Fintech Butuh Dukungan Regulasi Demi Target Inklusi Keuangan
A
A
A
JAKARTA - Pertumbuhan industri financial technology (fintech) dibutuhkan untuk mencapai target inklusi keuangan sebesar 75% pada 2019. Namun regulasi yang mengatur saat ini dinilai menjadi sentimen negatif buat pertumbuhan industri tersebut. Tanpa ekosistem yang baik, pertumbuhan fintech bakal tertahan dan menghambat inklusi keuangan.
Dengan adanya aturan yang ketat dari POJK Nomor 77 Tahun 2016 saja beserta turunannya dalam surat edaran, saat ini baru 1 fintech lending yang memperoleh izin permanen dari OJK. Padahal total fintech lending yang terdaftar sudah sebanyak 63 penyelenggara.
Menurut peneliti Indef Andry Satrio Nugroho, fintech saat ini merupakan andalan utama Indonesia untuk bisa mencapai tingkat inklusi yang diharapkan. Seperti diketahui, saat ini tingkat masyarakat bankable nusantara, terlebih di daerah-daerah, masih tergolong rendah.
Sedikit informasi, berdasarkan data Findex, pada 2017 baru 49% orang dewasa yang mempunyai akses ke sistem finansial formal. Di sisi lain, 69% populasi yang belum mendapatkan akses perbankan sebenarnya telah menggunakan smartphone dan bisa terakses langsung ke fintech.
“Apabila ada regulasi yang bertentangan, dampaknya akan mempengaruhi fintech. Kedua, fintech tidak bisa bekerja optimal untuk melakukan inklusi keuangan yang sedang digiatkan sekarang di Indonesia,” ujar Andry di Jakarta, Rabu (15/8/2018).
Dia menanggapi adanya surat pernyataan penyelenggara fintech yang beredar ke publik. Andry melihat, rencana aturan yang belum jelas tersebut, merusak iklim inovasi fintech. Terutama regulasi mengenai bunga yang jelas berseberangan dengan apa yang tertuang dalam regulasi pada POJK.
“Kalau misalnya ada pembatasan bunga, itu terasa kontradiktif dengan POJK sendiri. Kedepannya kalau tidak ada sinergi antar kebijakan tersebut justru membuat para pelaku fintech jadi ragu-ragu dalam berinovasi,” imbuh Andry.
Dalam draft surat pernyataan tersebut, beberapa aturan yang diwajibkan penyelenggara fintech, justru bertentangan dengan aturan dalam POJK Nomor 77 Tahun 2016 sendiri. Di antaranya terkait tingkat biaya ekonomi pendanaan, alias suku bunga fintech yang hendak dibatasi agar tidak lebih tinggi dari perbankan, perusahaan pembiayaan, koperasi maupun Lembaga keuangan mikro.
Padahal dalam POJK 77 Tahun 2016, jelas-jelas dinyatakan, OJK sebagai otoritas tidak mengatur soal batas maksimal bunga kredit dalam fintech lending. Kemudian, penyelenggara fintech juga tidak diperkenankan mengenakan denda atau kewajiban finansial lainnya terhadap penerima pinjaman, dengan jumlah akumulatif bersih melebihi 20% dari nilai pokok pinjaman.
Masih dalam draft surat pernyataan yang harus disepakati penyelenggara fintech, disebutkan soal kewajiban melaporkan informasi detail soal nasabah penunggak kredit ke dalam database Pusat Layanan Informasi fintech yang dibangun oleh para penyelenggara fintech sendiri dan dilaporkan ke OJK.
Selanjutnya, penyelenggara fintech juga harus melaporkan ke OJK identitas dari seluruh pihak yang melakukan collection atau penagihan paling sedikit tiga bulan sekali. Hal lainnya yang juga cukup janggal, draf tersebut juga tegas melarang penyelenggara fintech mempekerjakan orang-orang yang pernah terpidana dalam lima tahun terakhir.
Sebelumnya, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengakui, aturan mengenai fintech memang akan kerap berubah seiring dengan perkembangan terkini. Namun, semuanya akan selalu dikoordinasikan dengan AFTECH.
