KPK Didesak Usut Korupsi Tambang Batu Bara Ilegal di Penajam Paser Utara
A
A
A
JAKARTA - Jono, mantan Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut dugaan korupsi dalam pemberian izin tambang batu bara kepada PT Pasir Prima Coal Indonesia.
Jono, yang pernah masuk penjara karena melaporkan kasus itu, hari ini datang ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Dia menegaskan ingin menagih laporan yang pernah dibuat soal penyimpangan pemberian izin dan indikasi kerugian negara dalam praktek ilegal penambangan batu bara di Penajam Paser Utara pada 2014 lalu.
"Saya menanyakan perkembangan penyelidikan kasus itu, karena bukti-bukti indikasi korupsi cukup kuat," kata Jono kepada wartawan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (31/7/2018). Dalam kesempatan itu, Jono membawa setumpuk dokumen berupa surat izin dan keputusan pengadilan dan Mahkamah Agung yan menyatakan izin tambang PT Pasir Prima Coal Indonesia itu bermasalah.
Dalam dokumen yang ditunjukkan Jono, laporan pengaduan masyarakat ke KPK dilakukan pada mengaku membuat pengaduan ke KPK pada 2 Mei 2014 dengan nomor 68653. Kemudian pada 22 September 2016 dalam surat bernomor 86732 dilakukan penambahan dokumen pengaduan.
Jono mengaku dalam laporannya, dia kembali menunjukan bukti ada praktek ilegal yang dilakukan perusahaan tersebut di areal tambang yang bukan miliknya. Dari informasi yang dia dapat, Pasir Prima Coal diketahui sudah menambang sebanyak 1 juta metrik ton senilai Rp857,58 miliar. "Artinya, dengan izin yang bermasalah ada pihak yang mendapatkan untung besar," katanya. "Di sini indikasi ada kerugian negara."
Kasus ini bermula ketika PT Mandiri Sejahtera Energindo memperoleh izin penguasaan izin tambang batu bara di Penajam pada medio November 2008. Namun Mandiri Sejahtera tak bisa mengelola lahan tambang seluas 3.964 hektare itu. Pasalnya, Mandiri Sejahtera berkali-kali "direcoki" Pasir Prima Coal.
Pasir Prima sebelumnya merupakan pemilik konsesi tambang di Penajam itu. Mereka menambang di sana sejak 2005. Namun Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara mencabut izin tambang perusahaan ini pada 2008. Pemerintah Kabupaten menuduh Pasir Prima menambang di kawasan hutan produksi tetap, tidak membayar kewajiban dan iuran, plus tak menguruk kembali lubang tambang. Konsesi tambang kemudian diberikan kepada Mandiri Sejahtera.
Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda, melalui surat nomor W2.TUN.5-330/HK.06/2017, juga menegaskan posisi Mandiri Sejahtera sebagai pemilik sah lahan tersebut. Dalam surat tersebut, Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Tedi Romyadi memerintahkan gubernur segera bertindak. Jika gubernur tidak bersedia menindaklanjuti permohonan eksekusi, "PT Mandiri Sejahtera bisa menempuh jalur hukum," kata Tedi dalam surat tersebut.
Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur Fadil Zumhana juga mengeluarkan pendapat hukum atas perkara ini, awal Maret lalu. Fadil menyatakan lahan seluas 3.964 hektare tersebut sah milik PT Mandiri Sejahtera. Ia berpegangan pada putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 162 PK/TUN/2015 yang memenangi Mandiri Sejahtera. Fadil juga membatasi waktu Gubernur Kalimantan Timur untuk mengeksekusi putusan itu dalam 60 hari.
Tiga amunisi ini rupanya tak mempan untuk menjatuhkan Pasir Prima Coal. Awal April lalu, perusahaan tersebut memenangkan gugatan praperadilan melawan Polda Kalimantan Timur atas pemasangan garis polisi. Presiden Direktur Pasir Prima Coal juga mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Tanah Grogot. Pasir Prima menggugat perdata putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 162 PK/TUN/ 2015. Prima Coal memenangi gugatan perdata itu.
Menurut Jono, keputusan perdata yang janggal itu telah menjadi teror baginya, Pasalnya, dalam putusan itu dia menjadi turut tergugat dan harus membayar ganti rugi Rp 80 miliar. "Rumah saya satu-satunya diancam akan disita," katanya.
Jono mengaku putusan perdata itu menyimpang dan tidak memiliki landasan hukum. Bagaimana ada pihak yang mendapatkan izin tambang di atas negara dan terbukti menurut putusan Peninjauan Kembali Tata Usaha Negara di Mahkamah Agung, bisa memiliki hak perdata. "Lebih dari satu yang jadi sasaran. Dikriminalisasi karena sesuatu yang bukan tanggung jawab saya, dan sekarang mesti menanggung ganti rugi," katanya.
