Masalah Lingkungan Hambat Divestasi Freeport
A
A
A
JAKARTA - PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) mendesak PT Freeport Indonesia menyelesaikan kerugian negara akibat permasalahan lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas penam bangan. Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian akibat permasalahan lingkungan akibat operasional Freeport di Papua mencapai Rp185,58 triliun.
”Kalau tidak selesai, kami tidak akan melakukan pembayaran. Payment tidak jadi. Karena kami tidak mungkin membayar kalau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tidak ada. IUPK itu diterbitkan kalau masalah lingkungan sudah selesai,” kata Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin di Jakarta, Kamis 18 Oktober 2018.
Menurutnya, Inalum tidak ikut bertanggung jawab atas masalah lingkungan yang ditimbulkan Freeport selama beroperasi. Pihaknya mengatakan, apabila terbukti ada permasalahan lingkungan, maka yang bertanggung jawab adalah Freeport, bukan Inalum sebagai pembeli saham.
”Kami meminta ada kepastian atas permasalahan tersebut, karena itu merupakan salah satu syarat terbitnya IUPK. Kalau tidak selesai, transaksi tidak jadi,” ujarnya.
Ia mengatakan, isu lingkungan tersebut sangat penting karena sebagai syarat mendapatkan pinjaman dari per bankan internasional. Pasalnya, jika isu lingkungan itu tidak selesai, maka 11 perbankan luar negeri yang rencananya menyokong dana kepada Inalum menjadi terhambat. Akibatnya, transaksi saham divestasi senilai USD3,85 miliar sesuai tertuang dalam pokok-pokok perjanjian (Head of Agreement/HoA) pada Juli 2018 terancam batal. Meski begitu, pihaknya tetap menargetkan pembayaran divestasi bisa selesai tahun ini.
Pihaknya meyakini jika masalah lingkungan segera selesai karena telah dikonsolidasikan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). ”Dalam perjanjian sudah dipastikan dan angka lingkungan tersebut sudah diperhitungkan dan dikonsolidasikan dengan KLHK. Memang yang berwenang adalah KLHK,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Freeport Indonesia Tony Wenas mengatakan, angka yang dikeluarkan berdasarkan temuan BPK itu harus dikonsultasikan dengan KLHK. Pasalnya, rekomendasi antara KLHK dengan BPK berbeda.
Menurutnya, terdapat delapan rekomendasi dari BPK, sedangkan dari KLHK ada 48 poin rekomendasi. Pihaknya mengklaim telah menyelesaikan enam rekomendasi dari BPK dan sisanya sedang berjalan.
Sementara itu, dari KLHK terdapat 48 poin rekomendasi, yang 30 poin menjadi instruksi sebanyak 24 poin sudah terselesaikan. ”Untuk saat ini kami masih konsultasi dengan KLHK dan perhitungan itu harus di konsultasikan dengan KLHK,” ujar dia.
Pihaknya juga mengklaim kegiatan tambang Freeport telah berpegang amdal serta beberapa izin dari pemerintah daerah, seperti Izin Gubernur Tahun 1986, izin Bupati Mimika pada 2005, dan juga SK Lingkungan Hidup Nomor 431 Tahun 2008. ”Aturan tersebut kita patuhi sesuai amanatnya. Kita terus berkonsultasi dengan KLHK secara intensif,” katanya.
Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu mendesak Freeport segera menyelesaikan isu masalah lingkungan. Pasalnya, jika tidak akan menghambat proses divestasi yang sedang berjalan. ”Isu lingkungan berakibat pada sulitnya memperoleh pinjaman dari luar negeri. Tak selesainya masalah lingkungan juga menjadi syarat diterbitkannya IUPK,” kata dia.
Ia mengatakan, apabila Freeport tidak lekas menyelesaikan masalah lingkungan, sebaiknya dihitung dalam pembayaran divestasi. Ia memastikan dengan tindak lanjut temuan BPK, harga saham divestasi Freeport akan lebih murah.
”Kalau mau membeli saham lebih murah, bisa saja dibawa isu lingkungan. Kalau tidak, bawa saja ke arbitrase,” tandasnya.
