berdasarkan kurs tengah BI, rupiah berada di level Rp13.774. Angka itu melemah sebesar 1,7% jika dibandingkan pada penutupan perdagangan hari pertama 2018.
Bank sentral sendiri menyatakan bahwa gejolak nilai tukar rupiah sepanjang awal tahun ini menunjukkan angka yang cukup tinggi. BI mencatat volatilitas rupiah mencapai angka 8%. "Tahun ini sampai dua bulan pertama volatilitas naik di rupiah," kata Doddy Zulverdi, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI.
Toh demikian, BI menyatakan bahwa volatalitas rupiah itu masih lebih baik dibanding mata uang beberapa negara lain. Yuan, misalnya, yang volatilitasnya mencapai hampir 10%, won (Korea Selatan) 9%, peso (Filipina) 9,7%, serta baht Thailand sebesar 10%. “Rendahnya volatilitas rupiah dibanding negara-negara lain merupakan cerminan BI dalam membantu stabilitas,” tambah Doddy.
Apa sebenarnya faktor yang menyebabkan pelemahan rupiah dan bagaimana langkah pemerintah dalam upaya menyelamatkan rupiah? Simak laporan selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi 02-07 Tahun 2018 yang terbit Senin (12/3/2018) hari ini.
Dalam keterangan persnya, BI menyatakan bahwa penurunan cadev tersebut terutama dipengaruhi oleh penggunaan devisa untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan stabilisasi nilai tukar rupiah. Kendati menjaga rupiah ditempatkan di "peringkat kedua" sebagai penyebab penurunan, toh sulit untuk menampik bahwa pengurangan cadev itu utamanya karena melemahnya rupiah.
Di sepanjang dua bulan pertama kemarin, bahkan sampai awal Maret, rupiah tetap mengalami pelemahan. Pada penutupan perdagangan Kamis pekan lalu, berdasarkan kurs tengah BI, rupiah berada di level Rp13.774. Angka itu melemah sebesar 1,7% jika dibandingkan pada penutupan perdagangan hari pertama 2018.
Bank sentral sendiri menyatakan bahwa gejolak nilai tukar rupiah sepanjang awal tahun ini menunjukkan angka yang cukup tinggi. BI mencatat volatilitas rupiah mencapai angka 8%. "Tahun ini sampai dua bulan pertama volatilitas naik di rupiah," kata Doddy Zulverdi, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI.
Toh demikian, BI menyatakan bahwa volatalitas rupiah itu masih lebih baik dibanding mata uang beberapa negara lain. Yuan, misalnya, yang volatilitasnya mencapai hampir 10%, won (Korea Selatan) 9%, peso (Filipina) 9,7%, serta baht Thailand sebesar 10%. “Rendahnya volatilitas rupiah dibanding negara-negara lain merupakan cerminan BI dalam membantu stabilitas,” tambah Doddy.
Apa sebenarnya faktor yang menyebabkan pelemahan rupiah dan bagaimana langkah pemerintah dalam upaya menyelamatkan rupiah? Simak laporan selengkapnya di Majalah SINDO Weekly Edisi 02-07 Tahun 2018 yang terbit Senin (12/3/2018) hari ini.
(amm)