Resolusi Parlemen UE Diskriminatif Terhadap Industri Sawit
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif CPOPC Mahendra Siregar menegaskan bahwa resolusi Parlemen Uni Eropa (EU) yang akan melarang penggunaan bahan bakar nabati berbasis minyak sawit di Eropa di tahun 2021 merupakan tindakan diskriminasi terhadap industri sawit.
"Jika alasan parlemen UE adalah terkait deforestasi dan perusakan lingkungan, maka tuduhan tersebut sama sekali tidak benar. Selama ini industri kelapa sawit telah memenuhi aspek-aspek keberlanjutan sesuai yang diwajibkan oleh pemerintah melalui ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil)," ungkap Mahendra Siregar dalam seminar "Menjawab Hambatan Perdagangan Ekspor Minyak Sawit di Pasar Global" di Jakarta, Selasa (8/5/2018).
Terkait isu sawit sebagai penyebab deforestasi, Mahendra menampiknya dengan menjelaskan bahwa dengan produktivitasnya yang tinggi, sawit justru membutuhkan luasan lahan yang lebih sedikit ketimbang tanaman penghasil minyak nabati lainnya.
Dia mencontohkan, dengan perkiraan permintaan minyak nabati dunia mencapai 400 juta pada 2050, dan dengan rata-rata produksi minyak sawit 6-7 juta ton per ha, maka untuk mencukupi kebutuhan tersebut dibutuhkan kebun sawit seluas sekitar 30 juta ha. Sementara, jika untuk memenuhi kebuthan itu harus mengandalkan kedelai yang memiliki produktivitas 1:10 dari kelapa sawit, maka akan diperlukan sekitar 200-300 juta ha lahan tambahan.
"Data itu bisa menjawab, mana yang menyebabkan lebih banyak deforestasi," cetusnya.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Perdagangan Lili Yan Ing mengatakan bahwa pemerintah telah melayangkan surat kepada Komisi UE bahwa mengeluarkan minyak sawit dari bahan bakar nabati tidak akan menjawab isu deforestasi.
"Indonesia akan berpegang teguh pada non-discriminative, fair, equitable treatment. Oleh karena itu, kami menolak bila terdapat diskriminasi. Bila produk kami didiskriminasi maka segala langkah akan kami tempuh untuk memperjuangkan hak kami," tandasnya.
Menanggapi hal tersebut, perwakilan UE menyatakan bahwa resolusi tersebut masih dalam tahap pembahasan. "Kami juga masih akan melakukan kajian lebih lanjut terkait isu deforestasi maupun perubahan iklim yang disebabkan oleh industri sawit," ungkap perwakilan EEAS (European External Action Service) Jakarta, Bucki Michael.
"Jika alasan parlemen UE adalah terkait deforestasi dan perusakan lingkungan, maka tuduhan tersebut sama sekali tidak benar. Selama ini industri kelapa sawit telah memenuhi aspek-aspek keberlanjutan sesuai yang diwajibkan oleh pemerintah melalui ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil)," ungkap Mahendra Siregar dalam seminar "Menjawab Hambatan Perdagangan Ekspor Minyak Sawit di Pasar Global" di Jakarta, Selasa (8/5/2018).
Terkait isu sawit sebagai penyebab deforestasi, Mahendra menampiknya dengan menjelaskan bahwa dengan produktivitasnya yang tinggi, sawit justru membutuhkan luasan lahan yang lebih sedikit ketimbang tanaman penghasil minyak nabati lainnya.
Dia mencontohkan, dengan perkiraan permintaan minyak nabati dunia mencapai 400 juta pada 2050, dan dengan rata-rata produksi minyak sawit 6-7 juta ton per ha, maka untuk mencukupi kebutuhan tersebut dibutuhkan kebun sawit seluas sekitar 30 juta ha. Sementara, jika untuk memenuhi kebuthan itu harus mengandalkan kedelai yang memiliki produktivitas 1:10 dari kelapa sawit, maka akan diperlukan sekitar 200-300 juta ha lahan tambahan.
"Data itu bisa menjawab, mana yang menyebabkan lebih banyak deforestasi," cetusnya.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Perdagangan Lili Yan Ing mengatakan bahwa pemerintah telah melayangkan surat kepada Komisi UE bahwa mengeluarkan minyak sawit dari bahan bakar nabati tidak akan menjawab isu deforestasi.
"Indonesia akan berpegang teguh pada non-discriminative, fair, equitable treatment. Oleh karena itu, kami menolak bila terdapat diskriminasi. Bila produk kami didiskriminasi maka segala langkah akan kami tempuh untuk memperjuangkan hak kami," tandasnya.
Menanggapi hal tersebut, perwakilan UE menyatakan bahwa resolusi tersebut masih dalam tahap pembahasan. "Kami juga masih akan melakukan kajian lebih lanjut terkait isu deforestasi maupun perubahan iklim yang disebabkan oleh industri sawit," ungkap perwakilan EEAS (European External Action Service) Jakarta, Bucki Michael.
(fjo)