Dorong Investasi, Sektor Hulu Migas Tunggu Insentif Pajak
A
A
A
JAKARTA - Guna mempercepat arus investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas), pemerintah dinilai perlu menyiapkan insentif pajak bagi investor. Dalam hal ini, pemerintah diminta tidak berfokus pada upaya meningkatkan pendapatan, namun berupaya menciptakan iklim investasi yang menarik bagi para penanam modal di sektor hulu migas.
"Jadi di sini pemerintah bukan hanya regulator tapi juga fasilitator, membantu industri hulu migas supaya tidak mati. Di saat ekonomi melambat pasti butuh insentif," kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo di acara diskusi bertajuk "Mendongkrak Daya Saing Global demi Kontribusi Maksimal Industri Migas Nasional" di Jakarta, Rabu (4/4/2018).
Dia menilai, industri hulu migas bisa dimasukkan dalam kategori industri pionir yang patut memperoleh insentif. Pasalnya, tak hanya padat teknologi, industri ini juga padat modal untuk kegiatan eksplorasi, eksploitasi, serta implementasi teknologi baru. Yustinus yakin, jika diberikan insentif pajak, investasi hulu migas di Indonesia yang saat ini terpuruk akan kembali bergairah.
Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong. Menurut dia, pelaku industri hulu migas antusias menanti aturan kebijakan pembebasan pajak dari Kementerian Keuangan.
"Saya ingin memastikan kalau industri migas itu butuh tax holiday. Kalau tax holiday diterapkan tentu akan menggairahkan investasi," tegasnya.
Namun, berdasarkan riset dari ReforMiners Institute, industri hulu migas belum memperoleh keringanan pajak karena terganjal status usaha. Untuk saat ini industri hulu migas masuk dalam status Badan Usaha Tertentu (BUT), sedangkan keringanan pajak diberikan kepada industri berstatus Perseroan Terbatas (PT).
Terkait dengan itu, Marjolijn menyerahkan sepenuhnya masalah tersebut kepada pemerintah. Meski begitu, dia berharap, pemerintah dapat segera menyelesaikan masalah itu sehingga industri hulu migas juga dapat merasakan manfaat dari insentif pajak.
"Sebenarnya itu tergantung pemerintah. Ketika ada hal-hal yang masih jadi hambatan pemerintah bisa bikin aturannya," kata dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiners Institute Komaidi Notonegoro menilai, harga minyak yang kini mencapai USD65 per barel menjadi momentum pemerintah untuk memberikan insentif bagi industri hulu migas. Tidak hanya itu, dia juga berharap pemerintah membenahi mata rantai birokrasi, mulai dari proses eksplorasi, produksi hingga distribusi.
"Selain itu, yang menjadi masalah saat ini terkait kepastian hukum yaitu berupa revisi UU Migas yang belum selesai di DPR," imbuhnya.
"Jadi di sini pemerintah bukan hanya regulator tapi juga fasilitator, membantu industri hulu migas supaya tidak mati. Di saat ekonomi melambat pasti butuh insentif," kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo di acara diskusi bertajuk "Mendongkrak Daya Saing Global demi Kontribusi Maksimal Industri Migas Nasional" di Jakarta, Rabu (4/4/2018).
Dia menilai, industri hulu migas bisa dimasukkan dalam kategori industri pionir yang patut memperoleh insentif. Pasalnya, tak hanya padat teknologi, industri ini juga padat modal untuk kegiatan eksplorasi, eksploitasi, serta implementasi teknologi baru. Yustinus yakin, jika diberikan insentif pajak, investasi hulu migas di Indonesia yang saat ini terpuruk akan kembali bergairah.
Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong. Menurut dia, pelaku industri hulu migas antusias menanti aturan kebijakan pembebasan pajak dari Kementerian Keuangan.
"Saya ingin memastikan kalau industri migas itu butuh tax holiday. Kalau tax holiday diterapkan tentu akan menggairahkan investasi," tegasnya.
Namun, berdasarkan riset dari ReforMiners Institute, industri hulu migas belum memperoleh keringanan pajak karena terganjal status usaha. Untuk saat ini industri hulu migas masuk dalam status Badan Usaha Tertentu (BUT), sedangkan keringanan pajak diberikan kepada industri berstatus Perseroan Terbatas (PT).
Terkait dengan itu, Marjolijn menyerahkan sepenuhnya masalah tersebut kepada pemerintah. Meski begitu, dia berharap, pemerintah dapat segera menyelesaikan masalah itu sehingga industri hulu migas juga dapat merasakan manfaat dari insentif pajak.
"Sebenarnya itu tergantung pemerintah. Ketika ada hal-hal yang masih jadi hambatan pemerintah bisa bikin aturannya," kata dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiners Institute Komaidi Notonegoro menilai, harga minyak yang kini mencapai USD65 per barel menjadi momentum pemerintah untuk memberikan insentif bagi industri hulu migas. Tidak hanya itu, dia juga berharap pemerintah membenahi mata rantai birokrasi, mulai dari proses eksplorasi, produksi hingga distribusi.
"Selain itu, yang menjadi masalah saat ini terkait kepastian hukum yaitu berupa revisi UU Migas yang belum selesai di DPR," imbuhnya.
(fjo)