Donald Trump Bikin Pertumbuhan Ekonomi China Jatuh ke Titik Terlemah

Jum'at, 19 Oktober 2018 - 07:32 WIB
Donald Trump Bikin Pertumbuhan...
Donald Trump Bikin Pertumbuhan Ekonomi China Jatuh ke Titik Terlemah
A A A
BEIJING - Perang tarif yang dilancarkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap Republik Rakyat China sejak Maret 2018, membuat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) China di kuartal III jatuh ke titik terlemah.

Beberapa ekonom dan pemerintah China memprediksi data PDB kuartal III yang akan dirilis akhir pekan ini, menunjukkan tren menurun bahkan menukik ke level terlemah sejak krisis keuangan global. Perang tarif AS-China telah membuat permintaan produk domestik tersendat, begitu juga dengan ekspor barang China yang terganggu akibat sengketa perdagangan.

Perdana Menteri China Li Keqiang pada pekan ini mengakui bahwa kekuatan ekonomi China menghadapi tekanan yang meningkat. Karena itu, Beijing berjanji akan mengambil langkah-langkah strategis untuk mencegah fluktuasi lebih besar agar tidak berdampak lebih buruk terhadap pertumbuhan ekonomi mereka.

Melansir dari Reuters, Jumat (19/10/2018), sebuah jajak pendapat dari 68 ekonom menilai bahwa negara ekonomi terbesar kedua di dunia ini akan mengalami pertumbuhan yang suram. Analisa para ekonom menyebut pertumbuhan ekonomi China pada periode Juni-September alias kuartal III hanya 6,6%. Ini merupakan laju terlemah sejak kuartal I 2009.

Prediksi sebesar 6,6% ini lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi kuartal sebelumnya sebesar 6,7%. Namun, jajak pendapat para ekonom tersebut masih lebih baik dari perkiraan pemerintah China yang menyebut sekitar 6,5%.

Pertumbuhan rendah ini karena China terkunci oleh perang tarif yang dilakukan Amerika Serikat, dimana Washington mengancam akan meningkatkan konfrontasi setelah mengenakan tarif atas impor barang-barang China senilai USD250 miliar.

Mengutip The Straits Times, Jumat (19/10), data ekonomi China baru-baru ini telah menunjukkan melemahnya permintaan domestik, mulai dari investasi infrastruktur hingga belanja konsumen. Laju ekspor barang-barang China juga jatuh ke level terdalam sejak dua tahun. Hal ini menambah stres produsen manufaktur di China.

Mata uang yuan juga telah kehilangan sekitar 6% terhadap dolar AS di tahun 2018 ini. Hal ini dapat meningkatkan risiko arus keluar modal.

Beberapa kota dan daerah di China yang menggantungkan ekonominya dari ekspor, seperti Provinsi Guangdong Selatan telah merasakan dampak dari ketegangan perdagangan. Para eksportir menyatakan benar-benar kesulitan dan meminta pemerintah memberi insentif untuk membantu mereka.

Menghadapi meningkatnya ketegangan perdagangan yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi, pemerintah China diharapkan meningkatkan stimulus dalam beberapa bulan mendatang.

Para pembuat kebijakan di China diharapkan melakukan langkah cepat seperti menurunkan biaya pinjaman, memotong pajak dan mempercepat lebih banyak proyek infrastruktur. Para analis yakin langkah stimulus tersebut sangat diperlukan untuk menahan agar ekonomi tidak turun lebih dalam.

Gubernur People's Bank of China, Yi Gang mengatakan bahwa bank sentral masih melihat banyak ruang untuk melakukan penyesuaian suku bunga dan rasio cadangan wajib (reserve requirement ratio).

Sebelumnya, bank sentral China telah memotong rasio cadangan wajib sebesar 1% yang akan digunakan untuk membayar fasilitas kredit jangka menengah. Hal ini untuk mendukung sektor UMKM, perusahaan swasta dan industri kreatif dalam uapaya meningkatkan imunitas perekonomian China. Pemotongan rasio cadangan wajib terbaru itu, yang mulai berlaku 15 Oktober merupakan kali keempat di tahun ini.

Saat ini, para pemimpin China diharapkan memberi stimulus yang kuat. Pasalnya, China mengalami masalah utang negara yang besar. Data Bloomberg pada September lalu menulis, jumlah utang China naik 14% pada tahun 2017 lalu, dimana rasio utang mereka terhadap PDB mencapai 266%. Jumlah ini lebih tinggi dari krisis keuangan global 2008, dimana rasio utang China sebesar 162% dari PDB.

Besarnya rasio utang China disebut-sebut sebagai ancaman ledakan bagi ekonomi global. Pemerintah China banyak menumpuk utang dari publik dan swasta, warisan dari peminjaman besar-besaran mereka demi melindungi ekonomi dari krisis keuangan global.

Kondisi ini mulai berdampak pada tanda-tanda pengangguran massal. Namun, China menilai meningkatnya pengangguran ini berbeda dengan tahun 2008-2009, ketika terjadi krisis keuangan global yang membuat 20 juta orang kehilangan pekerjaan.
(ven)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1550 seconds (0.1#10.140)