BI Repo Rate Tak Berdampak, Rupiah Diproyeksi Jatuh Rp14.300/USD
A
A
A
JAKARTA - Nilai tukar rupiah terus mengalami kejatuhan dan diproyeksi terus melemah hingga Rp14.300/USD sampai akhir Mei. Efek dari kenaikan bunga acuan BI atau BI-7 days Reverse Repo Rate dinilai tidak terlalu berdampak positif ke pelaku pasar karena hanya naik 25 bps menjadi 4,5%.
"Respon BI agak terlambat dan hanya naik 25 bps bukan 50 bps. Sebelumnya investor sudah melakukan price in atau antisipasi kebijakan bunga acuan ke harga saham. Efek kenaikan bunga acuan juga tidak bisa menahan besarnya tekanan global," kata Bhima saat dihubungi.
Salah satunya yield spread antara Treasury bills 10 tahun dan SBN makin lebar. Yield Treasury tenor 10 tahun naik cukup signifikan menjadi 3,11% sementara SBN ditenor yg sama saat ini sebesar 7,3%.
Ada spread 419 basis poin. Lebarnya perbedaan yield menjadi indikasi investor cenderung melepas kepemilikan SBN. Dia menuturkan, faktor lain karena Dolar Index terus mengalami kenaikan dalam 1 bulan terakhir menjadi 93,4. Dolar Index merupakan perbandingan kurs dolar AS dengan 6 mata uang paling dominan di dunia. "Jika dolar index naik artinya secara rata rata mata uang dolar semakin perkasa," ungkap dia.
Sementara investor juga masih mencermati data ekonomi Global seperti laporan klaim pengangguran dan data manufaktur AS. Hal ini untuk menentukan arah kenaikan bunga acuan Fed rate berikutnya, khususnya bulan Juni mendatang di rapat FOMC.
Dari sisi global kekhawatiran perang dagang perlahan mereda setelah pertemuan delegasi AS dan China menyampaikan adanya niat dari China untuk lebih banyak mengimpor produk pangan dari AS. "Ini jadi sentimen positif karena berpengaruh ke kinerja ekspor Indonesia," katanya.
Investor juga terus mengevaluasi data dalam negeri seperti pertumbuhan ekonomi yang stagnan, neraca perdagangan yg negatif di bulan April dan defisit transaksi berjalan kuartal I mencapai USD5,5 miliar. "Faktor domestik tersebut menekan rupiah," imbuh dia.
Pemerintah bisa lakukan bauran kebijakan antara stimulus fiskal maupun moneter. Dari sisi fiskal kinerja ekspor memang perlu didorong lewat berbagai insentif seperti tax holiday bagi perusahaan yang berorientasi ekspor.
"Dan dari sisi moneter bisa terbitkan aturan tentang kewajiban devisa hasil ekspor ditahan dibank dalam negeri dalam kurun waktu minimum 6-9 bulan seperti yang dilakukan Thailand," urainya.
Karena cukup mendesak, Ia menilai bentuk paling tepat yakni Perpu UU No.24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Sementara sejak awal tahun Thailand berhasil mengalami apresiasi 1,6% (ytd).
Direktur Group Risiko dan Sistem Keuangan LPS Doddy Ariefianto menuturkan, rencana kenaikan Fed rate di tahun 2018 diperkirakan masih menjadi faktor utama penekan kinerja pasar obligasi global. "Kenaikan Fed rate berpotensi mendorong kenaikan yield obligasi global, termasuk Indonesia," imbuh Doddy.
Di sisi lain, potensi kenaikan Fed rate yang telah mendorong penguatan dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama dunia juga turut memicu koreksi pada nilai tukar rupiah dan berdampak pada kinerja obligasi dalam negeri. Meski begitu, positifnya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia diharapkan dapat menjadi sentimen positif bagi pasar obligasi.
"Respon BI agak terlambat dan hanya naik 25 bps bukan 50 bps. Sebelumnya investor sudah melakukan price in atau antisipasi kebijakan bunga acuan ke harga saham. Efek kenaikan bunga acuan juga tidak bisa menahan besarnya tekanan global," kata Bhima saat dihubungi.
Salah satunya yield spread antara Treasury bills 10 tahun dan SBN makin lebar. Yield Treasury tenor 10 tahun naik cukup signifikan menjadi 3,11% sementara SBN ditenor yg sama saat ini sebesar 7,3%.
Ada spread 419 basis poin. Lebarnya perbedaan yield menjadi indikasi investor cenderung melepas kepemilikan SBN. Dia menuturkan, faktor lain karena Dolar Index terus mengalami kenaikan dalam 1 bulan terakhir menjadi 93,4. Dolar Index merupakan perbandingan kurs dolar AS dengan 6 mata uang paling dominan di dunia. "Jika dolar index naik artinya secara rata rata mata uang dolar semakin perkasa," ungkap dia.
Sementara investor juga masih mencermati data ekonomi Global seperti laporan klaim pengangguran dan data manufaktur AS. Hal ini untuk menentukan arah kenaikan bunga acuan Fed rate berikutnya, khususnya bulan Juni mendatang di rapat FOMC.
Dari sisi global kekhawatiran perang dagang perlahan mereda setelah pertemuan delegasi AS dan China menyampaikan adanya niat dari China untuk lebih banyak mengimpor produk pangan dari AS. "Ini jadi sentimen positif karena berpengaruh ke kinerja ekspor Indonesia," katanya.
Investor juga terus mengevaluasi data dalam negeri seperti pertumbuhan ekonomi yang stagnan, neraca perdagangan yg negatif di bulan April dan defisit transaksi berjalan kuartal I mencapai USD5,5 miliar. "Faktor domestik tersebut menekan rupiah," imbuh dia.
Pemerintah bisa lakukan bauran kebijakan antara stimulus fiskal maupun moneter. Dari sisi fiskal kinerja ekspor memang perlu didorong lewat berbagai insentif seperti tax holiday bagi perusahaan yang berorientasi ekspor.
"Dan dari sisi moneter bisa terbitkan aturan tentang kewajiban devisa hasil ekspor ditahan dibank dalam negeri dalam kurun waktu minimum 6-9 bulan seperti yang dilakukan Thailand," urainya.
Karena cukup mendesak, Ia menilai bentuk paling tepat yakni Perpu UU No.24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Sementara sejak awal tahun Thailand berhasil mengalami apresiasi 1,6% (ytd).
Direktur Group Risiko dan Sistem Keuangan LPS Doddy Ariefianto menuturkan, rencana kenaikan Fed rate di tahun 2018 diperkirakan masih menjadi faktor utama penekan kinerja pasar obligasi global. "Kenaikan Fed rate berpotensi mendorong kenaikan yield obligasi global, termasuk Indonesia," imbuh Doddy.
Di sisi lain, potensi kenaikan Fed rate yang telah mendorong penguatan dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama dunia juga turut memicu koreksi pada nilai tukar rupiah dan berdampak pada kinerja obligasi dalam negeri. Meski begitu, positifnya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia diharapkan dapat menjadi sentimen positif bagi pasar obligasi.
(akr)