Perizinan Fintech Butuh Kebijakan Satu Pintu
A
A
A
JAKARTA - Pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta untuk menyediakan perizinan satu pintu bagi penyelenggara financial technology (fintech) lending. Hal ini dibutuhkan agar semua syarat yang harus dipenuhi cukup diurus di OJK. Menurut peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistiraa cara ini juga akan efektif untuk menghindari adanya perizinan yang tumpang-tindih.
Semakin minim fintech berizin berarti juga menyuburkan fintech-fintech ilegal. Dimana fintech tidak resmi ini sudah pasti lolos dari pengawasan OJK. “Jadi sekarang OJK harus punya perizinan satu pintu, harus punya insentif juga. Semua biaya perizinan itu sebaiknya digratiskan. Kalau misalnya masih juga susah, OJK harus jemput bola mendatangi fintech-fintech,” ujar Bhima di Jakarta, Rabu (8/8/2018).
Banyaknya syarat yang mesti dipenuhi membuat status perizinan fintech lending kian pelik. Saat ini banyak fintech yang berjuang memenuhi syarat untuk mendapat izin penuh (full licensed), sejak diterbitkannya POJK Nomor 77 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Namun dari 63 fintech yang terdaftar, baru 1 fintech yang memperoleh izin.
Wajar jika 62 fintech lain yang sudah terdaftar dan berusaha memenuhi aturan merasa ketar-ketir. Pasalnya, status mereka menjadi tidak jelas, karena berstatus terdaftar tapi hanya menggenggam masa izin temporer untuk satu tahun. Untuk mendapatkan izin permanen, mereka harus mengurus perizinan resmi paling lambat setahun setelah status terdaftarnya diperoleh.
Satgas Waspada Investasi sendiri sejauh ini sudah menemukan 227 entitas yang melakukan kegiatan usaha peer to peer lending. Fintech tersebut meski sudah beroperasi, tetapi tidak terdaftar atau tidak memiliki izin usaha dalam penawaran produknya, sehingga berpotensi merugikan masyarakat.
“Ada potential lost kalau jumlah fintech yang berizin sedikit pasti akan ada risiko yang ditanggung masyarakat. Seperti kasus Rupiah Plus kemarin. Nanti ke mana-mana. Kalau tidak berizin, OJK susah memberikan sanksi atau tindakan preventif,” ujarnya.
Makin banyaknya fintech yang dianggap liar dan tidak termasuk dalam pengawasan OJK, berpotensi memicu kerugian besar, mulai dari pidana penipuan pencucian uang, transaksi ilegal, hingga tidak adanya perlindungan soal data.
Kerugian lainnya, fungsi fintech yang sejatinya berperan sebagai penyalur dana ke masyarakat, khususnya yang unbankable menjadi tak optimal. Dengan sedikitnya fintech yang berizin, potensi untuk menyalurkan kredit ke masyarakat juga jadi berkurang.
Mengambil data OJK, penyaluran dana dari fintech ke masyarakat hingga Juni 2018 telah mencapai Rp7,64 triliun. Jumlah transaksinya sendiri telah mencapai 3,16 juta kali yang tersalur ke 1,09 juta nasabah.
Bhima menyadari untuk memperoleh status izin sebagai fintech resmi memang sangat menyulitkan. Tidak hanya melulu harus memenuhi prasyarat dari OJK, penyelenggara pun akan berhadapan setidaknya dengan 14 kementerian dan lembaga.
Proses yang kompleks itu pada akhirnya membuat biaya transaksi untuk memperoleh izin membengkak dan ujungnya bisa menimbulkan keengganan pula dari penyelenggara fintech untuk mengejar status berizinnya.
Dia meyakini konsep ini bisa dilakukan. Pasalnya, investasi-investasi dengan izin satu pintu untuk berbagai sektor sudah diterapkan oleh BKPM. OJK pun mesti menjadi kepalanya dikarenakan sebagian besar fintech yang ada di Indonesia merupakan jenis fintech lending.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan selain aturan yang tertuang dalam POJK 77 Tahun 2016, setidaknya ada 25 standar operasional prosedur (SOP) lain yang mesti dipenuhi oleh penyelenggara fintech lending untuk bisa mendapatkan izin resmi yang bersifat permanen.
Di samping memang ada aturan-aturan lain yang mesti dipenuhi penyelenggara di kementerian atau lembaga lain. Misalnya untuk masalah platform, mereka mesti mendapatkan izin dari Kementerian Komunikasi dan Informasi.“Jadi ketika kami menanyakan izin, ada dua kelompok besar, penuhi UU ITE dan SOP yang 25. Beratkah itu? Memang harus berat. Karena mengapa? Hak yang akan diperoleh mereka ini sifatnya permanen,” ucapnya.
Dengan sulitnya perizinan, diharapkan nanti akan tersaring penyelenggara-penyelenggara fintech yang kapabilitasnya teruji sehingga tidak menimbulkan kerugian di masyarakat. Menurutnya, yang ingin OJK cegah adalah jangan sampai ada ketidakseragaman kualitas antar fintech berizin penuh nantinya.
Namun Hendrikus percaya, tidak terlalu banyaknya fintech yang berizin tidak akan merugikan masyarakat. Ini justru bisa menguntungkan karena menghindari masyarakat dari risiko yang bisa ditimbulkan fintech yang tidak benar.
Saat ini sendiri, setidaknya ada 14 penyelenggara fintech terdaftar yang tengah mengurus izinnya. Ia menegaskan, prinsip pembinaan tetap dikedepankan bagi mereka.“Seandainya terdapat kekurangan dari sisi penyelenggara, maka kami akan memberikan arahan untuk untuk memperbaiki. Tapi, tidak lebih dari 6 bulan sejak awal mereka mengajukan permohonan,” paparnya.
