Ekonomi Sosmed Potensial Bagi UMKM yang Melek Digital
A
A
A
JAKARTA - Ekonomi sosmed atau kegiatan bisnis berbasis sosial media di Indonesia sangat berperan dalam menggerakkan pertumbuhan UMKM nasional. Mereka yang melek digital dapat dengan lincah menggunakan keberadaan sosmed sebagai ujung tombak etalase marketing produk.
Peneliti dari INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara mengingatkan potensi ekonomi berbasis sosmed dari jumlah pengguna internet di Indonesia 143 juta orang. Dari jumlah tersebut sekitar 130 juta orang pengguna medsos yang aktif. Sayangnya hanya 15% yang menggunakan internet untuk belanja barang online.
Dan 93% produk yang dijual di e-commerce adalah produk impor. "Itu artinya potensi e-commerce masih terbuka lebar," ujar Bhima di Jakarta, Sabtu (22/9/2018).
Potensi ekonomi sosmed ini menurutnya sudah seharusnya dimanfaatkan pelaku UMKM. Dengan kemudahan teknologi dan akses konsumen, pasar UMKM semakin terbuka. Jumlah penjual di sosmed diperkirakan jauh lebih besar dibandingkan platform e-commerce. Mulai dari busana muslim, makanan minuman sampai aksesoris handphone.
Total transaksi e-commerce tahun 2016 menurut BI mencapai Rp75 triliun per tahun. "Meskipun kini ada beberapa startup sosmed di Indonesia tapi untuk mengimbangi dominasi sosmed skala dunia sepertinya kita belum punya," ujarnya.
Sementara pelaku startup dan juga Juru Bicara Ekonomi Digital Partai PSI Daniel Tumiwa optimistis, startup sosmed Indonesia akan merajai di skala nasional. Karena sifat UKM mencari tempat ramai dan gratis. "Sangat mungkin sekali karena semua pedagang sama sifatnya akan mencari keramaian," ujar Daniel, Sabtu (22/9).
Menurutnya, potensi startup domestik adalah dalam hal menyelesaikan masalah lokal. Hal ini yang jadi kelebihan sekaligus kekuatannya. Go-Jek misalnya, bisa dijadikan kisah sukses startup lokal. "Sedangkan kalau mau bicara di level global artinya juga harus menyelesaikan isu level global dulu," ujarnya.
Pengamat marketing Yuswohady menjelaskan, tren penggunaan sosmed untuk bisnis saat ini dikuasai Facebook, Instagram dan YouTube. Ketiganya seringkali saling terkoneksi sebagai strategi marketing oleh pelaku bisnis menengah ke bawah yang melek digital.
Dia menjelaskan, karakter bisnis platform yaitu ketika menemukan critical mass pengguna yang membesar gerakannya akan seperti bola salju yang semakin besar. Namun sebaliknya, begitu tidak ada pengguna yang masuk lalu akan terus mengecil. "Itu polanya, kecenderungannya monopoli karena terkait investasi. Sepertinya Path tidak cocok di Indonesia sehingga massanya semakin mengecil," ujar Yuswohady.
Dia mengatakan, bisnis UKM dan UMKM memiliki nyawa di sosmed dalam marketing produknya. Namun soal distribusi barang dan lapak menggunakan marketplace seperti Bukalapak atau Tokopedia. Hal itu tidak sejajar dengan perusahaan besar karena mereka menggunakan pihak ketiga yaitu Sosmed.
"Mereka tidak punya toko fisik sehingga memilih pelajari strategi marketing gratis lewat sosmed. Bahkan juga banyak yang mulai belanja iklan Rp50 juta atau lebih di sosmed untuk menggaet pelanggan," ujarnya.
Namun ini akan dikombinasikan apabila ada pemesanan pengiriman menggunakan peran marketplace. Ini akan lebih efektif karena tidak ada overhead atau tidak butuh investasi. Sangat efektif dengan biaya kecil daripada punya toko sendiri. Ini yang bikin UKM lebih kuat dibandingkan korporasi besar.
"Kini saatnya UKM lebih kuat dengan fasilitas sosmed sebagai pihak ketiga. Sedangkan korporasi besar tidak agresif. Namun banyak juga UKM yang belum melek digital belum cerdas," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, bisnis platform itu biasanya monopoli. Karena begitu muncul lalu menguasai pangsa pasar dan menjadi dominan seketika. Untuk itu, butuh kekuatan modal. Semakin besar massa penggunanya maka otomatis akan diikuti pangsa pasar, lalu valuasi produk yang semakin besar dan ujungnya mendapatkan kucuran modal.
"Sehingga kecenderungan monopolistik. Seperti Amazon di AS lalu nomor berikutnya akan kecil porsinya," ujarnya.
