RI Antisipasi Dampak Krisis Ekonomi Turki

Selasa, 14 Agustus 2018 - 12:40 WIB
RI Antisipasi Dampak...
RI Antisipasi Dampak Krisis Ekonomi Turki
A A A
JAKARTA - Krisis ekonomi di Turki diharapkan tidak berdampak buruk terhadap perekonomian di Tanah Air. Munculnya kekhawatiran akibat krisis di negara Eropa yang berbatasan dengan Asia itu hendaknya tidak disikapi secara berlebihan.

Meski demikian, sebagai antisipasi pemerintah bersama Otoritas Jasa Keuang an (OJK) dan Bank Indonesia (BI) akan terus berkoordinasi guna mengurangi dampak krisis Turki yang berawal dari gejolak mata uangnya, lira. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, kondisi perekonomian Indonesia berbeda dengan Turki yang tengah dilanda kekhawatiran krisis ekonomi akibat gejolak pasar keuangan. Indonesia punya hal-hal positif yang di lihat dalam sepekan terakhir.

“Pertumbuhan kita kuat, inflasi rendah, dan defisit APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) diperkirakan lebih rendah,” kata Sri Mulyani di Tangerang, Banten, kemarin.

Menurutnya, dampak dari adanya kekhawatiran krisis ekonomi di Turki akibat penurunan mata uang lira masih sebatas persepsi. Akan tetapi, kata Sri, pemerintah akan tetap mewas padai dan berkoordinasi dengan pihak lain seperti BI dan OJK. Sebagaimana dilansir Reuters, mata uang lira mencapai titik terendah sepanjang sejarah, yakni 7,24 lira per dolar AS. Nilai mata uang lira mengalami penurunan hingga 40% terhadap dolar sepanjang tahun ini.

Pada Jumat (10/8), nilai tukar lira terhadap dolar AS bahkan anjlok 20%. Penurunan nilai tukar lira itu memicu ke khawatiran nasib pemerintahan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang berjanji menurunkan bunga bank.

Banyak pihak menilai, memburuknya nilai lira berkaitan dengan memanasnya hubungan Turki dengan Amerika Serikat (AS). Hal itu membuat investor Eropa dan AS mengamati dengan teliti fenomena tersebut. Kehancuran lira juga memengaruhi mata uang lain di Asia dan mata uang lain seperti franc (Swiss), dan yen (Jepang).

Selain itu, mayoritas indeks saham di Asia dan Eropa juga mengalami penurunan. Indeks Nikkei 225 di Tokyo turun 440,65 poin atau 1,98% dibanding penutupan Jumat (10/8). Indeks Hang Seng juga turun 430 poin (-,52%). Kemudian Kospi Korea melemah 34,34 pon (-1,5%). Di dalam negeri, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia juga anjlok ke zona merah dengan kehilangan 216 poin atau -3,55% ke level 5.861,2.

Sementara itu, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin pagi sempat turun 157 poin menjadi Rp14.643 dibanding pada posisi Jumat (10/8) yakni Rp14.437 per dolar AS. Pada sore harinya, berdasarkan kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah ditutup pada kisaran Rp14.583 per dolar AS.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro juga meyakini kondisi perekonomian Indonesia saat ini lebih baik dibandingkan Turki kendati rupiah melemah dan menembus level Rp14.600 per dolar AS.

“Kita harus melakukan rasionalisasi yang baik, sehingga terlihat bedanya Indonesia dengan Turki. Saya yakin kita dalam posisi yang lebih baik dibandingkan dengan Turki,” ujarnya.

Menurut Bambang, BI relatif lebih independen dibandingkan Bank Sentral Turki (The Central Bank of Republic of Turkey/ CBRT), yang mendapatkan intervensi dari pemerintahnya. “Yang penting kita menjaga stance, posisi kita, bahwa bank sentral itu independen.

Kedua, inflasi terkendali. Karena Turki itu double digit inflasinya, kitakan 3-4%. Ketiga, kestabilan makro kita relatif terjaga,” katanya. Presiden Erdogan menuding krisis moneter di negaranya merupakan imbas dari kebijakan AS yang dituding sebagai upaya menikam dari belakang. Pekan lalu, AS memberlakukan sanksi kepada Turki karena menolak membebaskan pendeta Andrew Brunson yang ditahan. Sanksi itu memanaskan pasar saham dan keuangan Turki.

“Kamu bertindak satu sisi sebagai mitra strategis, di sisi lain pelurumu mengenai kaki mitra strategismu,” tuding Erdogan di alamatkan ke AS, dilansir BBC . “Kita tetap bersama di NATO dan kamu mencoba menikam mitra strategis dari belakang.” Menurut Erdogan, penyebab dari semua masalah ini tidak ada alasan ekonomi. Dia bersikukuh AS telah menjalankan operasi melawan Turki.

Untuk mengatasinya, Erdogan mendesak semua warga Turki menjual dolar AS dan membeli lira. “Secara khusus saya berbicara kepada pihak bisnis. Jangan buru-buru ke bank untuk membeli dolar. Anda harus tahu itu untuk menjaga negara ini tetap berdiri dan juga kewajiban pihak pengusaha,” ujarnya.

