Peternak Terpukul Usai Kemitraan dan Penyerapan SSDN Dihapus
A
A
A
JAKARTA - Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia (APSPI) Agus Warsito mengaku terkejut dengan diterbitkannya Peraturan Kementerian Pertanian (Permentan) Nomor 30 Tahun 2018 tentang perubahan atas Permentan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu.
Hal ini menyangkut perubahan pasal yang tidak lagi mewajibkan Industri Pengolahan Susu (IPS) dan Importir untuk melakukan penyerapan Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) dan melakukan kemitraan demi meningkatkan produksi dan kualitas susu dalam negeri.
"Kami terkejut dan merasa terpukul sekali ya. Peternak tentu menyayangkan sekali perubahan peraturan menjadi Permentan 30/2018 yang menghapus semua kewajiban pelaku usaha untuk menyerap SSDN dan melakukan program kemitraan dengan peternak sapi perah lokal," kata Agus saat dihubungi.
Perubahan ini sungguh mengejutkan karena setahun belakangan Kementan cukup gencar melakukan sosialisasi pelaksanaan kemitraan yang mulai diwajibkan bagi IPS dan Importir. Agus juga melihat hilangnya kewajiban menyerap dan melakukan kemitraan untuk peningkatan produksi dan kualitas SSDN akan berdampak makin terdesaknya posisi peternak sapi perah lokal.
"Saat ini serapan susu nasional saja hanya ada di angka 18%. Harga jual susu di tingkat peternak juga sangat rendah, kualitas terbaik hanya berkisar Rp5.000 saja. Jika tidak ada kewajiban menyerap SSDN, tentu peternak akan semakin terpinggirkan dan harga juga akan terus turun karena tidak ada dukungan menjaga kualitas dan produktivitas susu," terang dua.
Menurutnya, pemerintah perlu memberikan kompensasi jika memang tidak ada kewajiban bagi pelaku usaha memanfaatkan SSDN ataupun bermitra dengan peternak sapi perah lokal. "Ketika ada revisi Permentan ini, otomatis keadaan kembali pada tidak adanya perhatian bagi nasib peternak sapi perah lokal. Setidaknya perlu ada kompensasi, minimal ketegasan soal perlunya bermitra dan penetapan harga yang tidak sewenang-wenang," jelasnya.
Dengan situasi yang ada saat ini, Ia menilai urgensi adanya regulasi yang lebih tegas dari sekadar peraturan di kementerian. Karena terbukti urusan susu ternyata menyangkut banyak faktor yang membuat Kementan tidak cukup kuat untuk menyelesaikan persoalan SSDN sendiri.
Susu saat ini belum masuk dalam klasifikasi barang pokok dan penting dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Salah satu alasannya karena tingkat konsumsi susu di Indonesia relatif masih rendah.
"Peternak sapi perah ini ya seperti dibiarkan begitu saja oleh pemerintah. Kalau tidak ada upaya dukungan, mungkin lima atau sepuluh tahun lagi tidak ada lagi peternak sapi perah lokal karena kita sudah bergantung pada impor saja untuk susu," tutupnya.
Hal ini menyangkut perubahan pasal yang tidak lagi mewajibkan Industri Pengolahan Susu (IPS) dan Importir untuk melakukan penyerapan Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) dan melakukan kemitraan demi meningkatkan produksi dan kualitas susu dalam negeri.
"Kami terkejut dan merasa terpukul sekali ya. Peternak tentu menyayangkan sekali perubahan peraturan menjadi Permentan 30/2018 yang menghapus semua kewajiban pelaku usaha untuk menyerap SSDN dan melakukan program kemitraan dengan peternak sapi perah lokal," kata Agus saat dihubungi.
Perubahan ini sungguh mengejutkan karena setahun belakangan Kementan cukup gencar melakukan sosialisasi pelaksanaan kemitraan yang mulai diwajibkan bagi IPS dan Importir. Agus juga melihat hilangnya kewajiban menyerap dan melakukan kemitraan untuk peningkatan produksi dan kualitas SSDN akan berdampak makin terdesaknya posisi peternak sapi perah lokal.
"Saat ini serapan susu nasional saja hanya ada di angka 18%. Harga jual susu di tingkat peternak juga sangat rendah, kualitas terbaik hanya berkisar Rp5.000 saja. Jika tidak ada kewajiban menyerap SSDN, tentu peternak akan semakin terpinggirkan dan harga juga akan terus turun karena tidak ada dukungan menjaga kualitas dan produktivitas susu," terang dua.
Menurutnya, pemerintah perlu memberikan kompensasi jika memang tidak ada kewajiban bagi pelaku usaha memanfaatkan SSDN ataupun bermitra dengan peternak sapi perah lokal. "Ketika ada revisi Permentan ini, otomatis keadaan kembali pada tidak adanya perhatian bagi nasib peternak sapi perah lokal. Setidaknya perlu ada kompensasi, minimal ketegasan soal perlunya bermitra dan penetapan harga yang tidak sewenang-wenang," jelasnya.
Dengan situasi yang ada saat ini, Ia menilai urgensi adanya regulasi yang lebih tegas dari sekadar peraturan di kementerian. Karena terbukti urusan susu ternyata menyangkut banyak faktor yang membuat Kementan tidak cukup kuat untuk menyelesaikan persoalan SSDN sendiri.
Susu saat ini belum masuk dalam klasifikasi barang pokok dan penting dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Salah satu alasannya karena tingkat konsumsi susu di Indonesia relatif masih rendah.
"Peternak sapi perah ini ya seperti dibiarkan begitu saja oleh pemerintah. Kalau tidak ada upaya dukungan, mungkin lima atau sepuluh tahun lagi tidak ada lagi peternak sapi perah lokal karena kita sudah bergantung pada impor saja untuk susu," tutupnya.
(akr)