Rupiah Perlu Solusi Jangka Panjang
A
A
A
JAKARTA - Nilai tukar rupiah kemarin kembali melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Kondisi ini semakin menunjukkan pentingnya solusi jangka panjang agar rupiah tidak selalu menjadi korban apabila terjadi gejolak global.
Sejak awal tahun hingga Juli 2018, rupiah telah terdepresiasi sebanyak 5,81% (year to date/ytd). Nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada perdagangan sore kemarin (20/7) berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) bahkan berada di level Rp14.520/USD. Posisi tersebut melemah dibadingkan sehari sebelumnya Rp14.418 per dolar AS. Kurs tersebut semakin mendekati rekor tiga tahun lalu di mana rupiah berada di kisaran Rp14.800 pada September 2015.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui, pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini masih menyesuaikan diri dengan perkembangan global terkini.
Menurutnya, pergerakan rupiah saat ini belum menuju titik keseimbangan baru, karena seluruh mata uang dunia sedang bergerak menanggapi membaiknya data perekonomian di AS.
"Segala sesuatu itu masih bisa naik dulu atau turun lagi, itu masih bergerak begitu," kata Darmin di Jakarta, kemarin.
Hal senada disampaikan Deputi Gubernur Bank Indonesia Erwin Rijanto. Menurutnya, pergerakan kurs rupiah tidak lepas dari perkembangan ekonomi di Negeri Paman Sam.
Dia juga menyangkal apabila pelemahan rupiah kemarin sebagai imbas ditahanya suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate di level 5,25% yang diputuskan paska Rapat Dewan Gubernur BI pada Kamis (19/7) lalu.
“Coba dilihat apakah rupiah melemah sendiri atau tidak? Kalau semua, seluruh dunia itu, melemah melawan dollar AS (Amerika Serikat) ya mestinya itulah penyebabnya," kata Erwin di Jakarta kemarin.
Rupiah yang depresiatif, ujar dia, terpengaruh ucapan Presiden Donald Trump yang melontarkan kritik kepada Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Trump menyebut, kenaikan suku bunga dinilai akan menghambat percepatan pemulihan ekonomi AS.
"Kalau dipicu domestik tidak ada masalah. Masalahnya adalah Trump yang membuat pernyataan berlawanan dengan Fed," ujar Erwin.
Sekadar diketahui, The Fed berencana mengerek suku bunga acuannya sebanyak empat kali pada tahun ini. Hingga Juni lalu tercatat sudah dua kali The Fed mengubah suku bunga acuan yakni sehingga menjadi 1,75 - 2%. Kenaikan suku bunga acuan The Fed ini kemudian dituding menjadi penyebab larinya modal dari negara-negara emerging market kembali ke AS yang dinilai lebih menarik.
Di samping itu, ujar Erwin, pelemahan nilai tukar rupiah juga dipengaruhi startegi Bank Sentral China yang terus mendongkrak ekspor. "China itu melakukan devaluasi menurunkan kursnya, ini berkaitan dengan perang dagang itu," ujar Erwin.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menambahkan, ke depan BI akan terus mewaspadai risiko ketidakpastian pasar keuangan global dengan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya. Selain itu BI juga menjaga bekerjanya mekanisme pasar dan didukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan.
Kondisi rupiah yang terus menunjukkan pelemahan dalam berberapa bulan terakhir memerlukan solusi jangka panjang. BI diharapkan tidak hanya melakukan intervensi di pasar keuangan, tetapi juga harus mampu bekerja sama lebih baik lagi dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk memperbaiki rupiah di antaranya memperkuat kebijakan dari sisi fiskal dan memberi insentif keringanan PPh badan dan Bea keluar untuk industri berorientasi ekspor. Kemudian perbaikan infrastruktur pendukung pariwisata agar pemasukan devisa semakin besar.
"Jadi moneter dan fiskal saling dukung. Sejauh ini moneternya sudah jor-joran menaikkan bunga acuan tapi dari fiskal belum ada gebrakan. Kalau BI yang bisa dilakukan adalah intervensi cadangan devisa secara terukur dan menjaga likuiditas valas," cetusnya.
Bhima menambahkan, ke depan dia memprediksi masih ada kemungkinan berikutnya BI untuk kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) jika dampak perang dagang antara AS dan China kian memburuk.
Dia memperkirakan dolar akan naik ke titik tertinggi pada September atau Oktober 2018. “Saat itulah tekanan pada kurs rupiah akan semakin besar,” ujarnya.
Direktur Riset dari Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah masih meyakini kebijakan BI menahan suku bunga adalah hal yang tepat. Pertimbangannya pelemahan rupiah saat ini utamanya bukan karena faktor suku bunga.
"Tidak selalu pelemahan rupiah harus dijawab dengan kenaikan suku bunga," kata Piter saat dihubungi tadi malam.
