Ekonom Sebut Pertemuan IMF-World Bank Tahan Pelemahan Rupiah
A
A
A
NUSA DUA - Pertemuan tahunan IMF-World Bank 2018 yang berlangsung di Bali diyakini oleh ekonom dapat menahan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) yang terus merosot. Ekonom Agustinus Prasetyantoko menjelaskan, ajang yang berlangsung sepekan ini membuat laju rupiah lebih positif.
Ditambahkan olehnya juga berdampak ke Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang ditutup menghijau akhir pekan. "Sentimen baik, tempat benar yang positif untuk investasi. Paling tidak rupiah dan indeks tidak lebih buruk," ujarnya di Nusa Dua, Bali, Sabtu (13/10/2018).
Menurut Agustinus, ketika tekanan eksternal masih kuat maka acara pertemuan ini dinilainya bisa memutarbalikan keadaan menjadi lebih baik. "Saya kira ada faktor lain soal kepemimpinan dan posisi politik, misal Presiden nunjuk masalah lugas dunia secara tidak langsung menyebut negara mana. Tidak ada disebut namanya, tapi esensinya lugas," katanya.
Selain itu Ia menambahkan, situasi yang menjadi salah satu tantangan terberat yakni pengetatan likuiditas dalam beberapa tahun kedepan. "Khusus likuiditas ini kebijakan dan sentimen penting agar tidak lebih bergejolak komparasi dengan 2013. Saat itu, Indonesia masuk dalam laporan satu dari lima negara berisiko krisis," pungkasnya.
Ditambahkan olehnya juga berdampak ke Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang ditutup menghijau akhir pekan. "Sentimen baik, tempat benar yang positif untuk investasi. Paling tidak rupiah dan indeks tidak lebih buruk," ujarnya di Nusa Dua, Bali, Sabtu (13/10/2018).
Menurut Agustinus, ketika tekanan eksternal masih kuat maka acara pertemuan ini dinilainya bisa memutarbalikan keadaan menjadi lebih baik. "Saya kira ada faktor lain soal kepemimpinan dan posisi politik, misal Presiden nunjuk masalah lugas dunia secara tidak langsung menyebut negara mana. Tidak ada disebut namanya, tapi esensinya lugas," katanya.
Selain itu Ia menambahkan, situasi yang menjadi salah satu tantangan terberat yakni pengetatan likuiditas dalam beberapa tahun kedepan. "Khusus likuiditas ini kebijakan dan sentimen penting agar tidak lebih bergejolak komparasi dengan 2013. Saat itu, Indonesia masuk dalam laporan satu dari lima negara berisiko krisis," pungkasnya.
(akr)