Ekonom: Pemerintah Keliru Soal Penyebab Defisit Transaksi Berjalan

Rabu, 28 November 2018 - 15:45 WIB
Ekonom: Pemerintah Keliru Soal Penyebab Defisit Transaksi Berjalan
Ekonom: Pemerintah Keliru Soal Penyebab Defisit Transaksi Berjalan
A A A
JAKARTA - Ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menilai pemerintah salah kaprah mengenai penyebab defisitnya neraca transaksi berjalan nasional.

Pemerintah menilai bahwa defisit yang terjadi terhadap neraca transaksi berjalan nasional dikarenakan laju impor yang lebih tinggi dibanding ekspor.

Sementara, kata Faisal Basri, defisit neraca transaksi berjalan (curren account deficit/CAD) bukan disebabkan karena impor barang dan jasa yang sudah sangat besar. Sumber defisit yang paling utama menurutnya adalah karena banyak perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia membawa pulang keuntungan perusahaannya ke negara asal.

"Defisit CAD itu penyebabnya bukan barang dan jasa. Sumber utama defisit itu bukan ekspor-impor barang. Sumber utamanya tidak disentuh. Sumber utamanya adalah dibawa pulangnya keuntungan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia," katanya dalam acara Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2019 di Jakarta, Rabu (28/11/2018).

Faisal menyebutkan, tahun lalu keuntungan perusahaan asing yang dibawa pulang ke negara asalnya mencapai USD20 miliar. Tahun ini pun tak kalah besar, keuntungan perusahaan asing yang dibawa pulang ke negara asalnya mencapai USD11 miliar.

"Tahun 2018 sampai September itu defisitnya barangnya USD2,2 miliar, jasa USD2,7 miliar. Tapi keuntungan perusahaan asing yang dibawa pulang itu USD11 miliar. Jadi itu enggak diomongin oleh pemerintah. Jadi bukan ekspor-impor," tuturnya.

Menurut ekonom senior tersebut, pulang kampungnya keuntungan perusahaan asing ke negara asal karena di Indonesia tidak ada investasi yang bisa digarap lagi. Jika saja pemerintah bisa menahan seperempat keuntungan perusahaan asing untuk tetap di Indonesia, tegas dia, maka CAD akan bisa ditekan.

"Seperempatnya sajalah, USD5 miliar, dia taruh di sini. Itu karena tidak tersedia kebun yang luas untuk ditanami mereka. Kita sediakan lahanlah agar keuntungannya bisa ditanam lagi di Indonesia. Dia akan mau kalau return-nya sama seperti dia bawa pulang ke kampungnya," kata dia.

Sayangnya, lanjut Faisal, yang disentuh pemerintah justru ekspor-impor barang dan jasa dengan menaikkan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 bayar di muka. Dia menilai, efek dari kebijakan tersebut jauh lebih kecil ketimbang menahan keuntungan perusahaan asing untuk tetap di Indonesia.

"Kalau yang dilakukan pemerintah itu adalah menaikkan PPh bayar di muka Pasal 21 dari 2,5% ke 5%, itu efeknya tidak sampai USD1 miliar. Capek lho. Kalau ini langsung USD5 miliar," tandasnya.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4300 seconds (0.1#10.140)