Menurutnya, pelemahan rupiah yang sampai menembus Rp14.500 per dolar AS pasca keputusan BI menahan suku bunga acuan menegaskan bahwa faktor ketidakpastian global semakin signifikan dan mempengaruhi keputusan pelaku ekonomi.
Properti Terdampak
Sekretaris Jenderal Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida memastikan, risiko-risiko akibat kenaikan suku bunga acuan dan nilai tukar rupiah yang melemah tetap ada. Apalagi, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga telah menaikkan suku bunga penjaminannya sebesar 25 bps.
Dengan kenaikan tersebut, otomatis suku bunga penjaminan rupiah untuk bank umum kin menjadi 6,25% sedangkan untuk bunga penjaminan valas bank umum 1,5%. Adapun bunga penjaminan rupiah untuk Bank Perkreditan Rakyat (BOR) 8,75%.
"Memang kemarin ada risiko kenaikan suku bunga pinjaman. Namun BI sudah melakukan relaksasi yang kita harapkan perbankan bisa menunda," ucapnya.
Menurut Paulus, kenaikan suku bunga perbankan bisa menimbulkan dampak besar terhadap para pengembang perumahan di Indonesia. Pasalnya sekitar 90% pengembang menjual produknya melalui Kredit Pemilikian Rumah (KPR).
“Jadi, properti ini jadi penopang utama untuk ekonomi riil . Saya optimis bahwa ini pasti akan menjadi perhatian BI," ujarnya.
Dia mengakui, sejumlah bank sudah ada yang menaikkan bunga pinjamannya. Namun di sisi lain, dia juga berharap kenaikan tersebut tidak berkesinambungan.
Di bagian lain, Bank Indonesia (BI) berencana mengaktifkan kembali Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor 9 bulan dan 12 bulan guna menambah portofilio yang dapat menyerap modal asing. SBI merupakan salah satu mekanisme yang digunakan BI untuk mengontrol kestabilan nilai rupiah.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai tidak ada masalah jika SBI diaktifkan kembali. Menurut dia, melihat situasi saat ini memungkinkan dihidupkan kembali sebagai instrumen investasi.
Seperti diketahui, SBI sempat dinonaktifkan pada era Darmin Nasution menjabat sebagai Gubernur BI. Penghentian tersebut terpaksa dilakukan sebab BI terlalu banyak mengeluarkan uang untuk pembayaran bunga SBI.
"Situasi sekarang ini adalah situasi di mana kita boleh memberi ruang untuk pemilik dana supaya tertarik masuk," ujarnya.
Darmin melanjutkan, dengan BI mengeluarkan instrumen BI maka alternatif investasi akan semakin banyak. (Kunthi Fahmar Sandy/Ichsan Amin/Ant)
Sejak awal tahun hingga Juli 2018, rupiah telah terdepresiasi sebanyak 5,81% (year to date/ytd). Nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) pada perdagangan sore kemarin (20/7) berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) bahkan berada di level Rp14.520/USD. Posisi tersebut melemah dibadingkan sehari sebelumnya Rp14.418 per dolar AS. Kurs tersebut semakin mendekati rekor tiga tahun lalu di mana rupiah berada di kisaran Rp14.800 pada September 2015.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui, pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini masih menyesuaikan diri dengan perkembangan global terkini.
Menurutnya, pergerakan rupiah saat ini belum menuju titik keseimbangan baru, karena seluruh mata uang dunia sedang bergerak menanggapi membaiknya data perekonomian di AS.
"Segala sesuatu itu masih bisa naik dulu atau turun lagi, itu masih bergerak begitu," kata Darmin di Jakarta, kemarin.
Hal senada disampaikan Deputi Gubernur Bank Indonesia Erwin Rijanto. Menurutnya, pergerakan kurs rupiah tidak lepas dari perkembangan ekonomi di Negeri Paman Sam.
Dia juga menyangkal apabila pelemahan rupiah kemarin sebagai imbas ditahanya suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate di level 5,25% yang diputuskan paska Rapat Dewan Gubernur BI pada Kamis (19/7) lalu.
“Coba dilihat apakah rupiah melemah sendiri atau tidak? Kalau semua, seluruh dunia itu, melemah melawan dollar AS (Amerika Serikat) ya mestinya itulah penyebabnya," kata Erwin di Jakarta kemarin.
Rupiah yang depresiatif, ujar dia, terpengaruh ucapan Presiden Donald Trump yang melontarkan kritik kepada Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Trump menyebut, kenaikan suku bunga dinilai akan menghambat percepatan pemulihan ekonomi AS.
"Kalau dipicu domestik tidak ada masalah. Masalahnya adalah Trump yang membuat pernyataan berlawanan dengan Fed," ujar Erwin.
Sekadar diketahui, The Fed berencana mengerek suku bunga acuannya sebanyak empat kali pada tahun ini. Hingga Juni lalu tercatat sudah dua kali The Fed mengubah suku bunga acuan yakni sehingga menjadi 1,75 - 2%. Kenaikan suku bunga acuan The Fed ini kemudian dituding menjadi penyebab larinya modal dari negara-negara emerging market kembali ke AS yang dinilai lebih menarik.
