Penerimaan Negara Lampaui Target APBN
A
A
A
JAKARTA - Penerimaan negara tahun ini menunjukkan tren positif, yakni tumbuh 18,2% menjadi Rp1.936 triliun.
Pencapaian tersebut membuat penerimaan negara untuk pertama kalinya memecahkan rekor melampaui target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp1.894 triliun.
“Jadi, total penerimaan negara akan tumbuh 18,2%. Un tuk pertama kali penerimaan negara akan mencapai melebihi apa yang ada di dalam Undang-Undang (UU) APBN,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani di Istana Negara kemarin.
Menurut dia, pertumbuhan yang bagus ini salah satunya disumbang oleh penerimaan pajak yang tumbuh mencapai 15,2%. Sementara penerimaan bea cukai meningkat 14,7%. “Penerimaan negara bukan pajak tumbuh 28,4%. Ini outlooknya sampai akhir tahun. Tapi nanti 31 (Desember), kami pasti update angka realisasi. Tapi kami sudah hitung sampai pekan pertama kemarin,” paparnya.
Di samping penerimaan negara yang baik, Sri Mulyani mengatakan belanja negara juga bagus tahun ini. Dia memaparkan sampai akhir tahun belanja negara diperkirakan mencapai Rp2.210 triliun atau tumbuh 11%. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang hanya tumbuh 6,9%. Dengan kondisi tersebut, lanjut Menkeu, berpengaruh pada semakin kecilnya defisit negara.
Dari total keseluruhan APBN 2018, angka defisit diperkirakan hanya 1,86%. Ini jauh lebih rendah dari yang dipatok di dalam UU APBN 2018 sebesar 2,19%.
“APBN 2018 insya Allah baik. Dan sekarang fokusnya adalah bagaimana menyelesaikan pada 2018. Defisit kita yang menurun dan juga primary balance-nya mendekati 0. Hanya defisit Rp15 triliun. Di UU APBN, sebetulnya primary balance yang dianggarkan Rp87 triliun,” paparnya.
Perbaikan APBN ini merupakan modal untuk menghadapi ketidakpastian global pada 2019 baik karena kesepakatan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dengan China atau pun kelesuan atau perlemahan ekonomi dunia. “Ini yang akan kita terus waspadai,” tandasnya.
Pertumbuhan Ekonomi
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2018 di bawah 5,2% atau berkisar antara 5,14—5,15%. “Ekonomi kita sedikit terpengaruh pertumbuhannya di kuartal IV/2018. Kita sih inginnya 5,3%, tapi mungkin akan sedikit di bawah 5,1% sehingga setahun ini mungkin tidak sampai 5,2%. Mungkin 5,14%-5,15%,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Darmin menuturkan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2018 diperkirakan akan melambat imbas dari perang dagang antara AS dan China. Perang dagang tidak hanya memengaruhi pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut namun juga pertumbuhan ekonomi beberapa negara lain, termasuk Indonesia.
“Perang dagang akan merusak sedikit banyak ekonomi AS dan China sehingga ekonomi mereka pertumbuhannya pasti turun. Itu akan memengaruhi dunia termasuk perdagangan dunia,” tuturnya.
Menurut Darmin, porsi ekspor Indonesia ke kedua negara tersebut hanya 20% sehingga dampak perang dagang diperkirakan tidak terlalu besar. “Beda dengan Malaysia yang besaran ekspornya 70%, Vietnam 100%. Oleh karena itu, ekonomi kita pun sedikit banyak akan terpengaruh pertumbuhannya di kuartal keempat ini,” jelasnya.
Pada 2019, Darmin optimistis pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,3% atau sesuai target APBN 2019. “Mungkin tahun ini kita optimistisnya dapat 5,2%, tapi rasanya sedikit di bawah. Tapi tahun depan itu, bukan suatu yang berat untuk di capai,” ungkapnya.
Darmin memperkirakan pertumbuhan ekonomi di tahun depan tidak akan ada kejadian ekstrem yang bisa menyebabkan ekonomi dunia dan dalam negeri terganggu. Bahkan, AS dan China akan sadar bahwa perang dagang hanya akan berimplikasi negatif pada perekonomian masing-masing negara.
“Dugaan saya Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akhirnya sama-sama tahu bahwa tidak ada yang menang dalam perang dagang,” katanya.
Meski begitu, Darmin menilai segala kemungkinan masih bisa terjadi di tahun depan, apakah perang dagang akan mereda atau tetap berlanjut. Untuk itu, pemerintah akan menyiapkan berbagai strategi dalam mengantisipasi dampak tersebut.
“Di tahun 2019, tergantung kita bisa strategi apa. Apakah perang dagang bisa selesai setelah 90 hari dari sekarang. Misalnya damai, ceritanya akan lain. Kalau normalisasi kebijakan, moneter AS kurang lebih tidak akan banyak berbeda,” tuturnya.
Perkuat Industri Manufaktur
Peneliti Bank Dunia Indira Hapsari mengatakan, sektor manufaktur masih menjadi elemen penting untuk Indonesia dan perlu diperbaharui seiring kemajuan teknologi dan digitalisasi. Sektor manufaktur mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar.
“Selama ini sektor manufaktur dianggap sebagai sektor yang menjadi kunci mesin pertumbuhan ekonomi, di Indonesia dan secara keseluruhan. Karena sektor tersebut membuka lapangan pekerjaan yang besar dibandingkan sektor jasa dan pertanian,” ungkapnya.
