Energi Baru dan Terbarukan Penentu Tercapainya Kedaulatan Energi
A
A
A
JAKARTA - Dalam janji politik Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dikenal dengan Nawacita, sektor energi turut menjadi prioritas pemerintah.
"Kedaulatan energi itu menjadi keharusan, sebab pemenuhan energi dari dalam negeri akan mengurangi ketergantungan kita terhadap energi fosil terutama yang berasal dari minyak dan batubara," ujar Sekjen Projo Handoko dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/7/2018).
Dengan memanfaatkan energi terbarukan yang berasal dari air, mikro hidro, angin (bayu), tenaga surya, gelombang laut, dan panas bumi, kata dia, maka Bangsa Indonesia mampu memenuhi kebutuhan energinya dari dalam negeri.
Menurut Handoko, paradigma pengelolaan energi nasional harus berubah, dari energi sebagai komoditas ke energi sebagai penggerak roda ekonomi. Melimpahnya sumber energi baru dan terbarukan di Indonesia selayaknya bisa dimanfaatkan secara optimal.
"Salah satu kendala besar pengembangan EBT kita, adalah mahalnya teknologi yang banyak kita impor dari luar negeri. Untuk itu, penguasaan teknologi juga harus mendapatkan prioritas sehingga kita tidak lagi tergantung pada teknologi luar negeri," urainya.
Dari sisi energi primer, saat ini lebih dari 70% pembangkit listrik di Indonesia menggunakan minyak bumi dan batubara. Melimpahnya batubara dalam negeri membuat PLTU Batubara (Coal Fired Power Plant/ CFPP) menjadi kontributor terbesar dalam konfigurasi pembangkit.
Dalam jangka pendek, PLTU Batubara bisa menjadi solusi penyediaan energi listrik yang terjangkau dari sisi harga. Tetapi bagaimanapun, keberadaan batubara dan minyak bumi semakin berkurang dan habis pada akhirnya. Volatilitas harga minyak dunia yang sangat dinamis dan selalu berkait dengan harga komoditas batubara, juga akan turut mengerekharga jual listrik.
"Bayangkan saja bila tiba-tiba harga minyak dunia melaju sampai USD 100 per barrel misalnya, pasti biaya produksi listrik akan meningkat tajam," paparnya.
Beda kondisinya apabila Indonesia mengandalkan penggunaan listrik yang pembangkitnya digerakkan oleh tenaga angin, air, atau juga tenaga matahari dan panas bumi.
Menurut Handoko yang juga praktisi bisnis pembangkit listrik, Indonesia sudah cukup lama menguasai teknologi untuk pembangkit tenaga air, baik PLTA maupun PLTMH (pembangkit listrik tenaga minihidro). Juga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/Geothermal. Sungai-sungai di Indonesia menyimpan potensi energi yang sangat besar, sekitar 75 GW.
Menyinggung soal biaya investasi (Capital Expenditure), pembangkit listrik EBT masih lebih mahal dari pembangkit energi fosil. PLTP (geothermal) bisa menelan investasi sekitar USD4 juta/MW, jauh lebih mahal dibanding PLTU Batubara yang sekitar USD1,5 juta-USD 2 juta/MW.
Perbedaan Capex ini disebabkan masing-masing komoditi ini berbeda cara memperolehnya, dan juga tingkat kesulitannya. "Seperti listrik yang berasal dari PLTP, fase eksplorasi sumber energi sudah memakan biaya sangat besar. Harus memakai teknologi tinggi dan mahal, ditambah lagi dengan success rate yang rendah," katanya.
Demikian juga investasi yang dibutuhkan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS/ Solar Cell) sangat besar. Sebab untuk pembangunan PLTS dibutuhkan investasi sekitar Rp28 miliar, di mana komponen terbesarnya pada biaya produksi panel surya dan baterai. Selain itu, PLTS juga membutuhkan area yang sangat luas.
PLTS hanya dapat beroperasi di siang hari, sehingga untuk mengimbanginya, diperlukan juga dukungan dari pembangkit listrik yang berasal dari energi fosil. "Tapi saya yakin, akselerasi pemanfaatan Solar Cell semakin masif, seiring dengan semakin majunya teknologi panel surya dan baterai," tambahnya.
Sebagai cantolan hukum, Pemerintah sudah punya Perpres No. 2 Tahun 2017 tentang RUEN (Rencana Umum Energi Nasional). Dari sana ditetapkan target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) pada tahun 2025 sebesar 23%, dan tahun 2018 ini sudah mencapai 12,5%.