Semakin minim fintech berizin berarti juga menyuburkan fintech-fintech ilegal. Dimana fintech tidak resmi ini sudah pasti lolos dari pengawasan OJK. “Jadi sekarang OJK harus punya perizinan satu pintu, harus punya insentif juga. Semua biaya perizinan itu sebaiknya digratiskan. Kalau misalnya masih juga susah, OJK harus jemput bola mendatangi fintech-fintech,” ujar Bhima di Jakarta, Rabu (8/8/2018).
Banyaknya syarat yang mesti dipenuhi membuat status perizinan fintech lending kian pelik. Saat ini banyak fintech yang berjuang memenuhi syarat untuk mendapat izin penuh (full licensed), sejak diterbitkannya POJK Nomor 77 tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Namun dari 63 fintech yang terdaftar, baru 1 fintech yang memperoleh izin.
Wajar jika 62 fintech lain yang sudah terdaftar dan berusaha memenuhi aturan merasa ketar-ketir. Pasalnya, status mereka menjadi tidak jelas, karena berstatus terdaftar tapi hanya menggenggam masa izin temporer untuk satu tahun. Untuk mendapatkan izin permanen, mereka harus mengurus perizinan resmi paling lambat setahun setelah status terdaftarnya diperoleh.
Satgas Waspada Investasi sendiri sejauh ini sudah menemukan 227 entitas yang melakukan kegiatan usaha peer to peer lending. Fintech tersebut meski sudah beroperasi, tetapi tidak terdaftar atau tidak memiliki izin usaha dalam penawaran produknya, sehingga berpotensi merugikan masyarakat.
“Ada potential lost kalau jumlah fintech yang berizin sedikit pasti akan ada risiko yang ditanggung masyarakat. Seperti kasus Rupiah Plus kemarin. Nanti ke mana-mana. Kalau tidak berizin, OJK susah memberikan sanksi atau tindakan preventif,” ujarnya.
Makin banyaknya fintech yang dianggap liar dan tidak termasuk dalam pengawasan OJK, berpotensi memicu kerugian besar, mulai dari pidana penipuan pencucian uang, transaksi ilegal, hingga tidak adanya perlindungan soal data.
Kerugian lainnya, fungsi fintech yang sejatinya berperan sebagai penyalur dana ke masyarakat, khususnya yang unbankable menjadi tak optimal. Dengan sedikitnya fintech yang berizin, potensi untuk menyalurkan kredit ke masyarakat juga jadi berkurang.
Mengambil data OJK, penyaluran dana dari fintech ke masyarakat hingga Juni 2018 telah mencapai Rp7,64 triliun. Jumlah transaksinya sendiri telah mencapai 3,16 juta kali yang tersalur ke 1,09 juta nasabah.
Bhima menyadari untuk memperoleh status izin sebagai fintech resmi memang sangat menyulitkan. Tidak hanya melulu harus memenuhi prasyarat dari OJK, penyelenggara pun akan berhadapan setidaknya dengan 14 kementerian dan lembaga.
Proses yang kompleks itu pada akhirnya membuat biaya transaksi untuk memperoleh izin membengkak dan ujungnya bisa menimbulkan keengganan pula dari penyelenggara fintech untuk mengejar status berizinnya.
Dia meyakini konsep ini bisa dilakukan. Pasalnya, investasi-investasi dengan izin satu pintu untuk berbagai sektor sudah diterapkan oleh BKPM. OJK pun mesti menjadi kepalanya dikarenakan sebagian besar fintech yang ada di Indonesia merupakan jenis fintech lending.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menuturkan selain aturan yang tertuang dalam POJK 77 Tahun 2016, setidaknya ada 25 standar operasional prosedur (SOP) lain yang mesti dipenuhi oleh penyelenggara fintech lending untuk bisa mendapatkan izin resmi yang bersifat permanen.
Di samping memang ada aturan-aturan lain yang mesti dipenuhi penyelenggara di kementerian atau lembaga lain. Misalnya untuk masalah platform, mereka mesti mendapatkan izin dari Kementerian Komunikasi dan Informasi.“Jadi ketika kami menanyakan izin, ada dua kelompok besar, penuhi UU ITE dan SOP yang 25. Beratkah itu? Memang harus berat. Karena mengapa? Hak yang akan diperoleh mereka ini sifatnya permanen,” ucapnya.
Dengan sulitnya perizinan, diharapkan nanti akan tersaring penyelenggara-penyelenggara fintech yang kapabilitasnya teruji sehingga tidak menimbulkan kerugian di masyarakat. Menurutnya, yang ingin OJK cegah adalah jangan sampai ada ketidakseragaman kualitas antar fintech berizin penuh nantinya.
Namun Hendrikus percaya, tidak terlalu banyaknya fintech yang berizin tidak akan merugikan masyarakat. Ini justru bisa menguntungkan karena menghindari masyarakat dari risiko yang bisa ditimbulkan fintech yang tidak benar.
Saat ini sendiri, setidaknya ada 14 penyelenggara fintech terdaftar yang tengah mengurus izinnya. Ia menegaskan, prinsip pembinaan tetap dikedepankan bagi mereka.“Seandainya terdapat kekurangan dari sisi penyelenggara, maka kami akan memberikan arahan untuk untuk memperbaiki. Tapi, tidak lebih dari 6 bulan sejak awal mereka mengajukan permohonan,” paparnya.
(akr)