Sebelumnya Jono pernah mendekam tujuh bulan dalam penjara karena laporan Pasir Prima balik dengan tuduhan membuat keterangan palsu dalam penerbitan izin tambang Mandiri Sejahtera. Pasir Prima di atas angin saat jabatan bupati beralih dari Andi Harahap ke Yusran Aspar pada 2013. Melalui surat, Bupati Yusran mempersilakan Pasir Prima mengeksploitasi lahan tambang. Jono yang pensiun pada 2019 nanti, tidak pernah kembali ke jabatannya alias non job sejak kejadian itu.
Karena terbit dua izin berbeda, baik Pasir Prima maupun Mandiri Sejahtera mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Episode ini berujung pada terbitnya putusan sela Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, medio 2014. Amar putusan memerintahkan penghentian aktivitas tambang di lahan sengketa. Putusan diperkuat Mahkamah Agung, yang menolak permohonan kasasi Pasir Prima pada April 2015. Belakangan laporan Pasir Prima atas Andi Harahap dihentikan polisi karena tidak cukup bukti.
Pengacara Pasir Prima Coal, Deni Ramon Siregar mengatakan kliennya merupakan pemilik sah atas lahan tambang tersebut. Menurut Deni, tudingan Pemerintah Kabupaten bahwa perusahaan kliennya mengemplang pajak dan menambang di kawasan hutan produksi tidak beralasan. "Sebaliknya Pasir Prima Coal justru banyak menyumbang pendapatan bagi daerah," katanya.
Di balik sengketa tambang batu bara ini tak lepas dari orang besar di balik Pasir Prima. Berdasarkan dokumen akta perusahaan, ada kepemilikan saham Pasir Prima Coal yang berlapis. Pemegang saham Pasir Prima Coal yang tertulis dalam akta adalah Oey Hengky Wijaya (3.750 lembar) dan PT MYS Utama Mandiri (21.250 lembar).
Adapun pemegang saham MYS Utama Mandiri adalah Jhonson Yaptonaga (200 lembar) dan PT Artha Perdana Investama (200 lembar). Kemudian, berdasarkan akta perusahaan PT Artha Perdana Investama, hampir 99,9% sahamnya dimiliki Sukardi Tandijono Tang. Dalam dokumen perusahaan Artha Perdana Investama, Sukardi menduduki jabatan komisaris utama. Lelaki kelahiran Medan pada 1951 itu, juga tercatat sebagai Komisaris Utama PT Trust Finance Indonesia Tbk dan PT Artha Securities.
Jono, yang pernah masuk penjara karena melaporkan kasus itu, hari ini datang ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Dia menegaskan ingin menagih laporan yang pernah dibuat soal penyimpangan pemberian izin dan indikasi kerugian negara dalam praktek ilegal penambangan batu bara di Penajam Paser Utara pada 2014 lalu.
"Saya menanyakan perkembangan penyelidikan kasus itu, karena bukti-bukti indikasi korupsi cukup kuat," kata Jono kepada wartawan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (31/7/2018). Dalam kesempatan itu, Jono membawa setumpuk dokumen berupa surat izin dan keputusan pengadilan dan Mahkamah Agung yan menyatakan izin tambang PT Pasir Prima Coal Indonesia itu bermasalah.
Dalam dokumen yang ditunjukkan Jono, laporan pengaduan masyarakat ke KPK dilakukan pada mengaku membuat pengaduan ke KPK pada 2 Mei 2014 dengan nomor 68653. Kemudian pada 22 September 2016 dalam surat bernomor 86732 dilakukan penambahan dokumen pengaduan.
Jono mengaku dalam laporannya, dia kembali menunjukan bukti ada praktek ilegal yang dilakukan perusahaan tersebut di areal tambang yang bukan miliknya. Dari informasi yang dia dapat, Pasir Prima Coal diketahui sudah menambang sebanyak 1 juta metrik ton senilai Rp857,58 miliar. "Artinya, dengan izin yang bermasalah ada pihak yang mendapatkan untung besar," katanya. "Di sini indikasi ada kerugian negara."
Kasus ini bermula ketika PT Mandiri Sejahtera Energindo memperoleh izin penguasaan izin tambang batu bara di Penajam pada medio November 2008. Namun Mandiri Sejahtera tak bisa mengelola lahan tambang seluas 3.964 hektare itu. Pasalnya, Mandiri Sejahtera berkali-kali "direcoki" Pasir Prima Coal.
Pasir Prima sebelumnya merupakan pemilik konsesi tambang di Penajam itu. Mereka menambang di sana sejak 2005. Namun Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara mencabut izin tambang perusahaan ini pada 2008. Pemerintah Kabupaten menuduh Pasir Prima menambang di kawasan hutan produksi tetap, tidak membayar kewajiban dan iuran, plus tak menguruk kembali lubang tambang. Konsesi tambang kemudian diberikan kepada Mandiri Sejahtera.