Pemerintah Turki juga berjanji akan bergerak cepat untuk menenangkan pasar setelah nilai tukar mata uang lira jatuh ke rekor terbaru pada pasar Asia. Kementerian Keuangan Turki mengungkapkan, langkah detail akan dibeberkan dalam waktu dekat.

“Mulai Senin (kemarin) pagi seterusnya, institusi institusi kami akan mengambil berbagai langkah yang diperlukan dan akan mengumumkannya ke pasar,” kata Menteri Keuangan Turki Berat Albayrak. Dia menyebut Pemerintah Turki akan bertindak dengan cepat guna membantu bank dan usaha kecil-menengah yang paling terdampak oleh merosotnya nilai tukar lira.

Tidak Hanya Indonesia

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai pelemahan nilai tukar lira tidak hanya akan berdampak kepada pelemahan nilai tukar rupiah, namun juga berdampak kepada nilai mata uang negara berkembang lain. Menurut Darmin, dampak tersebut tidak perlu menjadi kekhawatiran besar. Hal ini dikarenakan krisis Turki dipicu oleh AS yang membebankan bea masuk impor yang tinggi bagi aluminium dan baja.

“Itu terlalu berlebihan. Turki memang ada hal khusus di sana sehingga kena dampaknya. (Itu) tidak mesti berlaku di negara lain. Sebenarnya Indonesia bisa tidak kena imbasnya, kalau orang berpikir pasti tidak akan ada imbasnya,” ungkapnya.

Darmin melanjutkan, selama ini mata uang lira melemah terbesar terhadap dolar AS. Hal ini kemudian diperparah dengan keputusan AS mengenakan bea masuk terhadap produk baja dan aluminium milik Turki. “Selama ini Turki salah satu mata uang yang pelemahannya besar. Ada Turki, ada Rusia, ada Brasil. Nah , begitu dinaikkan khusus (bea masuk), ini bukan urusan perang dagang dengan China dan Eropa, dia lagi marah saja. Kemudian di bebankan bea masuk. Dia tahu, kalau dibebankan bea masuk dengan produk besar begitu di Turki ini dampaknya besar,” katanya.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Ec onomics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati berpendapat, kondisi krisis keuangan di Turki tidak berdampak langsung kepada Indonesia. Hal ini karena perdagangan ekspor impor Indonesia dengan Turki tidak sebanyak dengan China atau AS.

“Kalau Turki sebenarnya tidak bisa dibandingkan karena ada persoalan di samping fundamental, ada persoalan stabilitas kawasan di Turki yang juga sangat mempunyai dampak besar terhadap nilai tukar lira,” ujarnya. Enny menuturkan, apabila nilai tukar mata uang Turki melemah tentu akan mengganggu pertumbuhan ekonomi Turki. Akibatnya, permintaan impor Turki terhadap Indonesia juga mempunyai dampak. “Secara tidak langsung ini efek domino juga,” ungkapnya.

Di sisi lain, apabila kinerja impor Turki turun terhadap negara-negara mitra dagang Indonesia seperti China, maka akan berimbas juga kepada Indonesia. “Kalau potensi impor Turki turun terhadap negara-negara mitra dagang kita, itu berimbas ke kita, permintaan mereka ke kita juga akan turun. Perdagangan global akan bekerja seperti itu,” katanya.

Intervensi BI

Bank Indonesia (BI) hingga kemarin siang terus melakukan intervensi pasar valas guna meredam tekanan global yang melemahkan nilai tukar rupiah hingga ke level baru di Rp14.600 per dolar AS. Direktur Eksekutif Kepala De partemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengatakan, bank sentral terus mencermati tekanan ekonomi global yang datang.

Untuk mengantisipasi tekanan yang bisa saja semakin kuat, BI bersiap menjalankan dua intervensi dengan stabilisasi di pasar surat berharga negara (SBN). “BI stabilisasi di pasar valas. Sejauh ini (tekanan) masih bisa dikendalikan, sedang kami upayakan,” ujar Nanang.

Di tempat terpisah, ekonom Samuel Aset Manajemen, Lana Soelistianingsih, mengatakan, sentimen negatif dari gejolak ekonomi Turki menjadi salah satu faktor yang membuat rupiah anjlok, bersama mata-mata uang negara lain di dunia. Menurutnya, Turki sedang terancam krisis keuangan dan menjadi perhatian investor global karena semakin kuatnya intervensi Presiden Erdogan ke Bank Sentral Turki dan memburuknya hubungannya dengan Amerika Serikat.

“Nilai tukar lira Turki mencatatkan depresiasi tajam. Efek Turki ini dikhawatirkan membuat mata uang dolar AS menguat dan seba liknya emerging markets lain, termasuk rupiah akan melemah,” kata Lana.

Analis senior CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan, sentimen mengenai gejolak ekonomi Turki menjadi faktor yang membuat sejumlah mata uang di dunia, termasuk rupiah mengalami tekanan terhadap dolar AS.

“Turki memiliki banyak eksposur utang terhadap Eropa sehingga ketika ekonomi Turki di ambang krisis maka akan memengaruhi ekonomi Eropa dan dapat berdampak ke negara di kawasan Asia,” katanya.
(don)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0955 seconds (0.1#10.140)