Ewindo Gunakan 30% Dana Operasional untuk R&D
A
A
A
JAKARTA - PT East West Seed Indonesia (Ewindo) produsen benih sayuran hibrida menyiapkan 30% dari total biaya operasi (OPEX) di 2018 untuk kegiatan riset dan pengembangan (research and development/R&D), khususnya pengembangan sumber daya manusia di bidang pemuliaan tanaman.
"Investasi terbesar perusahaan yang bergerak di bidang perbenihan adalah riset dan pengembangan. Tanpa didukung itu bagaimanapun canggihnya marketing yang dijalankan akan percuma saja," kata Managing Director Ewindo, Glenn Pardede di Jakarta, Kamis (5/4/2018).
Glenn mengatakan, Ewindo akan mengalokasikan lebih besar lagi di 2019 sekitar Rp150 miliar masih untuk R&D, di diantaranya untuk infrastruktur DNA Marker. Sebagai sumbangannya di bidang perbenihan, Ewindo telah membangunkan pusat berbenihan (seed center) berkerja sama dengan Universitas Gajah Mada (UGM).
"Kami investasi Rp3 miliar meliputi bangunan, peralatan, dan teknologi, serta bantuan pengelolaannya. Ke depannya, fasilitas Pusat Perbenihan itu akan menjadi milik UGM," katanya.
Glenn mengatakan, melalui pusat perbenihan tersebut Ewindo ikut melestarikan plasma nutfah sayuran asal Indonesia untuk itu pihaknya akan melakukan pendampingan sampai bisa mandiri termasuk pelatihan bagi operator di Taiwan.
Di dalamnya sudah memiliki ruang pendingin (cold storage) untuk menyimpan benih beku. Ke depannya, fasilitas ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan benih sampai ke tahapan komersial.
Menurut Glenn, Indonesia seharusnya memiliki fasilitas semacam ini. Tujuannya untuk pengembangan varietas atau benih unggul dan berkualitas, butuh waktu 10 tahun untuk pengembangan benih sampai tahapan komersial.
Glenn mengatakan pusat R&D sangat penting mengingat penyakit dan iklim juga selalu berubah sehingga menuntut benih unggul dan berkualitas. Untuk itu, diharapkan pemerintah dapat mengalokasikan biaya R&D lebih besar lagi, khususnya untuk hortikultura.
Peneliti senior Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Ahmad Riyadi menyampaikan sejumlah tantanganan yang dihadapai perbenihan nasional, antara lain ketersedian benih bermutu yang belum mencukupi dan kelembagaan perbenihan yang belum optimal.
Saat ini, 50% benih holtikultura Indonesia sangat tergantung pada benih impor. "Penelitian untuk menghasilkan varietas baru yang berorientasi pasar masih terbilang masih minim. Ketersediaan benih mutu masih terbatas. Sarana produksi benih dan SDM yang masih terbatas, saat ini kita sangat tergantung benih Impor" ujarnya.
Pemerintah di beberapa daerah dinilai kurang mendukung berkembangnya kelembagaan perbenihan. Hal itu ditambah pengawasan dan sertifikasi benih yang belum optimal.
"Alhasil, koordinasi antara pengembangan dan penyediaan benih belum maksimal. Misalnya, ada varietas unggul pada peneliti yang sudah dilepas, tapi belum juga dikembangkan," kata Ahmad.
"Investasi terbesar perusahaan yang bergerak di bidang perbenihan adalah riset dan pengembangan. Tanpa didukung itu bagaimanapun canggihnya marketing yang dijalankan akan percuma saja," kata Managing Director Ewindo, Glenn Pardede di Jakarta, Kamis (5/4/2018).
Glenn mengatakan, Ewindo akan mengalokasikan lebih besar lagi di 2019 sekitar Rp150 miliar masih untuk R&D, di diantaranya untuk infrastruktur DNA Marker. Sebagai sumbangannya di bidang perbenihan, Ewindo telah membangunkan pusat berbenihan (seed center) berkerja sama dengan Universitas Gajah Mada (UGM).
"Kami investasi Rp3 miliar meliputi bangunan, peralatan, dan teknologi, serta bantuan pengelolaannya. Ke depannya, fasilitas Pusat Perbenihan itu akan menjadi milik UGM," katanya.
Glenn mengatakan, melalui pusat perbenihan tersebut Ewindo ikut melestarikan plasma nutfah sayuran asal Indonesia untuk itu pihaknya akan melakukan pendampingan sampai bisa mandiri termasuk pelatihan bagi operator di Taiwan.
Di dalamnya sudah memiliki ruang pendingin (cold storage) untuk menyimpan benih beku. Ke depannya, fasilitas ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan benih sampai ke tahapan komersial.
Menurut Glenn, Indonesia seharusnya memiliki fasilitas semacam ini. Tujuannya untuk pengembangan varietas atau benih unggul dan berkualitas, butuh waktu 10 tahun untuk pengembangan benih sampai tahapan komersial.
Glenn mengatakan pusat R&D sangat penting mengingat penyakit dan iklim juga selalu berubah sehingga menuntut benih unggul dan berkualitas. Untuk itu, diharapkan pemerintah dapat mengalokasikan biaya R&D lebih besar lagi, khususnya untuk hortikultura.
Peneliti senior Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Ahmad Riyadi menyampaikan sejumlah tantanganan yang dihadapai perbenihan nasional, antara lain ketersedian benih bermutu yang belum mencukupi dan kelembagaan perbenihan yang belum optimal.
Saat ini, 50% benih holtikultura Indonesia sangat tergantung pada benih impor. "Penelitian untuk menghasilkan varietas baru yang berorientasi pasar masih terbilang masih minim. Ketersediaan benih mutu masih terbatas. Sarana produksi benih dan SDM yang masih terbatas, saat ini kita sangat tergantung benih Impor" ujarnya.
Pemerintah di beberapa daerah dinilai kurang mendukung berkembangnya kelembagaan perbenihan. Hal itu ditambah pengawasan dan sertifikasi benih yang belum optimal.
"Alhasil, koordinasi antara pengembangan dan penyediaan benih belum maksimal. Misalnya, ada varietas unggul pada peneliti yang sudah dilepas, tapi belum juga dikembangkan," kata Ahmad.
(ven)