"Kedaulatan energi itu menjadi keharusan, sebab pemenuhan energi dari dalam negeri akan mengurangi ketergantungan kita terhadap energi fosil terutama yang berasal dari minyak dan batubara," ujar Sekjen Projo Handoko dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/7/2018).
Dengan memanfaatkan energi terbarukan yang berasal dari air, mikro hidro, angin (bayu), tenaga surya, gelombang laut, dan panas bumi, kata dia, maka Bangsa Indonesia mampu memenuhi kebutuhan energinya dari dalam negeri.
Menurut Handoko, paradigma pengelolaan energi nasional harus berubah, dari energi sebagai komoditas ke energi sebagai penggerak roda ekonomi. Melimpahnya sumber energi baru dan terbarukan di Indonesia selayaknya bisa dimanfaatkan secara optimal.
"Salah satu kendala besar pengembangan EBT kita, adalah mahalnya teknologi yang banyak kita impor dari luar negeri. Untuk itu, penguasaan teknologi juga harus mendapatkan prioritas sehingga kita tidak lagi tergantung pada teknologi luar negeri," urainya.
Dari sisi energi primer, saat ini lebih dari 70% pembangkit listrik di Indonesia menggunakan minyak bumi dan batubara. Melimpahnya batubara dalam negeri membuat PLTU Batubara (Coal Fired Power Plant/ CFPP) menjadi kontributor terbesar dalam konfigurasi pembangkit.
Dalam jangka pendek, PLTU Batubara bisa menjadi solusi penyediaan energi listrik yang terjangkau dari sisi harga. Tetapi bagaimanapun, keberadaan batubara dan minyak bumi semakin berkurang dan habis pada akhirnya. Volatilitas harga minyak dunia yang sangat dinamis dan selalu berkait dengan harga komoditas batubara, juga akan turut mengerekharga jual listrik.
"Bayangkan saja bila tiba-tiba harga minyak dunia melaju sampai USD 100 per barrel misalnya, pasti biaya produksi listrik akan meningkat tajam," paparnya.
Beda kondisinya apabila Indonesia mengandalkan penggunaan listrik yang pembangkitnya digerakkan oleh tenaga angin, air, atau juga tenaga matahari dan panas bumi.
Menurut Handoko yang juga praktisi bisnis pembangkit listrik, Indonesia sudah cukup lama menguasai teknologi untuk pembangkit tenaga air, baik PLTA maupun PLTMH (pembangkit listrik tenaga minihidro). Juga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/Geothermal. Sungai-sungai di Indonesia menyimpan potensi energi yang sangat besar, sekitar 75 GW.
Menyinggung soal biaya investasi (Capital Expenditure), pembangkit listrik EBT masih lebih mahal dari pembangkit energi fosil. PLTP (geothermal) bisa menelan investasi sekitar USD4 juta/MW, jauh lebih mahal dibanding PLTU Batubara yang sekitar USD1,5 juta-USD 2 juta/MW.
Perbedaan Capex ini disebabkan masing-masing komoditi ini berbeda cara memperolehnya, dan juga tingkat kesulitannya. "Seperti listrik yang berasal dari PLTP, fase eksplorasi sumber energi sudah memakan biaya sangat besar. Harus memakai teknologi tinggi dan mahal, ditambah lagi dengan success rate yang rendah," katanya.
Demikian juga investasi yang dibutuhkan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS/ Solar Cell) sangat besar. Sebab untuk pembangunan PLTS dibutuhkan investasi sekitar Rp28 miliar, di mana komponen terbesarnya pada biaya produksi panel surya dan baterai. Selain itu, PLTS juga membutuhkan area yang sangat luas.
PLTS hanya dapat beroperasi di siang hari, sehingga untuk mengimbanginya, diperlukan juga dukungan dari pembangkit listrik yang berasal dari energi fosil. "Tapi saya yakin, akselerasi pemanfaatan Solar Cell semakin masif, seiring dengan semakin majunya teknologi panel surya dan baterai," tambahnya.
Sebagai cantolan hukum, Pemerintah sudah punya Perpres No. 2 Tahun 2017 tentang RUEN (Rencana Umum Energi Nasional). Dari sana ditetapkan target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) pada tahun 2025 sebesar 23%, dan tahun 2018 ini sudah mencapai 12,5%.
(ven)