Trump Menantang Perdagangan Jepang
A
A
A
WASHINGTON - Trump Tantrum. Kata terakhir yang berarti ledakan emosi. Mungkin istilah ini pas untuk menggambarkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang gemar 'meledakkan emosi' perang dagang.
Setelah menabuh genderang perang dagang dengan China sejak 1 Maret--menerapkan tarif tambahan untuk produk baja dan aluminium dari China--Trump kemudian meluaskan 'emosinya' dengan Uni Eropa, Kanada, Meksiko dan target terbaru: Jepang.
Kabar Trump menantang perdagangan dengan Jepang menjadi artikel utama The Wall Street Journal, Jumat (7/9). Media yang berdomisili di New York tersebut menulis hasil percakapan telepon sang editor James Freeman dengan Presiden Trump.
"Presiden Trump mengatakan meski dia telah mencapai negosiasi dengan teman-teman dari Amerika Utara dan Uni Eropa, ketidakpastian perdagangan tidak akan berakhir. Saya masih terganggu dengan ketentuan perdagangan Amerika Serikat dengan Jepang," tulis Freeman meniru ucapan Trump.
"Saya (Trump) memiliki hubungan baik dengan pemimpin Jepang tetapi saya akan mengatakan ke mereka mengenai harga yang harus mereka bayar," lanjut Freeman dalam artikelnya.
Alasan Trump menantang perdagangan dengan Jepang, karena dirinya sedang fokus untuk menghapus defisit perdagangan AS dengan negara-negara mitranya.
Derek Scissors, ekonom yang menyoroti masalah Asia di American Enterprise Institute, lembaga kebijakan publik yang berbasis di Washington DC, menilai Trump memang suka memilih perang dagang bila perjanjian perdagangan merugikan negaranya.
Dan maraknya produk otomotif Jepang yang masuk ke Amerika telah mengancam industri nasional mereka. "Jadi, Jepang adalah target berikutnya dari perang dagang Trump, terutama soal otomotif," katanya kepada CNBC, Jumat (7/9/2018).
Berdasarkan Pasal 232 dari Undang-undang Perdagangan Amerika Serikat tahun 1962 menyatakan: memberi wewenang kepada Presiden AS untuk memberlakukan pembatasan impor untuk melindungi keamanan nasional AS.
Wewenang tersebut didapat dari hasil investigasi yang dilakukan Departemen Perdagangan AS. Departemen diminta melakukan penyelidikan untuk menentukan dampak impor pada keamanan nasional Amerika.
Tujuan dari UU tersebut untuk menjauhkan Amerika dari ketergantungan terhadap barang impor yang secara fundamental mengancam kemampuan industri domestik AS dalam upaya memenuhi kebutuhan keamanan nasional.
Merujuk dari beleid di atas, AS akan mengancam mengenakan tarif 25% untuk impor mobil dan komponen impor. Namun, sejauh ini, Pemerintah AS masih belum memutuskan tarif yang akan dikenakan terhadap mobil impor asal Jepang dalam upaya melindungi produsen mobil AS dan menurunkan defisit perdagangan.
Biro Sensus AS menyebut, defisit perdagangan dengan Jepang sangat tinggi, ketiga terbesar setelah China dan Meksiko. Defisit perdagangan AS dengan Negeri Matahari Terbit mencapai USD54 miliar atau setara Rp804 triliun (estimasi kurs Rp14.900 per USD). Defisit tersebut berasal dari impor mobil dan suku cadang.
"Defisit perdagangan dapat disebabkan karena praktik yang tidak adil. Tapi dalam kasus Jepang, saya belum melihat pernyataan Trump soal kesalahan yang dilakukan Jepang. Jadi, saya pikir itu ledakan emosi dari presiden," kata Scissors.
Ancaman tarif Amerika dinilai untuk menekan Jepang agar membentuk perjanjian perdagangan bilateral. Tokyo selama ini menentang kesepakatan eksklusif Washington dan telah memilih melakukan perjanjian multilateral yang lebih beragam, seperti TPP (Trans-Pacific Partnership).
"Saya pikir, dalam kasus Jepang, Trump menginginkan tawar-menawar dari Jepang" ujarnya.
Jika tarif terhadap impor mobil Jepang diberlakukan, hal ini akan memukul Toyota, Nissan dan Honda, dimana Amerika Serikat merupakan pasar utama. Tamparan tarif bisa merugikan ekonomi Jepang karena ekspor mobil merupakan kunci utama ekonomi mereka.
Namun, analis di perusahaan intelijen geopolitik Stratfor mengatakan, pemberlakuan kenaikan tarif belum akan dilakukan terhadap Jepang karena banyaknya fasilitas produksi Jepang di AS. Dan pejabat kedua negara bakal mengadakan pembicaraan penting menjelang pertemuan Trump dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB pada akhir September ini.
