Industri Tembakau Lokal Butuh Regulasi Pelindung
A
A
A
JAKARTA - Petani tembakau membutuhkan regulasi yang mengerti kebutuhan petani tembakau dan perusahaan rokok lokal. Hal itu menjadi urgensi diterbitkannya UU Pertembakauan. Ketua Pansus RUU Pertembakauan DPR RI Firman Subagyo mengatakan, ada banyak negara asing yang sangat berkepentingan agar industri tembakau di Indonesia segera mati.
Dia menilai ada berbagai kasus yang berusaha menjelek-jelekkan industri tembakau dalam negeri. Beberapa isu muncul seperti somasi dari perokok kepada PT Djarum dan PT Gudang Garam Tbk, kemudian tembakau pada rokok kretek yang berkadar nikotin tinggi. “Ini berisiko mengganggu penghasilan petani. Kita memerlukan regulasi yang berpihak kepada petani tembakau dan perusahaan rokok lokal,” ujar Firman di Jakarta, Selasa (20/3/2018).
Politisi Golkar ini mencatat, berdasarkan data Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), 90% penerimaan cukai berasal dari industri hasil tembakau (IHT). Sejak 2004 hingga 2017, penerimaan cukai terus mengalami peningkatan. Tahun lalu, pemerintah bahkan sampai menaikkan tarif cukai untuk mengejar target penerimaan dari hasil tembakau sebesar Rp146,4 triliun.
Dalam APBN 2017, pendapatan negara dari cukai rokok mencapai Rp149,9 triliun, naik 6% dari APBN Perubahan 2016. Penerimaan cukai rokok ini setara dengan 10 % target pendapatan pajak 2017 yang sebesar Rp1.498 triliun. ”Ini yang sering saya katakan, industri tembakau yang jelas memberi sumbangan besar kepada negara, masak mau dimatikan? Berapa banyak petani dan buruh yang akan kehilangan pekerjaan,” katanya.
Lebih lanjut dia menyayangkan upaya somasi sebesar Rp1 Triliun oleh seorang pecandu rokok ke PT Gudang dan PT Djarum. Menurutnya itu adalah tindakan tidak tepat dan mengada-ada karena tidak ada paksaan untuk masyarakat agar merokok. Ditambah lagi asap rokok juga tidak lebih berbahaya jika dibandingkan dengan asap pabrik maupun asap kendaraan.
”Tidak tepat melayangkan somasi itu. Merokok kan hak tiap-tiap individu, yang di dalamnya tidak ada unsur paksaan dari produsen rokok. Kalau dianggap membahayakan kesehatan, setiap saat yang bersangkutan bisa memutuskan berhenti. Kalau perokok menyalahkan perusahaan rokok itu mengada-ada,” kata Firman.
Anggota Komisi IV DPR RI ini berharap upaya mensomasi perusahaan rokok itu tidak dilanjutkan. Karena hal tersebut menurutnya tidak sejalan dengan kepentingan untuk mengembangkan industri pertembakauan. ”Industri tembakau, sebagai bahan baku rokok, memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan negara. Industri tembakau diharapkan dapat terus berkembang karena bersinggungan dengan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Firman menambahkan, perlunya industri tembakau dikembangkan karena industri ini memiliki keterkaitan dengan tiga aspek sekaligus, yakni ekonomi, sosial, dan budaya. ”Di sini RUU Pertembakauan menjadi penting karena diperlukan untuk melindungi petani tembakau dan pengusaha rokok lokal dari intervensi produk asing yang masuk ke Indonesia,” lanjutnya.
Terkait RUU Pertembakauan, DPR sampai saat ini masih terus mencari masukan dari berbagai pihak agar tidak ada yang dirugikan jika RUU tersebut diundangkan. Februari 2018 lalu, pansus membagi tiga timnya untuk mencari masukan di Jawa dan luar Jawa. Khusus di Jawa, pansus memfokuskan kegiatan dengan mengunjungi tiga pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah yaitu ke PT Djarum, Norojono dan PR Sukun.
Dia menilai ada berbagai kasus yang berusaha menjelek-jelekkan industri tembakau dalam negeri. Beberapa isu muncul seperti somasi dari perokok kepada PT Djarum dan PT Gudang Garam Tbk, kemudian tembakau pada rokok kretek yang berkadar nikotin tinggi. “Ini berisiko mengganggu penghasilan petani. Kita memerlukan regulasi yang berpihak kepada petani tembakau dan perusahaan rokok lokal,” ujar Firman di Jakarta, Selasa (20/3/2018).
Politisi Golkar ini mencatat, berdasarkan data Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu), 90% penerimaan cukai berasal dari industri hasil tembakau (IHT). Sejak 2004 hingga 2017, penerimaan cukai terus mengalami peningkatan. Tahun lalu, pemerintah bahkan sampai menaikkan tarif cukai untuk mengejar target penerimaan dari hasil tembakau sebesar Rp146,4 triliun.
Dalam APBN 2017, pendapatan negara dari cukai rokok mencapai Rp149,9 triliun, naik 6% dari APBN Perubahan 2016. Penerimaan cukai rokok ini setara dengan 10 % target pendapatan pajak 2017 yang sebesar Rp1.498 triliun. ”Ini yang sering saya katakan, industri tembakau yang jelas memberi sumbangan besar kepada negara, masak mau dimatikan? Berapa banyak petani dan buruh yang akan kehilangan pekerjaan,” katanya.
Lebih lanjut dia menyayangkan upaya somasi sebesar Rp1 Triliun oleh seorang pecandu rokok ke PT Gudang dan PT Djarum. Menurutnya itu adalah tindakan tidak tepat dan mengada-ada karena tidak ada paksaan untuk masyarakat agar merokok. Ditambah lagi asap rokok juga tidak lebih berbahaya jika dibandingkan dengan asap pabrik maupun asap kendaraan.
”Tidak tepat melayangkan somasi itu. Merokok kan hak tiap-tiap individu, yang di dalamnya tidak ada unsur paksaan dari produsen rokok. Kalau dianggap membahayakan kesehatan, setiap saat yang bersangkutan bisa memutuskan berhenti. Kalau perokok menyalahkan perusahaan rokok itu mengada-ada,” kata Firman.
Anggota Komisi IV DPR RI ini berharap upaya mensomasi perusahaan rokok itu tidak dilanjutkan. Karena hal tersebut menurutnya tidak sejalan dengan kepentingan untuk mengembangkan industri pertembakauan. ”Industri tembakau, sebagai bahan baku rokok, memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan negara. Industri tembakau diharapkan dapat terus berkembang karena bersinggungan dengan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Firman menambahkan, perlunya industri tembakau dikembangkan karena industri ini memiliki keterkaitan dengan tiga aspek sekaligus, yakni ekonomi, sosial, dan budaya. ”Di sini RUU Pertembakauan menjadi penting karena diperlukan untuk melindungi petani tembakau dan pengusaha rokok lokal dari intervensi produk asing yang masuk ke Indonesia,” lanjutnya.
Terkait RUU Pertembakauan, DPR sampai saat ini masih terus mencari masukan dari berbagai pihak agar tidak ada yang dirugikan jika RUU tersebut diundangkan. Februari 2018 lalu, pansus membagi tiga timnya untuk mencari masukan di Jawa dan luar Jawa. Khusus di Jawa, pansus memfokuskan kegiatan dengan mengunjungi tiga pabrik rokok di Kudus, Jawa Tengah yaitu ke PT Djarum, Norojono dan PR Sukun.
(akr)