Perpanjangan Kontrak JICT-KOJA Jilid II Dinilai Tanpa Izin
A
A
A
JAKARTA - Kasus perpanjangan kontrak JICT-KOJA kepada Hutchison Ports terus mendapatkan desakan terkait penyelesaiannya yang telah masuk ranah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus ini telah bergulir sejak 2015, dimana kedua usaha Pelindo II itu kembali diperpanjang kontraknya selama 20 tahun (2019-2039) dan dipaksa berlaku sejak tahun 2015 oleh Pelindo II kepada Hutchison, perusahaan milik taipan Hong Kong Li Ka Shing.
Melalui hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), auditor negara tersebut menemukan dugaan kerugian negara hampir Rp6 triliun dalam kasus kontrak JICT-Koja. Lantaran itu Ken Abimanyu selaku Koordinator Jaringan Mahasiswa Anti Korupsi (JAMAK) mendesak penyelesaian oleh KPK menyusul dinilainya ada pelanggaran Undang-undang.
"Perpanjangan kontrak jilid II JICT-Koja dilakukan tanpa izin konsesi Pemerintah. Selanjutnya perpanjangan kontrk JICT-Koja juga tidak dimasukkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) serta Rapat Umum Pemegang Perusahaan (RUPS) Kementerian BUMN, sesuai aturan UU yang berlaku," ujarnya di Jakarta.
Saat menggelar demo di KPK, diterangkan juga olehnya konsultan Pelindo II Deutsche Bank A.G Hong Kong telah melakukan keselahan keuangan dengan menilai rendah (mark down) JICT dan mengarahkan Hutchison untuk perpanjangan kontrak. "Dengan kata lain dugaan korupsi penjualan aset sekaligus gerbang ekonomi nasional JICT-Koja dilakukan secara sistematis dan terstruktur, melibatkan berbagai pihak dalam serta luar negeri," ungkapnya.
Untuk itu, Ia menambahkan KPK wajib bergerak cepat. Hasil audit investigatif BPK, menurutnya telah menemukan pelanggaran hukum dan indikasi kerugian negara bukan potensi. Artinya kerugian negara telah terjadi dan aset negara terbukti dirampok oleh para pemburu rente.
"KPK dan Pemerintah, saat ini maupun yang akan datang, wajib menunjukkan integritas total kepada negara. Stop penjualan aset kepada asing yang di masa datang hanya merugikan bangsa Indonesia dan menghilangkan kedaulatan pada cabang-cabang strategis," tandasnya.
Melalui hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), auditor negara tersebut menemukan dugaan kerugian negara hampir Rp6 triliun dalam kasus kontrak JICT-Koja. Lantaran itu Ken Abimanyu selaku Koordinator Jaringan Mahasiswa Anti Korupsi (JAMAK) mendesak penyelesaian oleh KPK menyusul dinilainya ada pelanggaran Undang-undang.
"Perpanjangan kontrak jilid II JICT-Koja dilakukan tanpa izin konsesi Pemerintah. Selanjutnya perpanjangan kontrk JICT-Koja juga tidak dimasukkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) serta Rapat Umum Pemegang Perusahaan (RUPS) Kementerian BUMN, sesuai aturan UU yang berlaku," ujarnya di Jakarta.
Saat menggelar demo di KPK, diterangkan juga olehnya konsultan Pelindo II Deutsche Bank A.G Hong Kong telah melakukan keselahan keuangan dengan menilai rendah (mark down) JICT dan mengarahkan Hutchison untuk perpanjangan kontrak. "Dengan kata lain dugaan korupsi penjualan aset sekaligus gerbang ekonomi nasional JICT-Koja dilakukan secara sistematis dan terstruktur, melibatkan berbagai pihak dalam serta luar negeri," ungkapnya.
Untuk itu, Ia menambahkan KPK wajib bergerak cepat. Hasil audit investigatif BPK, menurutnya telah menemukan pelanggaran hukum dan indikasi kerugian negara bukan potensi. Artinya kerugian negara telah terjadi dan aset negara terbukti dirampok oleh para pemburu rente.
"KPK dan Pemerintah, saat ini maupun yang akan datang, wajib menunjukkan integritas total kepada negara. Stop penjualan aset kepada asing yang di masa datang hanya merugikan bangsa Indonesia dan menghilangkan kedaulatan pada cabang-cabang strategis," tandasnya.
(akr)