Dia menjelaskan, modal besar startup seperti sosmed adalah untuk kebutuhan branding dan marketing. Kompetisi dalam sektor digital akan sangat butuh modal khususnya branding. "Meskipun orang Indonesia banyak yang jago teknologi tapi tidak soal branding karena investasi mahal," ujarnya.
Peneliti dari INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara mengingatkan potensi ekonomi berbasis sosmed dari jumlah pengguna internet di Indonesia 143 juta orang. Dari jumlah tersebut sekitar 130 juta orang pengguna medsos yang aktif. Sayangnya hanya 15% yang menggunakan internet untuk belanja barang online.
Dan 93% produk yang dijual di e-commerce adalah produk impor. "Itu artinya potensi e-commerce masih terbuka lebar," ujar Bhima di Jakarta, Sabtu (22/9/2018).
Potensi ekonomi sosmed ini menurutnya sudah seharusnya dimanfaatkan pelaku UMKM. Dengan kemudahan teknologi dan akses konsumen, pasar UMKM semakin terbuka. Jumlah penjual di sosmed diperkirakan jauh lebih besar dibandingkan platform e-commerce. Mulai dari busana muslim, makanan minuman sampai aksesoris handphone.
Total transaksi e-commerce tahun 2016 menurut BI mencapai Rp75 triliun per tahun. "Meskipun kini ada beberapa startup sosmed di Indonesia tapi untuk mengimbangi dominasi sosmed skala dunia sepertinya kita belum punya," ujarnya.
Sementara pelaku startup dan juga Juru Bicara Ekonomi Digital Partai PSI Daniel Tumiwa optimistis, startup sosmed Indonesia akan merajai di skala nasional. Karena sifat UKM mencari tempat ramai dan gratis. "Sangat mungkin sekali karena semua pedagang sama sifatnya akan mencari keramaian," ujar Daniel, Sabtu (22/9).
Menurutnya, potensi startup domestik adalah dalam hal menyelesaikan masalah lokal. Hal ini yang jadi kelebihan sekaligus kekuatannya. Go-Jek misalnya, bisa dijadikan kisah sukses startup lokal. "Sedangkan kalau mau bicara di level global artinya juga harus menyelesaikan isu level global dulu," ujarnya.
Pengamat marketing Yuswohady menjelaskan, tren penggunaan sosmed untuk bisnis saat ini dikuasai Facebook, Instagram dan YouTube. Ketiganya seringkali saling terkoneksi sebagai strategi marketing oleh pelaku bisnis menengah ke bawah yang melek digital.
Dia menjelaskan, karakter bisnis platform yaitu ketika menemukan critical mass pengguna yang membesar gerakannya akan seperti bola salju yang semakin besar. Namun sebaliknya, begitu tidak ada pengguna yang masuk lalu akan terus mengecil. "Itu polanya, kecenderungannya monopoli karena terkait investasi. Sepertinya Path tidak cocok di Indonesia sehingga massanya semakin mengecil," ujar Yuswohady.
Dia mengatakan, bisnis UKM dan UMKM memiliki nyawa di sosmed dalam marketing produknya. Namun soal distribusi barang dan lapak menggunakan marketplace seperti Bukalapak atau Tokopedia. Hal itu tidak sejajar dengan perusahaan besar karena mereka menggunakan pihak ketiga yaitu Sosmed.
"Mereka tidak punya toko fisik sehingga memilih pelajari strategi marketing gratis lewat sosmed. Bahkan juga banyak yang mulai belanja iklan Rp50 juta atau lebih di sosmed untuk menggaet pelanggan," ujarnya.
Namun ini akan dikombinasikan apabila ada pemesanan pengiriman menggunakan peran marketplace. Ini akan lebih efektif karena tidak ada overhead atau tidak butuh investasi. Sangat efektif dengan biaya kecil daripada punya toko sendiri. Ini yang bikin UKM lebih kuat dibandingkan korporasi besar.
"Kini saatnya UKM lebih kuat dengan fasilitas sosmed sebagai pihak ketiga. Sedangkan korporasi besar tidak agresif. Namun banyak juga UKM yang belum melek digital belum cerdas," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, bisnis platform itu biasanya monopoli. Karena begitu muncul lalu menguasai pangsa pasar dan menjadi dominan seketika. Untuk itu, butuh kekuatan modal. Semakin besar massa penggunanya maka otomatis akan diikuti pangsa pasar, lalu valuasi produk yang semakin besar dan ujungnya mendapatkan kucuran modal.
"Sehingga kecenderungan monopolistik. Seperti Amazon di AS lalu nomor berikutnya akan kecil porsinya," ujarnya.
Dia menjelaskan, modal besar startup seperti sosmed adalah untuk kebutuhan branding dan marketing. Kompetisi dalam sektor digital akan sangat butuh modal khususnya branding. "Meskipun orang Indonesia banyak yang jago teknologi tapi tidak soal branding karena investasi mahal," ujarnya.
(ven)