Melihat Lebih Dalam Makna Pidato 'Game of Thrones' Jokowi
A
A
A
JAKARTA - Pelaku institusi keuangan mencoba melihat lebih dalam makna pidato 'Game of Thrones' Presiden Joko Widodo (Jokowi) di ajang pertemuan tahunan IMF-World Bank. Fokus utamanya yakni Jokowi memberikan sinyal ke dunia bahwa krisis global di depan mata.
Direktur Group Risiko, Perekonomian dan Sistem Keuangan LPS, Doddy Ariefianto mengatakan, sinyal tersebut utamanya ditujukan ke Amerika Serikat (AS). Apalagi setelah negara adidaya itu memilih Donal Trump sebagai presiden.
"Jadi ya kalau saya lihat pidato bapak Presiden sebagai sinyal ke AS pasca (dipilihnya) Trump. Ini kemudian dengan retorika semua kena, China, Kanada, Meksiko kena," ujarnya di Jakarta, Rabu (17/10/2018).
Menurut Doddy, dari perseteruan AS dengan beberapa negara dikhawatirkan menimbulkan kerusakan secara keseluruhan. Alasannya karena kekuatan tidak bisa terpusat hanya di satu titik.
"Ini yang saya lihat kita bagaikan sesuatu yang evil. Apa itu? Kalau semua (negara) jualan enggak bisa, siapa yang beli? Enggak mungkin beli barang AS semua," katanya.
Sementara itu, Rektor Unika Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko menambahkan, situasi eksternal ini tidak menguntungkan, terutama ke Indonesia. Sehingga tantangan ke depan menemukan sampai kapan titik keseimbangan terbentuk.
"Paling enggak 2-3 tahun ke depan masih tidak pasti. Kita punya ketidakpastian juga sendiri dengan pemilu, apa yang kita lanjutkan daya saing, produktivitas dan membangun industri," pungkasnya.
Direktur Group Risiko, Perekonomian dan Sistem Keuangan LPS, Doddy Ariefianto mengatakan, sinyal tersebut utamanya ditujukan ke Amerika Serikat (AS). Apalagi setelah negara adidaya itu memilih Donal Trump sebagai presiden.
"Jadi ya kalau saya lihat pidato bapak Presiden sebagai sinyal ke AS pasca (dipilihnya) Trump. Ini kemudian dengan retorika semua kena, China, Kanada, Meksiko kena," ujarnya di Jakarta, Rabu (17/10/2018).
Menurut Doddy, dari perseteruan AS dengan beberapa negara dikhawatirkan menimbulkan kerusakan secara keseluruhan. Alasannya karena kekuatan tidak bisa terpusat hanya di satu titik.
"Ini yang saya lihat kita bagaikan sesuatu yang evil. Apa itu? Kalau semua (negara) jualan enggak bisa, siapa yang beli? Enggak mungkin beli barang AS semua," katanya.
Sementara itu, Rektor Unika Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko menambahkan, situasi eksternal ini tidak menguntungkan, terutama ke Indonesia. Sehingga tantangan ke depan menemukan sampai kapan titik keseimbangan terbentuk.
"Paling enggak 2-3 tahun ke depan masih tidak pasti. Kita punya ketidakpastian juga sendiri dengan pemilu, apa yang kita lanjutkan daya saing, produktivitas dan membangun industri," pungkasnya.
(ven)