Asuransi Pertanian Jadi Penangkal Kerugian Ekonomi Gagal Panen
A
A
A
JAKARTA - Penerapan sistem asuransi pertanian oleh pemerintah Indonesia dinilai memberikan manfaat positif terhadap para petani, terutama untuk menanggulangi terjadinya gagal panen yang berpotensi merugikan secara pendapatan finansial. Hal ini dikemukakan pengamat kebijakan asuransi dari Badan Mediasi Asuransi dan Arbitrase Asuransi Indonesia, Irvan Rahardjo.
Menurut Irvan, meskipun secara alasan teknis asuransi pertanian tidak mengganti seluruh biaya kerugian, namun nilai yang dikucurkan pemerintah sebesar Rp144 ribu per hektar atau 80 persen dari total biaya premi Rp 180 ribu masih tergolong membantu petani.
"Petani membayar hanya sisanya 20 persen atau Rp 36 ribu. Risiko yang dijamin asuransi untuk tanaman pangan padi (AUTP) meliputi banjir kekeringan dan kerusakan karena hama," ujar Irvan yang juga Anggota Tim Perumus Peta Jalan Asuransi Pertanian Indonesia 2015 - 2020.
Lebih lanjut, Ia menjelaskan, program asuransi pertanian sebetulnya telah digagas sejak 20 tahun lalu oleh pemerintah kemudian diupayakan dengan berbagai inisiatif oleh Kementerian Pertanian hingga kini. Selanjutnya, ucap Irvan, guna semakin melindungi para petani dari risiko gagal panen, diterbitkanlah dorongan regulasi yakni UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Sebagai informasi, untuk saat ini program asuransi pertanian yang sedang dilakukan dikenal dengan sebutan AUTP dan asuransi usaha ternak sapi dan kerbau (AUTS/K). Pelaksanaannya telah mencakup hampir di seluruh provinsi di Indonesia, khususnya wilayah yang menjadi sentra produksi padi serta peternakan.
Irvan menuturkan, program asuransi pertanian yang telah dilaksanakan memerlukan rumusan sehingga sifatnya menjadi wajib terbatas. Agar tercapai hukum bilangan besar yang dibutuhkan asuransi. Dengan begitu, kata dia dapat menangkal terjadinya defisit keuangan negara sehingga keberlanjutan AUTP dapat terus dijaga.
"Wajib karena sudah ada landasan hukum berupa program asuransi wajib amanat UU 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan terbatas kepada komoditi tertentu, misal padi, jagung dan kedelai, dan lahan sawah di bawah 0,3 hektare yg dimiliki petani," paparnya.
Sambung dia mengimbau, agar program asuransi pertanian semakin diketahui petani dan meningkatkan kesadaran pentingnya perlindungan risiko gagal panen, maka perlu digiatkan sosialisasi di kelompok tani dikaitkan dengan skema pupuk. "Artinya harus ada koordinasi skema bahwa hanya petani yang memiliki AUTP yang mendapatkan subsidi pupuk," kata Irvan.
Sebelumnya, pihak Kementerian Pertanian menyampaikan, program asuransi pertanian dalam bentuk AUTP dan AUTS/K sebagai upaya mitigasi risiko penghasilan perekonomian dari bertani akibat perubahan iklim.
Menurut Irvan, meskipun secara alasan teknis asuransi pertanian tidak mengganti seluruh biaya kerugian, namun nilai yang dikucurkan pemerintah sebesar Rp144 ribu per hektar atau 80 persen dari total biaya premi Rp 180 ribu masih tergolong membantu petani.
"Petani membayar hanya sisanya 20 persen atau Rp 36 ribu. Risiko yang dijamin asuransi untuk tanaman pangan padi (AUTP) meliputi banjir kekeringan dan kerusakan karena hama," ujar Irvan yang juga Anggota Tim Perumus Peta Jalan Asuransi Pertanian Indonesia 2015 - 2020.
Lebih lanjut, Ia menjelaskan, program asuransi pertanian sebetulnya telah digagas sejak 20 tahun lalu oleh pemerintah kemudian diupayakan dengan berbagai inisiatif oleh Kementerian Pertanian hingga kini. Selanjutnya, ucap Irvan, guna semakin melindungi para petani dari risiko gagal panen, diterbitkanlah dorongan regulasi yakni UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Sebagai informasi, untuk saat ini program asuransi pertanian yang sedang dilakukan dikenal dengan sebutan AUTP dan asuransi usaha ternak sapi dan kerbau (AUTS/K). Pelaksanaannya telah mencakup hampir di seluruh provinsi di Indonesia, khususnya wilayah yang menjadi sentra produksi padi serta peternakan.
Irvan menuturkan, program asuransi pertanian yang telah dilaksanakan memerlukan rumusan sehingga sifatnya menjadi wajib terbatas. Agar tercapai hukum bilangan besar yang dibutuhkan asuransi. Dengan begitu, kata dia dapat menangkal terjadinya defisit keuangan negara sehingga keberlanjutan AUTP dapat terus dijaga.
"Wajib karena sudah ada landasan hukum berupa program asuransi wajib amanat UU 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan terbatas kepada komoditi tertentu, misal padi, jagung dan kedelai, dan lahan sawah di bawah 0,3 hektare yg dimiliki petani," paparnya.
Sambung dia mengimbau, agar program asuransi pertanian semakin diketahui petani dan meningkatkan kesadaran pentingnya perlindungan risiko gagal panen, maka perlu digiatkan sosialisasi di kelompok tani dikaitkan dengan skema pupuk. "Artinya harus ada koordinasi skema bahwa hanya petani yang memiliki AUTP yang mendapatkan subsidi pupuk," kata Irvan.
Sebelumnya, pihak Kementerian Pertanian menyampaikan, program asuransi pertanian dalam bentuk AUTP dan AUTS/K sebagai upaya mitigasi risiko penghasilan perekonomian dari bertani akibat perubahan iklim.
(akr)