Digitalisasi Ancam Ratusan Juta Pekerjaan
A
A
A
JAKARTA - Revolusi industri 4.0 bukan hanya menghadirkan peluang, tapi juga tantangan. Pasalnya revolusi yang berbasis digital tersebut secara langsung mengancam sejumlah pekerjaan akibat rontoknya berbagai perusahaan sebagai dampak otomatisasi dan digitalisasi. Jumlah pekerjaan terdampak tidak main-main.
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) memperkirakan 75 juta hingga 375 juta pekerjaan hilang. Prediksi banyaknya pekerjaan terancam otomatisasi dan digitalisasi juga telah disampaikan Mckinsey Global Institute.
Dalam studi terbarunya lembaga itu bahkan memperkirakan sekitar 800 juta pekerja di seluruh dunia akan kehilangan pekerjaan pada 2030. Sebelumnya World Economic Forum September lalu merilis laporan bertajuk Future of Jobs Report 2018.
Dilaporkan beberapa pekerjaan diperkirakan akan menjadi tidak dibutuhkan dan akan digantikan dengan profesi baru pada 2022 nanti dan karier baru yang dibutuhkan.
Beberapa pekerjaan dimaksud antara lain, input data/data entri akan digantikan dengandata analyst/scientist, akunting dan payroll diperkirakan digantikan AI (kecerdasan buatan) dan machine learning specialist, dan perakitan serta pekerja pabrik akan diganti analis data spesialis.
“Karena itu sejak jauh-jauh hari kami mengingatkan agar generasi muda kita siap menghadapinya. Jika generasi Indonesia siap, ancaman kehilangan berbagai sektor pekerjaan tersebut berubah menjadi peluang menciptakan berbagai lapangan kerja baru, khususnya berbasis digital,” kata Kepala Biro Perencanaan Kemenristek Dikti Dr Erry Ricardo Nurzal pada seminar Revolusi Industri 4.0: Integrasi Keilmuan dan Kesiapan Teknologi kemarin di Uhamka Jakarta.
Dia menandaskan, di era revolusi industri 4.0 ini, segala sesuatu digantikan oleh mesin yang saling terhubung dan berkomunikasi satu sama lain dan membuat banyak pekerjaan tidak lagi membutuhkan tenaga dan otak manusia.
Kecerdasan buatan (artificial intelligence /AI), menurut dia, mulai menggantikan daya pikir manusia, termasuk dalam hal pengambilan keputusan. Sebagai contoh, di dunia perbankan, mesin mulai menggantikan daya analisis manusia ketika harus memberikan keputusan dalam soal pemberian pinjaman kepada suatu perusahaan dengan melihat data dan rekam jejaknya selama ini.
“Hanya daya kreativitas yang belum bisa digantikan mesin. Karena itu generasi milenial harus kreatif jika tidak ingin tertinggal di era ini,” katanya.
Di sisi lain, pada era revolusi industri 4.0, menurutnya, muncul fenomena orang-orang muda yang tidak lagi bekerja di kantor dengan waktu yang ketat, tetapi bekerja dengan peralatan digitalnya di mana saja dan kapan saja sambil menghasilkan banyak uang.
“Ini sudah terjadi di Amerika, Eropa, Asia, dan berbagai negara, termasuk Indonesia,” katanya. Dekan Fakultas Teknik Uhamka Dr Sugema mengatakan, revolusi industri 4.0 mulai mengalami puncaknya sekarang.
Itu ditandai dengan tren otomatisasi dan lahirnya teknologi digital yang berdampak pada kehidupan manusia di seluruh dunia. “Kami ingin para mahasiswa tercerahkan dan termotivasi agar mereka siap menghadapi tantangan dan mampu beradaptasi dalam era disrupsi ini,” katanya.
Sebelumnya Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri beberapa waktu menegaskan tekadnya bahwa tenaga kerja terampil Indonesia harus bertambah dalam rangka menghadapi revolusi industri 4.0.
Untuk mewujudkan target tersebut, pemerintah menggenjot pendidikan dan pelatihan agar produktivitas dari tenaga kerja Indonesia menjadi lebih baik. Hanif juga menegaskan, pihaknya menaruh perhatian pada peningkatan keterampilan tenaga kerja bangsa agar memenuhi kebutuhan dunia usaha.
Menurut dia, partisipasi dunia usaha dalam investasi sumber daya manusia juga penting karena melalui sumber daya yang ada di industri, akan lebih cepat untuk melatih calon tenaga kerja bangsa menjadi terampil.
“Kita concern (peduli) pada pembangunan sumber daya manusia pada masa sekarang hingga ke depan sehingga keterlibatan banyak pihak, termasuk pihak swasta baik dari dalam maupun luar negeri untuk investasi sumber daya manusia di Indonesia itu juga kita beri ruang,” ujarnya.