Anggota Komisi VII DPR Kurtubi juga meminta isu lingkungan bisa segera diselesaikan. Pasalnya, proses divestasi tinggal selangkah lagi. Ia meminta jangan sampai isu lingkungan menghambat proses divestasi yang sudah berjalan. (Nanang Wijayanto)
”Kalau tidak selesai, kami tidak akan melakukan pembayaran. Payment tidak jadi. Karena kami tidak mungkin membayar kalau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tidak ada. IUPK itu diterbitkan kalau masalah lingkungan sudah selesai,” kata Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin di Jakarta, Kamis 18 Oktober 2018.
Menurutnya, Inalum tidak ikut bertanggung jawab atas masalah lingkungan yang ditimbulkan Freeport selama beroperasi. Pihaknya mengatakan, apabila terbukti ada permasalahan lingkungan, maka yang bertanggung jawab adalah Freeport, bukan Inalum sebagai pembeli saham.
”Kami meminta ada kepastian atas permasalahan tersebut, karena itu merupakan salah satu syarat terbitnya IUPK. Kalau tidak selesai, transaksi tidak jadi,” ujarnya.
Ia mengatakan, isu lingkungan tersebut sangat penting karena sebagai syarat mendapatkan pinjaman dari per bankan internasional. Pasalnya, jika isu lingkungan itu tidak selesai, maka 11 perbankan luar negeri yang rencananya menyokong dana kepada Inalum menjadi terhambat. Akibatnya, transaksi saham divestasi senilai USD3,85 miliar sesuai tertuang dalam pokok-pokok perjanjian (Head of Agreement/HoA) pada Juli 2018 terancam batal. Meski begitu, pihaknya tetap menargetkan pembayaran divestasi bisa selesai tahun ini.
Pihaknya meyakini jika masalah lingkungan segera selesai karena telah dikonsolidasikan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). ”Dalam perjanjian sudah dipastikan dan angka lingkungan tersebut sudah diperhitungkan dan dikonsolidasikan dengan KLHK. Memang yang berwenang adalah KLHK,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Freeport Indonesia Tony Wenas mengatakan, angka yang dikeluarkan berdasarkan temuan BPK itu harus dikonsultasikan dengan KLHK. Pasalnya, rekomendasi antara KLHK dengan BPK berbeda.
Menurutnya, terdapat delapan rekomendasi dari BPK, sedangkan dari KLHK ada 48 poin rekomendasi. Pihaknya mengklaim telah menyelesaikan enam rekomendasi dari BPK dan sisanya sedang berjalan.
Sementara itu, dari KLHK terdapat 48 poin rekomendasi, yang 30 poin menjadi instruksi sebanyak 24 poin sudah terselesaikan. ”Untuk saat ini kami masih konsultasi dengan KLHK dan perhitungan itu harus di konsultasikan dengan KLHK,” ujar dia.
Pihaknya juga mengklaim kegiatan tambang Freeport telah berpegang amdal serta beberapa izin dari pemerintah daerah, seperti Izin Gubernur Tahun 1986, izin Bupati Mimika pada 2005, dan juga SK Lingkungan Hidup Nomor 431 Tahun 2008. ”Aturan tersebut kita patuhi sesuai amanatnya. Kita terus berkonsultasi dengan KLHK secara intensif,” katanya.
Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu mendesak Freeport segera menyelesaikan isu masalah lingkungan. Pasalnya, jika tidak akan menghambat proses divestasi yang sedang berjalan. ”Isu lingkungan berakibat pada sulitnya memperoleh pinjaman dari luar negeri. Tak selesainya masalah lingkungan juga menjadi syarat diterbitkannya IUPK,” kata dia.
Ia mengatakan, apabila Freeport tidak lekas menyelesaikan masalah lingkungan, sebaiknya dihitung dalam pembayaran divestasi. Ia memastikan dengan tindak lanjut temuan BPK, harga saham divestasi Freeport akan lebih murah.
”Kalau mau membeli saham lebih murah, bisa saja dibawa isu lingkungan. Kalau tidak, bawa saja ke arbitrase,” tandasnya.
Anggota Komisi VII DPR Kurtubi juga meminta isu lingkungan bisa segera diselesaikan. Pasalnya, proses divestasi tinggal selangkah lagi. Ia meminta jangan sampai isu lingkungan menghambat proses divestasi yang sudah berjalan. (Nanang Wijayanto)
(poe)