Mengenai bunga sendiri, ia memastikan, pihaknya tidak akan mengatur soal bunga fintech lending dan menyerahkan besaran bunga fintech kepada mekanisme pasar. “Tidak akan kami atur. Karena kenapa? Yang namanya bunga, itu biar ditentukan oleh supply and demand. Asas demokrasi,” ucapnya.
Dengan adanya aturan yang ketat dari POJK Nomor 77 Tahun 2016 saja beserta turunannya dalam surat edaran, saat ini baru 1 fintech lending yang memperoleh izin permanen dari OJK. Padahal total fintech lending yang terdaftar sudah sebanyak 63 penyelenggara.
Menurut peneliti Indef Andry Satrio Nugroho, fintech saat ini merupakan andalan utama Indonesia untuk bisa mencapai tingkat inklusi yang diharapkan. Seperti diketahui, saat ini tingkat masyarakat bankable nusantara, terlebih di daerah-daerah, masih tergolong rendah.
Sedikit informasi, berdasarkan data Findex, pada 2017 baru 49% orang dewasa yang mempunyai akses ke sistem finansial formal. Di sisi lain, 69% populasi yang belum mendapatkan akses perbankan sebenarnya telah menggunakan smartphone dan bisa terakses langsung ke fintech.
“Apabila ada regulasi yang bertentangan, dampaknya akan mempengaruhi fintech. Kedua, fintech tidak bisa bekerja optimal untuk melakukan inklusi keuangan yang sedang digiatkan sekarang di Indonesia,” ujar Andry di Jakarta, Rabu (15/8/2018).
Dia menanggapi adanya surat pernyataan penyelenggara fintech yang beredar ke publik. Andry melihat, rencana aturan yang belum jelas tersebut, merusak iklim inovasi fintech. Terutama regulasi mengenai bunga yang jelas berseberangan dengan apa yang tertuang dalam regulasi pada POJK.
“Kalau misalnya ada pembatasan bunga, itu terasa kontradiktif dengan POJK sendiri. Kedepannya kalau tidak ada sinergi antar kebijakan tersebut justru membuat para pelaku fintech jadi ragu-ragu dalam berinovasi,” imbuh Andry.
Dalam draft surat pernyataan tersebut, beberapa aturan yang diwajibkan penyelenggara fintech, justru bertentangan dengan aturan dalam POJK Nomor 77 Tahun 2016 sendiri. Di antaranya terkait tingkat biaya ekonomi pendanaan, alias suku bunga fintech yang hendak dibatasi agar tidak lebih tinggi dari perbankan, perusahaan pembiayaan, koperasi maupun Lembaga keuangan mikro.
Padahal dalam POJK 77 Tahun 2016, jelas-jelas dinyatakan, OJK sebagai otoritas tidak mengatur soal batas maksimal bunga kredit dalam fintech lending. Kemudian, penyelenggara fintech juga tidak diperkenankan mengenakan denda atau kewajiban finansial lainnya terhadap penerima pinjaman, dengan jumlah akumulatif bersih melebihi 20% dari nilai pokok pinjaman.
Masih dalam draft surat pernyataan yang harus disepakati penyelenggara fintech, disebutkan soal kewajiban melaporkan informasi detail soal nasabah penunggak kredit ke dalam database Pusat Layanan Informasi fintech yang dibangun oleh para penyelenggara fintech sendiri dan dilaporkan ke OJK.
Selanjutnya, penyelenggara fintech juga harus melaporkan ke OJK identitas dari seluruh pihak yang melakukan collection atau penagihan paling sedikit tiga bulan sekali. Hal lainnya yang juga cukup janggal, draf tersebut juga tegas melarang penyelenggara fintech mempekerjakan orang-orang yang pernah terpidana dalam lima tahun terakhir.
Sebelumnya, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengakui, aturan mengenai fintech memang akan kerap berubah seiring dengan perkembangan terkini. Namun, semuanya akan selalu dikoordinasikan dengan AFTECH.
Mengenai bunga sendiri, ia memastikan, pihaknya tidak akan mengatur soal bunga fintech lending dan menyerahkan besaran bunga fintech kepada mekanisme pasar. “Tidak akan kami atur. Karena kenapa? Yang namanya bunga, itu biar ditentukan oleh supply and demand. Asas demokrasi,” ucapnya.
(akr)