Telah Mengurangi Pekerjaan
Pada tahun ini teknologi otomatisasi dan globalisasi telah mengurangi angka lapangan pekerjaan di bidang manufaktur, terutama di negara maju. Studi Fredy dan Osborne memprediksi hampir separuh karyawan di Amerika Serikat (AS) terancam kehilangan pekerjaan dalam 12 tahun ke depan.
Negara berkembang juga akan terkena dampaknya. Ekonom dari Bank Dunia, Jieun Choi, mengatakan bahwa otomatisasi mengambil alih sektor manufaktur di negara maju, penawaran dari emerging market .
“Hal ini sangat mencemaskan mengingat tingkat pengangguran anak muda juga masih sangat tinggi,” kata Choi. Ekonomi dunia, lanjut Choi, perlu menciptakan sekitar 600 juta pekerjaan baru dalam 14 tahun ke depan, terutama di negara Asia dan Afrika Sub-Sahara.
China dan India saja akan memiliki sekitar 500 juta calon pekerja muda pada 2030 dan 11 juta calon pekerja dari Afrika akan terus bermunculan setiap tahun. Choi mengatakan, teknologi otomatisasi tidak semuanya berdampak buruk terhadap pasar buruh.
Pada dasarnya kemajuan teknologi akan menciptakan lapangan pekerjaan baru yang tidak ada sebelumnya, bahkan biasanya jumlahnya lebih besar daripada pekerjaan yang hilang. Hal itu juga pernah terjadi sebelumnya.
“Sebagai contoh, di satu sisi, komputer menghapus beberapa pekerjaan, tapi di sisi lain juga membuka pekerjaan baru berbasis komputer, mulai dari pengembangan, operasi hingga program,” kata Choi. “Peluang seperti itu tidak pernah terbayangkan oleh masyarakat dalam dua atau tiga dekade yang lalu,” tambahnya.
Perubahan lanskap buruh sudah berubah sejak beberapa tahun lalu. Perusahaan seperti Google dan Apple telah mengubah bisnis musik hingga komunikasi, Amazon mengubah pasar ritel dan Uber mengubah industri taksi. Menurut para ahli, dengan teknologi baru, perusahaan dapat meraup untung lebih besar.
“Revolusi industri 4.0 merupakan peluang bagi sektor manufaktur AS untuk mengembalikan posisi yang membutuhkan skill ke dalam ekonomi nasional,” kata pengamat industri Aaron Ahlburn dari JLL seperti dilansir jilrealviews.com . “AS memiliki keuntungan ketika berbicara tentang buruh yang memiliki skill tinggi,” sambungnya. (Shamil/Ant)
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) memperkirakan 75 juta hingga 375 juta pekerjaan hilang. Prediksi banyaknya pekerjaan terancam otomatisasi dan digitalisasi juga telah disampaikan Mckinsey Global Institute.
Dalam studi terbarunya lembaga itu bahkan memperkirakan sekitar 800 juta pekerja di seluruh dunia akan kehilangan pekerjaan pada 2030. Sebelumnya World Economic Forum September lalu merilis laporan bertajuk Future of Jobs Report 2018.
Dilaporkan beberapa pekerjaan diperkirakan akan menjadi tidak dibutuhkan dan akan digantikan dengan profesi baru pada 2022 nanti dan karier baru yang dibutuhkan.
Beberapa pekerjaan dimaksud antara lain, input data/data entri akan digantikan dengandata analyst/scientist, akunting dan payroll diperkirakan digantikan AI (kecerdasan buatan) dan machine learning specialist, dan perakitan serta pekerja pabrik akan diganti analis data spesialis.
“Karena itu sejak jauh-jauh hari kami mengingatkan agar generasi muda kita siap menghadapinya. Jika generasi Indonesia siap, ancaman kehilangan berbagai sektor pekerjaan tersebut berubah menjadi peluang menciptakan berbagai lapangan kerja baru, khususnya berbasis digital,” kata Kepala Biro Perencanaan Kemenristek Dikti Dr Erry Ricardo Nurzal pada seminar Revolusi Industri 4.0: Integrasi Keilmuan dan Kesiapan Teknologi kemarin di Uhamka Jakarta.
Dia menandaskan, di era revolusi industri 4.0 ini, segala sesuatu digantikan oleh mesin yang saling terhubung dan berkomunikasi satu sama lain dan membuat banyak pekerjaan tidak lagi membutuhkan tenaga dan otak manusia.
Kecerdasan buatan (artificial intelligence /AI), menurut dia, mulai menggantikan daya pikir manusia, termasuk dalam hal pengambilan keputusan. Sebagai contoh, di dunia perbankan, mesin mulai menggantikan daya analisis manusia ketika harus memberikan keputusan dalam soal pemberian pinjaman kepada suatu perusahaan dengan melihat data dan rekam jejaknya selama ini.