Di samping itu, ujar Erwin, pelemahan nilai tukar rupiah juga dipengaruhi startegi Bank Sentral China yang terus mendongkrak ekspor. "China itu melakukan devaluasi menurunkan kursnya, ini berkaitan dengan perang dagang itu," ujar Erwin.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menambahkan, ke depan BI akan terus mewaspadai risiko ketidakpastian pasar keuangan global dengan tetap melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya. Selain itu BI juga menjaga bekerjanya mekanisme pasar dan didukung upaya-upaya pengembangan pasar keuangan.
Kondisi rupiah yang terus menunjukkan pelemahan dalam berberapa bulan terakhir memerlukan solusi jangka panjang. BI diharapkan tidak hanya melakukan intervensi di pasar keuangan, tetapi juga harus mampu bekerja sama lebih baik lagi dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk memperbaiki rupiah di antaranya memperkuat kebijakan dari sisi fiskal dan memberi insentif keringanan PPh badan dan Bea keluar untuk industri berorientasi ekspor. Kemudian perbaikan infrastruktur pendukung pariwisata agar pemasukan devisa semakin besar.
"Jadi moneter dan fiskal saling dukung. Sejauh ini moneternya sudah jor-joran menaikkan bunga acuan tapi dari fiskal belum ada gebrakan. Kalau BI yang bisa dilakukan adalah intervensi cadangan devisa secara terukur dan menjaga likuiditas valas," cetusnya.
Bhima menambahkan, ke depan dia memprediksi masih ada kemungkinan berikutnya BI untuk kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) jika dampak perang dagang antara AS dan China kian memburuk.
Dia memperkirakan dolar akan naik ke titik tertinggi pada September atau Oktober 2018. “Saat itulah tekanan pada kurs rupiah akan semakin besar,” ujarnya.
Direktur Riset dari Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah masih meyakini kebijakan BI menahan suku bunga adalah hal yang tepat. Pertimbangannya pelemahan rupiah saat ini utamanya bukan karena faktor suku bunga.
"Tidak selalu pelemahan rupiah harus dijawab dengan kenaikan suku bunga," kata Piter saat dihubungi tadi malam.
Menurutnya, pelemahan rupiah yang sampai menembus Rp14.500 per dolar AS pasca keputusan BI menahan suku bunga acuan menegaskan bahwa faktor ketidakpastian global semakin signifikan dan mempengaruhi keputusan pelaku ekonomi.
Properti Terdampak
Sekretaris Jenderal Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida memastikan, risiko-risiko akibat kenaikan suku bunga acuan dan nilai tukar rupiah yang melemah tetap ada. Apalagi, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga telah menaikkan suku bunga penjaminannya sebesar 25 bps.
Dengan kenaikan tersebut, otomatis suku bunga penjaminan rupiah untuk bank umum kin menjadi 6,25% sedangkan untuk bunga penjaminan valas bank umum 1,5%. Adapun bunga penjaminan rupiah untuk Bank Perkreditan Rakyat (BOR) 8,75%.
"Memang kemarin ada risiko kenaikan suku bunga pinjaman. Namun BI sudah melakukan relaksasi yang kita harapkan perbankan bisa menunda," ucapnya.
Menurut Paulus, kenaikan suku bunga perbankan bisa menimbulkan dampak besar terhadap para pengembang perumahan di Indonesia. Pasalnya sekitar 90% pengembang menjual produknya melalui Kredit Pemilikian Rumah (KPR).
“Jadi, properti ini jadi penopang utama untuk ekonomi riil . Saya optimis bahwa ini pasti akan menjadi perhatian BI," ujarnya.
Dia mengakui, sejumlah bank sudah ada yang menaikkan bunga pinjamannya. Namun di sisi lain, dia juga berharap kenaikan tersebut tidak berkesinambungan.
Di bagian lain, Bank Indonesia (BI) berencana mengaktifkan kembali Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor 9 bulan dan 12 bulan guna menambah portofilio yang dapat menyerap modal asing. SBI merupakan salah satu mekanisme yang digunakan BI untuk mengontrol kestabilan nilai rupiah.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai tidak ada masalah jika SBI diaktifkan kembali. Menurut dia, melihat situasi saat ini memungkinkan dihidupkan kembali sebagai instrumen investasi.
Seperti diketahui, SBI sempat dinonaktifkan pada era Darmin Nasution menjabat sebagai Gubernur BI. Penghentian tersebut terpaksa dilakukan sebab BI terlalu banyak mengeluarkan uang untuk pembayaran bunga SBI.
"Situasi sekarang ini adalah situasi di mana kita boleh memberi ruang untuk pemilik dana supaya tertarik masuk," ujarnya.
Darmin melanjutkan, dengan BI mengeluarkan instrumen BI maka alternatif investasi akan semakin banyak. (Kunthi Fahmar Sandy/Ichsan Amin/Ant)
(nfl)