Industri Kayu Lapis Siap Lakukan Perubahan
A
A
A
JAKARTA - Bambang Soepijanto terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) periode 2018-2023, pada Musyawarah Nasional (Munas) VIII di Jakarta, Selasa (27/11/2018).
Dalam kesempatan itu, Bambang menegaskan komitmennya untuk terus mendorong industri kayu lapis agar bisa kembali ke masa keemasan. "Saat ini adalah momentum untuk mengembalikan masa kejayaan industri kayu lapis," ujar mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
Menurut Bambang, kebutuhan dunia terhadap produk kayu lapis tidak akan pernah hilang, bahkan akan terus meningkat. Pasalnya kayu lapis adalah satu produk bahan bangunan yang paling ramah lingkungan dan berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui.
Karena itu, Bambang mengajak seluruh pelaku industri kayu lapis untuk melakukan perubahan positif, seperti yang sudah dilakukan. Misalnya, perubahan penggunaan bahan baku dari kayu hutan alam ke kayu tanaman terutama kayu sengon; perubahan skala industri dari industri skala besar ke industri skala kecil menengah; perubahan mesin produksi dari rotary spindle besar ke rotary tanpa spindle (spindleless); serta perubahan jenis produk dari raw plywood ke special item (kualitas tinggi).
"Kita juga perlu untuk membuka pasar baru selain menjaga pasar yang sudah ada saat ini di Jepang, Amerika Serikat dan Eropa," katanya.
Untuk menggairahkan industri kayu lapis, Bambang akan memperkuat komunikasi dengan pemerintah. Sementara organisasi Apkindo juga akan diperkuat, dengan melakukan pembenahan internal.
Tahun ini ekspor produk kayu lapis diperkirakan sekitar 3 juta meter kubik dengan nilai sekitar USD1,9 miliar. Jika dibandingkan dengan masa keemasannya 20 tahun lalu, catatan tersebut turun 45% dari sisi nilai dan turun 63% dari sisi volume.
Penyebabnya adalah daya saing yang melorot akibat kenaikan biaya produksi. Ditambah lagi, industri kayu lapis harus menambah lebih dari 50% ekstra modal kerja akibat harus menanggung PPN atas kayu bulat yang proses restitusinya sulit dan lama sehingga mengganggu cash flow perusahaan. Persoalan lainnya adalah mesin produksi yang kebanyakan sudah tua sehingga tidak efisien.
Dalam kesempatan itu, Bambang menegaskan komitmennya untuk terus mendorong industri kayu lapis agar bisa kembali ke masa keemasan. "Saat ini adalah momentum untuk mengembalikan masa kejayaan industri kayu lapis," ujar mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
Menurut Bambang, kebutuhan dunia terhadap produk kayu lapis tidak akan pernah hilang, bahkan akan terus meningkat. Pasalnya kayu lapis adalah satu produk bahan bangunan yang paling ramah lingkungan dan berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui.
Karena itu, Bambang mengajak seluruh pelaku industri kayu lapis untuk melakukan perubahan positif, seperti yang sudah dilakukan. Misalnya, perubahan penggunaan bahan baku dari kayu hutan alam ke kayu tanaman terutama kayu sengon; perubahan skala industri dari industri skala besar ke industri skala kecil menengah; perubahan mesin produksi dari rotary spindle besar ke rotary tanpa spindle (spindleless); serta perubahan jenis produk dari raw plywood ke special item (kualitas tinggi).
"Kita juga perlu untuk membuka pasar baru selain menjaga pasar yang sudah ada saat ini di Jepang, Amerika Serikat dan Eropa," katanya.
Untuk menggairahkan industri kayu lapis, Bambang akan memperkuat komunikasi dengan pemerintah. Sementara organisasi Apkindo juga akan diperkuat, dengan melakukan pembenahan internal.
Tahun ini ekspor produk kayu lapis diperkirakan sekitar 3 juta meter kubik dengan nilai sekitar USD1,9 miliar. Jika dibandingkan dengan masa keemasannya 20 tahun lalu, catatan tersebut turun 45% dari sisi nilai dan turun 63% dari sisi volume.
Penyebabnya adalah daya saing yang melorot akibat kenaikan biaya produksi. Ditambah lagi, industri kayu lapis harus menambah lebih dari 50% ekstra modal kerja akibat harus menanggung PPN atas kayu bulat yang proses restitusinya sulit dan lama sehingga mengganggu cash flow perusahaan. Persoalan lainnya adalah mesin produksi yang kebanyakan sudah tua sehingga tidak efisien.
(ven)