DPR Desak Pemerintah Kuasai Tambang Nikel di Sulawesi
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah didorong mengubah Kontrak Karya (KK) Inco Vale Indonesia menjadi Izin Usaha Pertambangan khusus (IUPK) untuk menguasai kembali tambang bijih nikel di pegunungan Verbeek, Sulawesi. Dorongan ini setelah pemerintah berhasil mendapatkan 51,2% saham PT Freeport Indonesia.
Anggota Komisi VII Ahmad HM Ali mengatakan, KK merupakan kisah panjang tentang kekalahan. Sebagai contoh, renegosiasi KK PT Inco generasi kedua mematok besaran pajak penghasilan terhitung sejak 1 April 2008 sebesar 30,% yang notabene lebih rendah dibanding sebelumnya yang mencapai 45%.
Kekalahan ini bahkan dapat lebih panjang lagi jika ikut menghitung biaya sosial yang mesti ditanggung oleh masyarakat yang mendiami wilayah operasi, salah satunya ragam konflik sumber daya antara korporasi dengan masyarakat.
Politisi NasDem ini menceritakan, pada 2007, Vale, maskapai tambang berbasis Brazil, berhasil mengakuisisi Inco yang pada 1967 memenangkan konsesi bijih nikel di bawah rezim KK berdurasi puluhan tahun, dan luasan areal mencakup 6,6 juta ha bagian timur dan tenggara Sulawesi. Buntutnya, dengan bekal penguasaan saham mayoritas sebesar 58,73%, pada 2011 PT Inco Tbk berubah nama menjadi PT Vale Indonesia Tbk. Perubahan nama dan struktur kepemilikan saham ini secara simultan berada pada momentum perubahan rezim dan renegosiasi KK sebagaimana amanah UU No 4/2009 tentang Minerba.
“PT Vale sebagai salah satu maskapai pertambangan asing mempertontonkan sikap tidak kooperatif. Terhitung hampir dua tahun sejak diundangkan, hingga Juni 2011 PT Vale belum bersedia untuk maju ke meja perundingan dengan pihak pemerintah Indonesia,” kata Ali dalam siaran persnya, Senin (20/8/2018).
Amandemen KK PT Vale memang akhirnya berhasil ditandatangani bersama pada Oktober 2014. Sayangnya, amandemen KK tersebut dipandang Ali masih menyisakan sejumlah penanda kekalahan.
Kekalahan utama justru tepat berada dijantung persoalan, yakni divestasi. PT Vale seharusnya menyepakati kewajiban mendivestasikan saham PT Vale sebesar 20% kepada peserta Indonesia (pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan pihak swasta dan individu Indonesia) sebagai tindak lanjut dari divestasi saham sebesar 40 persen kepada pihak Indonesia. Namun alih -alih dikuasai Indonesia, dari 20,49% saham publik, sebagian besarnya justru dimiliki pihak swasta asing yang berkedudukan di luar negeri, di antaranya Citybank New York, JP Morgan Chase Bank, BP2S Luxembourg, BBH Boston, Platinum International Fund, dan BPN Paribas.
“Padahal dalam UU minerba yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 24/2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba secara eksplisit mewajibkan divestasi kepada peserta Indonesia sebesar 51% pada tahun ke-10 sejak produksi,” ungkapnya.
Anggota Komisi VII Ahmad HM Ali mengatakan, KK merupakan kisah panjang tentang kekalahan. Sebagai contoh, renegosiasi KK PT Inco generasi kedua mematok besaran pajak penghasilan terhitung sejak 1 April 2008 sebesar 30,% yang notabene lebih rendah dibanding sebelumnya yang mencapai 45%.
Kekalahan ini bahkan dapat lebih panjang lagi jika ikut menghitung biaya sosial yang mesti ditanggung oleh masyarakat yang mendiami wilayah operasi, salah satunya ragam konflik sumber daya antara korporasi dengan masyarakat.
Politisi NasDem ini menceritakan, pada 2007, Vale, maskapai tambang berbasis Brazil, berhasil mengakuisisi Inco yang pada 1967 memenangkan konsesi bijih nikel di bawah rezim KK berdurasi puluhan tahun, dan luasan areal mencakup 6,6 juta ha bagian timur dan tenggara Sulawesi. Buntutnya, dengan bekal penguasaan saham mayoritas sebesar 58,73%, pada 2011 PT Inco Tbk berubah nama menjadi PT Vale Indonesia Tbk. Perubahan nama dan struktur kepemilikan saham ini secara simultan berada pada momentum perubahan rezim dan renegosiasi KK sebagaimana amanah UU No 4/2009 tentang Minerba.
“PT Vale sebagai salah satu maskapai pertambangan asing mempertontonkan sikap tidak kooperatif. Terhitung hampir dua tahun sejak diundangkan, hingga Juni 2011 PT Vale belum bersedia untuk maju ke meja perundingan dengan pihak pemerintah Indonesia,” kata Ali dalam siaran persnya, Senin (20/8/2018).
Amandemen KK PT Vale memang akhirnya berhasil ditandatangani bersama pada Oktober 2014. Sayangnya, amandemen KK tersebut dipandang Ali masih menyisakan sejumlah penanda kekalahan.
Kekalahan utama justru tepat berada dijantung persoalan, yakni divestasi. PT Vale seharusnya menyepakati kewajiban mendivestasikan saham PT Vale sebesar 20% kepada peserta Indonesia (pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan pihak swasta dan individu Indonesia) sebagai tindak lanjut dari divestasi saham sebesar 40 persen kepada pihak Indonesia. Namun alih -alih dikuasai Indonesia, dari 20,49% saham publik, sebagian besarnya justru dimiliki pihak swasta asing yang berkedudukan di luar negeri, di antaranya Citybank New York, JP Morgan Chase Bank, BP2S Luxembourg, BBH Boston, Platinum International Fund, dan BPN Paribas.
“Padahal dalam UU minerba yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 24/2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba secara eksplisit mewajibkan divestasi kepada peserta Indonesia sebesar 51% pada tahun ke-10 sejak produksi,” ungkapnya.
(poe)