“Hanya daya kreativitas yang belum bisa digantikan mesin. Karena itu generasi milenial harus kreatif jika tidak ingin tertinggal di era ini,” katanya.
Di sisi lain, pada era revolusi industri 4.0, menurutnya, muncul fenomena orang-orang muda yang tidak lagi bekerja di kantor dengan waktu yang ketat, tetapi bekerja dengan peralatan digitalnya di mana saja dan kapan saja sambil menghasilkan banyak uang.
“Ini sudah terjadi di Amerika, Eropa, Asia, dan berbagai negara, termasuk Indonesia,” katanya. Dekan Fakultas Teknik Uhamka Dr Sugema mengatakan, revolusi industri 4.0 mulai mengalami puncaknya sekarang.
Itu ditandai dengan tren otomatisasi dan lahirnya teknologi digital yang berdampak pada kehidupan manusia di seluruh dunia. “Kami ingin para mahasiswa tercerahkan dan termotivasi agar mereka siap menghadapi tantangan dan mampu beradaptasi dalam era disrupsi ini,” katanya.
Sebelumnya Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri beberapa waktu menegaskan tekadnya bahwa tenaga kerja terampil Indonesia harus bertambah dalam rangka menghadapi revolusi industri 4.0.
Untuk mewujudkan target tersebut, pemerintah menggenjot pendidikan dan pelatihan agar produktivitas dari tenaga kerja Indonesia menjadi lebih baik. Hanif juga menegaskan, pihaknya menaruh perhatian pada peningkatan keterampilan tenaga kerja bangsa agar memenuhi kebutuhan dunia usaha.
Menurut dia, partisipasi dunia usaha dalam investasi sumber daya manusia juga penting karena melalui sumber daya yang ada di industri, akan lebih cepat untuk melatih calon tenaga kerja bangsa menjadi terampil.
“Kita concern (peduli) pada pembangunan sumber daya manusia pada masa sekarang hingga ke depan sehingga keterlibatan banyak pihak, termasuk pihak swasta baik dari dalam maupun luar negeri untuk investasi sumber daya manusia di Indonesia itu juga kita beri ruang,” ujarnya.
Telah Mengurangi Pekerjaan
Pada tahun ini teknologi otomatisasi dan globalisasi telah mengurangi angka lapangan pekerjaan di bidang manufaktur, terutama di negara maju. Studi Fredy dan Osborne memprediksi hampir separuh karyawan di Amerika Serikat (AS) terancam kehilangan pekerjaan dalam 12 tahun ke depan.
Negara berkembang juga akan terkena dampaknya. Ekonom dari Bank Dunia, Jieun Choi, mengatakan bahwa otomatisasi mengambil alih sektor manufaktur di negara maju, penawaran dari emerging market .
“Hal ini sangat mencemaskan mengingat tingkat pengangguran anak muda juga masih sangat tinggi,” kata Choi. Ekonomi dunia, lanjut Choi, perlu menciptakan sekitar 600 juta pekerjaan baru dalam 14 tahun ke depan, terutama di negara Asia dan Afrika Sub-Sahara.
China dan India saja akan memiliki sekitar 500 juta calon pekerja muda pada 2030 dan 11 juta calon pekerja dari Afrika akan terus bermunculan setiap tahun. Choi mengatakan, teknologi otomatisasi tidak semuanya berdampak buruk terhadap pasar buruh.
Pada dasarnya kemajuan teknologi akan menciptakan lapangan pekerjaan baru yang tidak ada sebelumnya, bahkan biasanya jumlahnya lebih besar daripada pekerjaan yang hilang. Hal itu juga pernah terjadi sebelumnya.
“Sebagai contoh, di satu sisi, komputer menghapus beberapa pekerjaan, tapi di sisi lain juga membuka pekerjaan baru berbasis komputer, mulai dari pengembangan, operasi hingga program,” kata Choi. “Peluang seperti itu tidak pernah terbayangkan oleh masyarakat dalam dua atau tiga dekade yang lalu,” tambahnya.
Perubahan lanskap buruh sudah berubah sejak beberapa tahun lalu. Perusahaan seperti Google dan Apple telah mengubah bisnis musik hingga komunikasi, Amazon mengubah pasar ritel dan Uber mengubah industri taksi. Menurut para ahli, dengan teknologi baru, perusahaan dapat meraup untung lebih besar.
“Revolusi industri 4.0 merupakan peluang bagi sektor manufaktur AS untuk mengembalikan posisi yang membutuhkan skill ke dalam ekonomi nasional,” kata pengamat industri Aaron Ahlburn dari JLL seperti dilansir jilrealviews.com . “AS memiliki keuntungan ketika berbicara tentang buruh yang memiliki skill tinggi,” sambungnya. (Shamil/Ant)
(nfl)