Tiga Kriteria Sebuah Negara Disebut Krisis
A
A
A
JAKARTA - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat membuat banyak pihak memberi argumentasi masing-masing. Beberapa mengatakan ekonomi Indonesia masuk dalam tahap krisis. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan ekonomi Indonesia masih sehat. Menurut dia, ada tiga kriteria untuk menilai perekonomian Indonesia krisis atau tidak.
"Jadi ada tiga kriteria untuk melihat sebuah negara disebut krisis ekonomi atau tidak. Ini juga bisa mengukur ekonomi kita baik atau tidak," jelas Sri Mulyani dihadapan ribuan para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang Industri Indonesia (Kadin) di Hotel Kempinski, Jakarta Pusat, Jumat (14/9/2018).
Kriteria pertama, kata Sri Mulyani adalah moneter. Kondisi moneter Indonesia sampai saat ini masih baik, terlihat dari pertumbuhan ekonomi di level 5%. Inflasi yang rendah dan terjaga di level 3,5% dan konsisten menjaga stabilitas nilai tukar.
"Kondisi moneter nasional yang baik juga terlihat dari sektor perbankan, di mana kreditnya mulai bertumbuh dan kredit macet (NPL) yang masih terjaga. Rasio likuiditas (Loan to Deposit Ratio/LDR) masih bagus. Kalau beberapa tahun lalu, 2014-2016, beberapa bank harus merestrukturisasi NPL. Sekarang sudah full recovery sehingga kredit bisa tumbuh," ujarnya.
Sedangkan, kriteria kedua, mantan direktur pelaksana Bank Dunia ini menilai, kontribusi dari pajak, bea cukai dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) masih cukup baik dengan melihat APBN yang masuh sehat. Merujuk dari sini, ekonomi Indonesia bukan masuk golongan krisis.
"Dengan APBN yang sehat, kita bersyukur karena memasuki tahun turbulensi dari luar. Kalau APBN kita lemah, moneter lemah itu yang terjadi di Argentina, defisitnya di atas 5%, inflasi tinggi, suku bunga mereka hampir 60%. Turki hari ini harus naikkan suku bunga sampai 600 bps, dari 17% menjadi 24%," jelas dia.
Kriteria selanjutnya, Sri Mulyani menilai adalah kondisi neraca pembayaran yang terkait dengan neraca transaksi berjalan maupun neraca perdagangan Indonesia. Apalagi dengan penerapan kebijakan B20, ini membuat perekonomian Indonesia stabil.
"Kondisi neraca pembayaran Indonesia memang defisit namun hal tersebut masih dijaga dengan beberapa langkah, mulai dari penerapan kebijakan B20, pembatasan impor, hingga penundaan beberapa proyek infrastruktur. Itulah yang kami coba dengan memperbaiki kinerja ekspor. Dan itu butuh banyak usaha, dengan pajak memberikan insentif, LPEI untuk aktif tingkatkan ekspor," papar dia.
"Jadi ada tiga kriteria untuk melihat sebuah negara disebut krisis ekonomi atau tidak. Ini juga bisa mengukur ekonomi kita baik atau tidak," jelas Sri Mulyani dihadapan ribuan para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang Industri Indonesia (Kadin) di Hotel Kempinski, Jakarta Pusat, Jumat (14/9/2018).
Kriteria pertama, kata Sri Mulyani adalah moneter. Kondisi moneter Indonesia sampai saat ini masih baik, terlihat dari pertumbuhan ekonomi di level 5%. Inflasi yang rendah dan terjaga di level 3,5% dan konsisten menjaga stabilitas nilai tukar.
"Kondisi moneter nasional yang baik juga terlihat dari sektor perbankan, di mana kreditnya mulai bertumbuh dan kredit macet (NPL) yang masih terjaga. Rasio likuiditas (Loan to Deposit Ratio/LDR) masih bagus. Kalau beberapa tahun lalu, 2014-2016, beberapa bank harus merestrukturisasi NPL. Sekarang sudah full recovery sehingga kredit bisa tumbuh," ujarnya.
Sedangkan, kriteria kedua, mantan direktur pelaksana Bank Dunia ini menilai, kontribusi dari pajak, bea cukai dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) masih cukup baik dengan melihat APBN yang masuh sehat. Merujuk dari sini, ekonomi Indonesia bukan masuk golongan krisis.
"Dengan APBN yang sehat, kita bersyukur karena memasuki tahun turbulensi dari luar. Kalau APBN kita lemah, moneter lemah itu yang terjadi di Argentina, defisitnya di atas 5%, inflasi tinggi, suku bunga mereka hampir 60%. Turki hari ini harus naikkan suku bunga sampai 600 bps, dari 17% menjadi 24%," jelas dia.
Kriteria selanjutnya, Sri Mulyani menilai adalah kondisi neraca pembayaran yang terkait dengan neraca transaksi berjalan maupun neraca perdagangan Indonesia. Apalagi dengan penerapan kebijakan B20, ini membuat perekonomian Indonesia stabil.
"Kondisi neraca pembayaran Indonesia memang defisit namun hal tersebut masih dijaga dengan beberapa langkah, mulai dari penerapan kebijakan B20, pembatasan impor, hingga penundaan beberapa proyek infrastruktur. Itulah yang kami coba dengan memperbaiki kinerja ekspor. Dan itu butuh banyak usaha, dengan pajak memberikan insentif, LPEI untuk aktif tingkatkan ekspor," papar dia.
(ven)