Pengadilan Tata Usaha Negara Samarinda, melalui surat nomor W2.TUN.5-330/HK.06/2017, juga menegaskan posisi Mandiri Sejahtera sebagai pemilik sah lahan tersebut. Dalam surat tersebut, Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Tedi Romyadi memerintahkan gubernur segera bertindak. Jika gubernur tidak bersedia menindaklanjuti permohonan eksekusi, "PT Mandiri Sejahtera bisa menempuh jalur hukum," kata Tedi dalam surat tersebut.
Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur Fadil Zumhana juga mengeluarkan pendapat hukum atas perkara ini, awal Maret lalu. Fadil menyatakan lahan seluas 3.964 hektare tersebut sah milik PT Mandiri Sejahtera. Ia berpegangan pada putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 162 PK/TUN/2015 yang memenangi Mandiri Sejahtera. Fadil juga membatasi waktu Gubernur Kalimantan Timur untuk mengeksekusi putusan itu dalam 60 hari.
Tiga amunisi ini rupanya tak mempan untuk menjatuhkan Pasir Prima Coal. Awal April lalu, perusahaan tersebut memenangkan gugatan praperadilan melawan Polda Kalimantan Timur atas pemasangan garis polisi. Presiden Direktur Pasir Prima Coal juga mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Tanah Grogot. Pasir Prima menggugat perdata putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 162 PK/TUN/ 2015. Prima Coal memenangi gugatan perdata itu.
Menurut Jono, keputusan perdata yang janggal itu telah menjadi teror baginya, Pasalnya, dalam putusan itu dia menjadi turut tergugat dan harus membayar ganti rugi Rp 80 miliar. "Rumah saya satu-satunya diancam akan disita," katanya.
Jono mengaku putusan perdata itu menyimpang dan tidak memiliki landasan hukum. Bagaimana ada pihak yang mendapatkan izin tambang di atas negara dan terbukti menurut putusan Peninjauan Kembali Tata Usaha Negara di Mahkamah Agung, bisa memiliki hak perdata. "Lebih dari satu yang jadi sasaran. Dikriminalisasi karena sesuatu yang bukan tanggung jawab saya, dan sekarang mesti menanggung ganti rugi," katanya.
Sebelumnya Jono pernah mendekam tujuh bulan dalam penjara karena laporan Pasir Prima balik dengan tuduhan membuat keterangan palsu dalam penerbitan izin tambang Mandiri Sejahtera. Pasir Prima di atas angin saat jabatan bupati beralih dari Andi Harahap ke Yusran Aspar pada 2013. Melalui surat, Bupati Yusran mempersilakan Pasir Prima mengeksploitasi lahan tambang. Jono yang pensiun pada 2019 nanti, tidak pernah kembali ke jabatannya alias non job sejak kejadian itu.
Karena terbit dua izin berbeda, baik Pasir Prima maupun Mandiri Sejahtera mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Episode ini berujung pada terbitnya putusan sela Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, medio 2014. Amar putusan memerintahkan penghentian aktivitas tambang di lahan sengketa. Putusan diperkuat Mahkamah Agung, yang menolak permohonan kasasi Pasir Prima pada April 2015. Belakangan laporan Pasir Prima atas Andi Harahap dihentikan polisi karena tidak cukup bukti.
Pengacara Pasir Prima Coal, Deni Ramon Siregar mengatakan kliennya merupakan pemilik sah atas lahan tambang tersebut. Menurut Deni, tudingan Pemerintah Kabupaten bahwa perusahaan kliennya mengemplang pajak dan menambang di kawasan hutan produksi tidak beralasan. "Sebaliknya Pasir Prima Coal justru banyak menyumbang pendapatan bagi daerah," katanya.
Di balik sengketa tambang batu bara ini tak lepas dari orang besar di balik Pasir Prima. Berdasarkan dokumen akta perusahaan, ada kepemilikan saham Pasir Prima Coal yang berlapis. Pemegang saham Pasir Prima Coal yang tertulis dalam akta adalah Oey Hengky Wijaya (3.750 lembar) dan PT MYS Utama Mandiri (21.250 lembar).
Adapun pemegang saham MYS Utama Mandiri adalah Jhonson Yaptonaga (200 lembar) dan PT Artha Perdana Investama (200 lembar). Kemudian, berdasarkan akta perusahaan PT Artha Perdana Investama, hampir 99,9% sahamnya dimiliki Sukardi Tandijono Tang. Dalam dokumen perusahaan Artha Perdana Investama, Sukardi menduduki jabatan komisaris utama. Lelaki kelahiran Medan pada 1951 itu, juga tercatat sebagai Komisaris Utama PT Trust Finance Indonesia Tbk dan PT Artha Securities.
(ven)