Setelah menabuh genderang perang dagang dengan China sejak 1 Maret--menerapkan tarif tambahan untuk produk baja dan aluminium dari China--Trump kemudian meluaskan 'emosinya' dengan Uni Eropa, Kanada, Meksiko dan target terbaru: Jepang.
Kabar Trump menantang perdagangan dengan Jepang menjadi artikel utama The Wall Street Journal, Jumat (7/9). Media yang berdomisili di New York tersebut menulis hasil percakapan telepon sang editor James Freeman dengan Presiden Trump.
"Presiden Trump mengatakan meski dia telah mencapai negosiasi dengan teman-teman dari Amerika Utara dan Uni Eropa, ketidakpastian perdagangan tidak akan berakhir. Saya masih terganggu dengan ketentuan perdagangan Amerika Serikat dengan Jepang," tulis Freeman meniru ucapan Trump.
"Saya (Trump) memiliki hubungan baik dengan pemimpin Jepang tetapi saya akan mengatakan ke mereka mengenai harga yang harus mereka bayar," lanjut Freeman dalam artikelnya.
Alasan Trump menantang perdagangan dengan Jepang, karena dirinya sedang fokus untuk menghapus defisit perdagangan AS dengan negara-negara mitranya.
Derek Scissors, ekonom yang menyoroti masalah Asia di American Enterprise Institute, lembaga kebijakan publik yang berbasis di Washington DC, menilai Trump memang suka memilih perang dagang bila perjanjian perdagangan merugikan negaranya.
Dan maraknya produk otomotif Jepang yang masuk ke Amerika telah mengancam industri nasional mereka. "Jadi, Jepang adalah target berikutnya dari perang dagang Trump, terutama soal otomotif," katanya kepada CNBC, Jumat (7/9/2018).
Berdasarkan Pasal 232 dari Undang-undang Perdagangan Amerika Serikat tahun 1962 menyatakan: memberi wewenang kepada Presiden AS untuk memberlakukan pembatasan impor untuk melindungi keamanan nasional AS.
Wewenang tersebut didapat dari hasil investigasi yang dilakukan Departemen Perdagangan AS. Departemen diminta melakukan penyelidikan untuk menentukan dampak impor pada keamanan nasional Amerika.
Tujuan dari UU tersebut untuk menjauhkan Amerika dari ketergantungan terhadap barang impor yang secara fundamental mengancam kemampuan industri domestik AS dalam upaya memenuhi kebutuhan keamanan nasional.
Merujuk dari beleid di atas, AS akan mengancam mengenakan tarif 25% untuk impor mobil dan komponen impor. Namun, sejauh ini, Pemerintah AS masih belum memutuskan tarif yang akan dikenakan terhadap mobil impor asal Jepang dalam upaya melindungi produsen mobil AS dan menurunkan defisit perdagangan.
Biro Sensus AS menyebut, defisit perdagangan dengan Jepang sangat tinggi, ketiga terbesar setelah China dan Meksiko. Defisit perdagangan AS dengan Negeri Matahari Terbit mencapai USD54 miliar atau setara Rp804 triliun (estimasi kurs Rp14.900 per USD). Defisit tersebut berasal dari impor mobil dan suku cadang.
"Defisit perdagangan dapat disebabkan karena praktik yang tidak adil. Tapi dalam kasus Jepang, saya belum melihat pernyataan Trump soal kesalahan yang dilakukan Jepang. Jadi, saya pikir itu ledakan emosi dari presiden," kata Scissors.
Ancaman tarif Amerika dinilai untuk menekan Jepang agar membentuk perjanjian perdagangan bilateral. Tokyo selama ini menentang kesepakatan eksklusif Washington dan telah memilih melakukan perjanjian multilateral yang lebih beragam, seperti TPP (Trans-Pacific Partnership).
"Saya pikir, dalam kasus Jepang, Trump menginginkan tawar-menawar dari Jepang" ujarnya.
Jika tarif terhadap impor mobil Jepang diberlakukan, hal ini akan memukul Toyota, Nissan dan Honda, dimana Amerika Serikat merupakan pasar utama. Tamparan tarif bisa merugikan ekonomi Jepang karena ekspor mobil merupakan kunci utama ekonomi mereka.
Namun, analis di perusahaan intelijen geopolitik Stratfor mengatakan, pemberlakuan kenaikan tarif belum akan dilakukan terhadap Jepang karena banyaknya fasilitas produksi Jepang di AS. Dan pejabat kedua negara bakal mengadakan pembicaraan penting menjelang pertemuan Trump dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB pada akhir September ini.
(ven)