Jika Menang, Trump Rencanakan Perang Dagang Jilid 2 dengan China
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan Presiden AS Donald Trump disebut mengatakan kepada para penasihatnya bahwa dirinya akan mengenakan tarif sebesar 60% pada semua impor dari China, jika ia memenangkan pemilu tahun ini. Hal itu dilaporkan Washington Post akhir pekan lalu, mengutip tiga orang sumber yang tidak disebutkan namanya yang diklaim mengetahui rencana tersebut.
Menanggapi rencana tersebut, para ekonom dari partai Demokrat dan Republik kepada surat kabar tersebut mengatakan bahwa langkah ini dipastikan bakal memicu gangguan besar terhadap Amerika dan perekonomian di seluruh dunia, yang jauh melebihi dampak perang dagang yang diprakarsai oleh Trump pada masa jabatan presiden pertamanya.
Selama kampanye saat ini, Trump telah berjanji untuk mencabut status China sebagai "most favored nation" atau negara yang paling favorit dalam perdagangan dengan AS. Penunjukan ini berlaku untuk hampir semua negara yang melakukan bisnis dengan AS. Gedung Putih dapat menerapkan tarif apa pun atas barang impor dari negara-negara yang tidak memiliki tarif tersebut.
Menurut kandidat terdepan dari Partai Republik ini, tarif impor terhadap barang-barang asing meningkatkan pendapatan penting bagi anggaran AS. Sementara itu, pungutan impor AS saat ini dinilai termasuk yang paling rendah di dunia.
Trump dilaporkan berulang kali sesumbar bahwa dirinya telah mendatangkan miliaran dolar ke kas AS melalui tarif pada masa jabatan pertamanya. Dia juga menyetujui dana talangan sekitar USD30 miliar untuk memberi kompensasi kepada petani yang dirugikan oleh tarif balasan yang diberlakukan oleh China.
Tercatat, China menempati peringkat ketiga dalam daftar mitra dagang utama AS, di belakang Meksiko dan Kanada. Pada November tahun lalu, Beijing menyumbang 11,7% dari total perdagangan luar negeri Negeri Paman Sam tersebut.
Menurut para analis yang disurvei oleh surat kabar tersebut, rencana itu jika dilaksanakan, kemungkinan besar akan memicu perang dagang global. "Perang dagang pada tahun 2018 hingga 2019 sangat merugikan, dan ini akan jauh melampaui itu, bahkan sulit untuk membandingkannya dengan hal tersebut," kata Erica York, ekonom senior di Tax Foundation, sebuah wadah pemikir sayap kanan yang menentang tarif, kepada Washington Post.
Hal ini menurutnya mengancam akan menjungkirbalikkan dan memecah-belah perdagangan global ke tingkat yang belum pernah dilihat selama berabad-abad. "Jika pemerintahan Trump mengenakan tarif yang jauh lebih tinggi terhadap impor dari China, perusahaan-perusahaan Amerika akan kehilangan sebagian besar pangsa pasar mereka baik di China maupun di banyak negara ketiga," kata Posen.
Menanggapi rencana tersebut, para ekonom dari partai Demokrat dan Republik kepada surat kabar tersebut mengatakan bahwa langkah ini dipastikan bakal memicu gangguan besar terhadap Amerika dan perekonomian di seluruh dunia, yang jauh melebihi dampak perang dagang yang diprakarsai oleh Trump pada masa jabatan presiden pertamanya.
Selama kampanye saat ini, Trump telah berjanji untuk mencabut status China sebagai "most favored nation" atau negara yang paling favorit dalam perdagangan dengan AS. Penunjukan ini berlaku untuk hampir semua negara yang melakukan bisnis dengan AS. Gedung Putih dapat menerapkan tarif apa pun atas barang impor dari negara-negara yang tidak memiliki tarif tersebut.
Menurut kandidat terdepan dari Partai Republik ini, tarif impor terhadap barang-barang asing meningkatkan pendapatan penting bagi anggaran AS. Sementara itu, pungutan impor AS saat ini dinilai termasuk yang paling rendah di dunia.
Trump dilaporkan berulang kali sesumbar bahwa dirinya telah mendatangkan miliaran dolar ke kas AS melalui tarif pada masa jabatan pertamanya. Dia juga menyetujui dana talangan sekitar USD30 miliar untuk memberi kompensasi kepada petani yang dirugikan oleh tarif balasan yang diberlakukan oleh China.
Tercatat, China menempati peringkat ketiga dalam daftar mitra dagang utama AS, di belakang Meksiko dan Kanada. Pada November tahun lalu, Beijing menyumbang 11,7% dari total perdagangan luar negeri Negeri Paman Sam tersebut.
Menurut para analis yang disurvei oleh surat kabar tersebut, rencana itu jika dilaksanakan, kemungkinan besar akan memicu perang dagang global. "Perang dagang pada tahun 2018 hingga 2019 sangat merugikan, dan ini akan jauh melampaui itu, bahkan sulit untuk membandingkannya dengan hal tersebut," kata Erica York, ekonom senior di Tax Foundation, sebuah wadah pemikir sayap kanan yang menentang tarif, kepada Washington Post.
Hal ini menurutnya mengancam akan menjungkirbalikkan dan memecah-belah perdagangan global ke tingkat yang belum pernah dilihat selama berabad-abad. "Jika pemerintahan Trump mengenakan tarif yang jauh lebih tinggi terhadap impor dari China, perusahaan-perusahaan Amerika akan kehilangan sebagian besar pangsa pasar mereka baik di China maupun di banyak negara ketiga," kata Posen.
(fjo)