Transaksi Jual Beli Saham Pertagas Jelang Pilpres Dipertanyakan

Jum'at, 24 Agustus 2018 - 14:16 WIB
Transaksi Jual Beli Saham Pertagas Jelang Pilpres Dipertanyakan
Transaksi Jual Beli Saham Pertagas Jelang Pilpres Dipertanyakan
A A A
JAKARTA - Sejumlah kalangan mempertanyakan keputusan pemerintah untuk membentuk Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor minyak dan gas bumi (migas). Kebijakan tersebut dinilai janggal mengingat dilakukan menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Legislatif pada 2019.

Seperti diketahui, keputusan untuk membentuk Holding BUMN migas dilakukan dengan cara melimpahkan saham seri B pemerintah di PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) sebanyak 56,96% menjadi milik PT Pertamina (Persero) selaku holding.

Pertamina mendapatkan saham senilai Rp38,13 triliun tersebut secara cuma-cuma setelah terbitnya Keputusan Menteri Keuangan terkait valuasi harga saham pemerintah yang dipindah kepemilikannya ke Pertamina pada akhir Maret lalu.

Selanjutnya untuk mengintegrasikan seluruh bisnis hilir gas di PGN sebagai subholding bisnis gas Pertamina, maka PGN diminta untuk mengakuisisi PT Pertamina Gas (Pertagas). Perusahaan ini merupakan anak usaha Pertamina di bisnis yang sama sehingga nantinya akan menjadi anak usaha PGN.

Sesuai negosiasi antara ketiga perusahaan, PGN akan membeli secara bertahap seluruh saham Pertagas. Dimulai dengan mengakuisisi 51% saham Pertagas senilai USD1,22 miliar atau setara Rp16,6 triliun yang harus dilunasi dalam waktu 90 hari sejak penandatanganan Perjanjian Jual Beli Saham Bersyarat (Conditional Sales Purchase Agreement/CSPA) pada tanggal 29 Juni 2018.

Namun belum juga PGN tuntas membayar 51% saham tersebut, muncul kabar di internal Kementerian BUMN bahwa pemerintah ingin PGN secepatnya melakukan pembelian sisa 49% saham Pertagas tahun ini juga.

Menanggapi hal tersebut, Ekonom Dradjad Wibowo menilai, manajemen yang diterapkan Kementerian BUMN untuk beberapa aksi korporasi perusahaan pelat merah hanya akan merusak BUMN terkait.

"Saya tidak ingin berprasangka buruk. Tapi penanganan BUMN seperti itu, yang tidak sesuai dengan rencana korporasi mereka sejak awal ditambah dengan pentungan besi dari pemerintah, cenderung merusak BUMN," kata Dradjad, di Jakarta, Jumat (24/8/2018).

Ia melanjutkan, masyarakat bisa liar menafsirkan setiap kebijakan pemerintah yang memaksa BUMN mengeluarkan uang dalam jumlah besar yang kebetulan berdekatan dengan jadwal pelaksanaan pesta demokrasi tahun depan.

"Apakah ada kaitan dengan pengumpulan dana untuk pemenangan pemilu? Silakan saja ditafsirkan sendiri," kata dia.

Pihaknya berharap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai auditor keuangan negara bisa membuat penilaian yang tegas terhadap setiap transaksi mencurigakan yang dilakukan oleh BUMN, atas instruksi pemerintah.

"Mudah-mudahan nanti BPK tegas dan konsisten mengaudit transaksi korporasi dan aliran dana dalam transaksi Pertamina, PGN dan Pertagas ini," ujarnya.

Sementara itu, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP Ihsan Yunus menilai pemerintah kerap kali membuat kebijakan yang salah dalam mengelola BUMN melalui kementerian terkait. "Apabila BUMN banyak yang sakit, sama saja pemerintah gagal memberikan kontribusi positif bagi perekonomian," kata Ihsan.

Ia mencontohkan PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) yang total kewajibannya melonjak dari Rp2,8 triliun di 2008 menjadi Rp10 triliun pada 2017.

"Apa ini tidak memprihatinkan? Wajar kami mempertanyakan kapabilitas pemerintah dalam mengelola BUMN. Lampu kuning sudah terlihat juga di kondisi PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang terus merugi," ujarnya.

Menurut dia, pemerintah harus fokus mengobati BUMN yang sakit dengan membuat terobosan yang kreatif, selama tidak langgar peraturan perundang-undangan. Dia menilai, banyaknya BUMN yang sakit akan buruk bagi perekonomian dan berpotensi menurunkan peringkat investasi Indonesia di masa datang.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4097 seconds (0.1#10.140)