Kenaikan PBB DKI Dinilai Memberatkan Kelas Menengah

Sabtu, 26 Mei 2018 - 21:04 WIB
Kenaikan PBB DKI Dinilai Memberatkan Kelas Menengah
Kenaikan PBB DKI Dinilai Memberatkan Kelas Menengah
A A A
JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta saat ini diketahui tengah mengkaji kenaikan berbagai pungutan pajak dan juga telah menaikkan pajak bumi dan bangunan (PBB). Rencana tersebut tidak terlepas dari target Pemprov DKI mengerek pendapatan pajak dari Rp36,125 triliun menjadi Rp38,125 triliun tahun ini.

Terkait dengan itu, Chairman Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) Farouk Abdullah Alwyni mengatakan, kenaikan PBB 2018 perlu di kaji ulang. Pemprov DKI diminta mempertimbangkan dampak jangka menengah dan panjang kenaikan pungutan tersebut terhadap masyarakat. Alasannya, sejak 2014, Jakarta telah mengalami kenaikan tarif PBB yang fantastis, yakni bisa lebih dari 500%.

"Pemprov DKI Jakarta beralasan kenaikan itu dilakukan karena sebelumnya tidak pernah ada kenaikan PBB. Tapi alasan ini tidak akurat jika me-review pergerakan kenaikan PBB di tahun-tahun sebelumnya," katanya melalui siaran pers, Sabtu (26/5/2018).

Farouk melihat kenaikan tersebut berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat Jakarta. Menurut dia, pihak yang paling dirugikan dalam hal ini adalah kelas menengah.

Di satu sisi, Farouk mengapresiasi kebijakan Gubernur Anies Baswedan yang mencabut diskon PBB sebesar 50% untuk lapangan golf. Diskon besar untuk lapangan golf menurutnya memang sangat tidak proporsional. Sementara, imbuhnya, untuk anggota masyarakat biasa, perlu mendapatkan PBB yang proporsional.

Menurut Farouk, pungutan PBB yang semakin tinggi akan membebani para pemilik rumah di dalam kota, khususnya daerah Jakarta Pusat. Pertimbangan peningkatan pajak karena suatu daerah adalah daerah komersial menurutnya digeneralisir secara tidak proporsional.

"Karena lepas dari daerah Thamrin dan Sudirman, peningkatan PBB berdampak ke wilayah sekitarnya. Padahal, daerah sekitar Thamrin dan Sudirman itu rumah dan bangunan komersial masih bercampur," paparnya.

Dia menambahkan, jika mempelajari konteks perpajakan internasional bagi masyarakat negara-negara maju, kebijakan tersebut terasa janggal. Terlebih di negara maju, setiap peningkatan pajak harus diimbangi perbaikan pelayanan publik dan juga infrastruktur.

Farouk mencontohkan regulasi perpajakan di Los Angeles, AS, yang mana maksimum peningkatan property tax (PBB) tidak boleh lebih dari 2% setiap tahun. Di negara bagian New South Wales dan Victoria, Australia, kata dia, rumah tinggal utama bahkan tidak dikenakan property tax sama sekali. Sedangkan di Belanda, maksimum kenaikan property tax tidak boleh melebihi inflasi setiap tahunnya.

Sehubungan dengan itu, Farouk mengusulkan agar Gubernur DKI perlu mengkaji ulang peningkatan PBB di tahun 2014 dan 2018, agar pada tahun 2019 dapat dilakukan pengurangan mendasar terhadap pembebanan PBB yang ada sekarang ini, khususnya untuk rumah-rumah tinggal. Penetapan PBB, tegas dia, tetap perlu mempertimbangkan kapasitas masyarakat secara umum.

Selanjutnya, realisasi peningkatkan NJOP tidak kena pajak menjadi Rp2 miliar di 2018 menurutnya adalah hal yang positif. Tetapi, agar kebijakan yang ada menjadi bermanfaat secara lebih menyeluruh, maka nilai tersebut perlu menjadi pengurang dari nilai-nilai NJOP yang berada di atasnya.

Di samping itu perlu juga perubahan penetapan persentase empat tarif PBB-P2 yang berlaku berdasarkan Perda No 16/2011, yaitu tarif 0,01% untuk NJOP < Rp200 juta, tarif 0,1% untuk NJOP Rp200 juta sampai dengan < Rp2 miliar, tarif 0,2% untuk NJOP Rp2 miliar sampai dengan < Rp10 miliar, dan tarif 0,3% untuk NJOP Rp10 miliar atau lebih. Mengingat NJOP s/d Rp2 miliar sudah tidak dikenakan pajak, maka otomatis tarif nilai NJOP > Rp2 miliar sampai dengan < Rp10 miliar perlu di buat menjadi 0,1%, dengan penyesuaian lebih jauh dari nilai di atasnya.

Sehubungan dengan point di atas, kebijakan pembebasan pajak kepada rumah tinggal utama perlu di pertimbangkan, khususnya bagi para penduduk senior, yang dikategorikan sebagai anggota masyarakat yang berumur lebih dari 55 tahun dan/ataupun anggota masyarakat yang tidak berpenghasilan tinggi.

Dalam hal ini, petugas UPPD menurutnya perlu diberikan kapasitas yang lebih baik dan memadai dalam membaca kondisi riil yang dihadapi setiap anggota masyarakat dan melihat kapasitas riil warga dalam membayar PBB. Kemudian, perlu membuat kebijakan-kebijakan yang lebih ramah dan substantif dalam mengakomodasi permohonan pengurangan pajak setiap warga.

Terakhir, menurut dia sudah saatnya Pemda DKI maupun pemda lainnya untuk mulai meningkatkan pendapatan non-pajak. BUMD-BUMD yang ada perlu di optimalkan untuk memberikan pendapatan. Di samping itu potensi-potensi pendapatan non-pajak lainnya perlu terus di bangun.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7702 seconds (0.1#10.140)