KKP dan Freeport Dorong Budidaya Kepiting Bakau Suku Kamoro

Rabu, 18 April 2018 - 15:24 WIB
KKP dan Freeport Dorong...
KKP dan Freeport Dorong Budidaya Kepiting Bakau Suku Kamoro
A A A
PAPUA - Kekayaan alam di wilayah Mimika, Papua menyimpan potensi perekonomian yang cukup besar untuk dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat setempat. Melalui sejumlah program pengembangan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini, PT Freeport Indonesia turut berkontribusi dalam upaya meningkatkan kualitas hidup warga sekitar.

Salah satu program pemberdayaan yang dikelola adalah melibatkan masyarakat suku Kamoro yang bermukim di wilayah pesisir pantai Kabupaten Mimika, dalam budidaya kepiting bakau atau yang lebih dikenal dengan sebutan “karaka” oleh masyarakat setempat. Budidaya kepiting bakau dipilih mengingat ketersediaan bibit di alam terbuka yang cukup banyak dan selama ini belum diorganisir dengan baik.

Pada 20 Maret lalu, PT Freeport Indonesia bekerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Mimika serta Yayasan Crab Ball Mangrove Indonesia dan sejumlah lembaga lainnya meluncurkan program budidaya kepiting bakau di Jalan Tambang, Mile 10, area PTFI, Kabupaten Mimika, Papua. Acara tersebut dihadiri langsung oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

“Budidaya kepiting bakau bertujuan untuk menciptakan masyarakat Suku Kamoro yang lebih mandiri, serta meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat," ujar Executive Vice President Sustainable Development PT Freeport Indonesia, Sonny Prasetyo.

Sonny menerangkan bahwa pada program budidaya kepiting bakau tersebut, masyarakat setempat yang mendapatkan pelatihan budidaya “karaka” akan dilibatkan dalam berbagai tahapan, mulai dari pelatihan awal, praktik budidaya kepiting, hingga pelaksanaan panen. Dalam perannya sebagai pendamping pada program pemberdayaan tersebut, PT Freeport Indonesia akan mengarahkan pembentukan koperasi yang nantinya dapat melayani pengaturan kontrak jual beli dengan sejumlah pelaku pasar.

“Sebagai perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah Kabupaten Mimika, PT Freeport Indonesia terus melaksanakan komitmennya dalam membangun masyarakat di sekitar lokasi pertambangan. Komitmen membangun masyarakat didasari oleh pemikiran bahwa masyarakat harus dapat menikmati nilai manfaat keberadaan perusahaan sekaligus perlunya mendorong masyarakat untuk dapat lebih mandiri di masa mendatang,” sambung Sonny

Menurutnya melalui pendekatan yang berbasis kearifan lokal, kontribusi PTFI yang diberikan diharapkan dapat menghadirkan transformasi masyarakat setempat untuk beralih menuju pendekatan budidaya dan berdagang.

Terang dia, dengan menerapkan budidaya kepiting bakau yang dikelola secara baik, diharapkan masyarakat suku Kamoro dapat memperoleh nilai manfaat yang lebih besar, hingga pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraannya. Sonny berharap program ini akan bisa berjalan optimal, karena selama ini masyarakat suku Kamoro menganut konsep kehidupan “3S” (sampan, sungai dan sagu) yang melekat erat pada keseharian mereka.

Masyarakat hanya mengembangkan budaya mencari, menangkap dan meramu, sehingga pemanfaatan keanekaragaman hayati di lingkungan sekitar selama ini hanya dilakukan dengan cara yang sangat sederhana.

Mendapat Dukungan dari Menteri Kelautan dan Perikanan

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti turut mendukung upaya yang dilakukan PT Freeport Indonesia dalam memberdayakan masyarakat yang pada gilirannya diharapkan dapat mendorong bergerak dan tumbuhnya perekonomian setempat.

“Saya sangat mengapresiasi atas apa yang dilakukan Freeport. Ini sebuah kewajiban perusahaan yang harus dilakukan terhadap masyarakat di sekitar perusahaan," ujar Menteri Susi.

Lebih jauh lagi, Menteri Susi mengapresiasi prakarsa yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia ini sebagai bentuk dukungan perusahaan terhadap upaya pemerintah dalam mendorong berkembangnya usaha budidaya kepiting bakau yang dikelola secara baik.

“Kita perlu menjaga agar kepiting yang sedang bertelur tidak diambil, sehingga jumlahnya makin banyak di alam. Kalau bisa budidayakan yang jantan, sedangkan yang betina dilepaskan di perairan supaya berkembang biak dan bibit di alam dijaga keberadaannya,” ujar Menteri Susi pada masyarakat suku Kamoro di wilayah pesisir Kabupaten Mimika.

Ia menekankan bahwa aktivitas seperti penjagaan keberlanjutan ekosistem kepiting bakau sangat penting. “Bila tidak ada bibit, maka tidak ada anak. Jika mata rantai terputus, maka suatu saat akan habis. Jangan sampai budidaya dilakukan secara besar-besaran lalu tidak meninggalkan induk-induknya di alam,” pesan Susi.

Konsultan Yayasan Crab Ball Mangrove Indonesia Slamet Riyadi yang turut terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat ini menjelaskan bahwa program pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan budidaya kepiting bakau menggunakan metode yang sederhana. Warga cukup memanfaatkan lahan mangrove sebagai habitat kepiting, di mana kandang kepiting dikaitkan pada pohon bakau.

Metode budidaya yang sederhana ini dinilai tepat untuk diterapkan masyarakat sekitar karena pengelolaannya yang cukup ekonomis. Menurut Slamet, selain sederhana dan relatif ekonomis, sistem budidaya kepiting bakau yang dipilih ini juga unggul pada proses produksi yang berlangsung dalam waktu yang tidak terlalu lama.

“Rentang waktu budidaya kepiting bakau juga relatif singkat, di mana masa panen dapat dicapai dalam waktu sekitar dua setengah hingga tiga bulan,” terang Slamet Riyadi.

Slamet juga menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat melalui pelibatan mereka dalam kegiatan budidaya kepiting bakau tidak hanya khusus ditujukan sebagai pemberdayaan di bidang perekonomian semata, namun juga penguatan di bidang pelestarian lingkungan. Pembudidayaan kepiting ini juga mencakup sejumlah upaya perawatan keberlangsungan ekosistem bakau agar seluruh tahapan di dalamnya dapat berjalan dengan baik.

“Berbagai upaya yang dikerahkan melalui pemberdayaan perekonomian adalah penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun menjaga kelestariaan lingkungan juga tidak kalah penting, mengingat kesemua proses berlangsung di lingkungan di mana proses produksi berada dan di mana masyarakat tinggal. Keduanya tak terpisahkan,” tukas Slamet.
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6424 seconds (0.1#10.140)