Menurut dia, seiring dengan kemajuan teknologi dan digitalisasi, ada ketakutan masyarakat terhadap hilangnya lapangan pekerjaan. Namun, dalam kenyataannya, lapangan pekerjaan masih tetap ada, hanya saja para pekerjanya harus disertai kemampuan yang lebih baik.
“Secara global, banyak yang bilang sektor manufaktur mulai mati dan menurun, digantikan sektor jasa. Padahal, sektor manufaktur atau industri itu potensinya sangat besar dengan adanya peningkatan populasi kelas menengah,” jelasnya.
Sektor manufaktur Indonesia mengalami perlambatan dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah. Di sisi lain, kurangnya daya saing Indonesia berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi.
“Untuk itu, pekerjaan rumah Indonesia ada tiga, yaitu meningkatkan produktivitas tenaga kerja, meningkatkan pembangunan infrastruktur, dan meningkatkan pendidikan masyarakat Indonesia,” tuturnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Kebijakan Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana menjelaskan, perekonomian Indonesia telah bergeser di mana nilai tambah sektor pertanian dan manufaktur menurun seiring dengan peningkatan sektor jasa.
Sementara peningkatan sektor jasa ini dinilai belum mampu menyerap tenaga kerja yang melimpah di pasar tekanan kerja. “Penurunan nilai tambah sektor manufaktur ini mengindikasikan adanya deindustrialisasi secara prematur. Dengan begitu, transformasi ekonomi ini diperlukan untuk dapat terus digalakkan oleh pemerintah agar tetap menyerap tenaga kerja,” ujarnya. (Dita Angga/ Oktiani Endarwati)
Pencapaian tersebut membuat penerimaan negara untuk pertama kalinya memecahkan rekor melampaui target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar Rp1.894 triliun.
“Jadi, total penerimaan negara akan tumbuh 18,2%. Un tuk pertama kali penerimaan negara akan mencapai melebihi apa yang ada di dalam Undang-Undang (UU) APBN,” kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani di Istana Negara kemarin.
Menurut dia, pertumbuhan yang bagus ini salah satunya disumbang oleh penerimaan pajak yang tumbuh mencapai 15,2%. Sementara penerimaan bea cukai meningkat 14,7%. “Penerimaan negara bukan pajak tumbuh 28,4%. Ini outlooknya sampai akhir tahun. Tapi nanti 31 (Desember), kami pasti update angka realisasi. Tapi kami sudah hitung sampai pekan pertama kemarin,” paparnya.
Di samping penerimaan negara yang baik, Sri Mulyani mengatakan belanja negara juga bagus tahun ini. Dia memaparkan sampai akhir tahun belanja negara diperkirakan mencapai Rp2.210 triliun atau tumbuh 11%. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang hanya tumbuh 6,9%. Dengan kondisi tersebut, lanjut Menkeu, berpengaruh pada semakin kecilnya defisit negara.
Dari total keseluruhan APBN 2018, angka defisit diperkirakan hanya 1,86%. Ini jauh lebih rendah dari yang dipatok di dalam UU APBN 2018 sebesar 2,19%.
“APBN 2018 insya Allah baik. Dan sekarang fokusnya adalah bagaimana menyelesaikan pada 2018. Defisit kita yang menurun dan juga primary balance-nya mendekati 0. Hanya defisit Rp15 triliun. Di UU APBN, sebetulnya primary balance yang dianggarkan Rp87 triliun,” paparnya.
Perbaikan APBN ini merupakan modal untuk menghadapi ketidakpastian global pada 2019 baik karena kesepakatan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dengan China atau pun kelesuan atau perlemahan ekonomi dunia. “Ini yang akan kita terus waspadai,” tandasnya.
Pertumbuhan Ekonomi
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2018 di bawah 5,2% atau berkisar antara 5,14—5,15%. “Ekonomi kita sedikit terpengaruh pertumbuhannya di kuartal IV/2018. Kita sih inginnya 5,3%, tapi mungkin akan sedikit di bawah 5,1% sehingga setahun ini mungkin tidak sampai 5,2%. Mungkin 5,14%-5,15%,” ujarnya di Jakarta kemarin.
Darmin menuturkan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2018 diperkirakan akan melambat imbas dari perang dagang antara AS dan China. Perang dagang tidak hanya memengaruhi pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut namun juga pertumbuhan ekonomi beberapa negara lain, termasuk Indonesia.
“Perang dagang akan merusak sedikit banyak ekonomi AS dan China sehingga ekonomi mereka pertumbuhannya pasti turun. Itu akan memengaruhi dunia termasuk perdagangan dunia,” tuturnya.
Menurut Darmin, porsi ekspor Indonesia ke kedua negara tersebut hanya 20% sehingga dampak perang dagang diperkirakan tidak terlalu besar. “Beda dengan Malaysia yang besaran ekspornya 70%, Vietnam 100%. Oleh karena itu, ekonomi kita pun sedikit banyak akan terpengaruh pertumbuhannya di kuartal keempat ini,” jelasnya.
Pada 2019, Darmin optimistis pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,3% atau sesuai target APBN 2019. “Mungkin tahun ini kita optimistisnya dapat 5,2%, tapi rasanya sedikit di bawah. Tapi tahun depan itu, bukan suatu yang berat untuk di capai,” ungkapnya.
Darmin memperkirakan pertumbuhan ekonomi di tahun depan tidak akan ada kejadian ekstrem yang bisa menyebabkan ekonomi dunia dan dalam negeri terganggu. Bahkan, AS dan China akan sadar bahwa perang dagang hanya akan berimplikasi negatif pada perekonomian masing-masing negara.
“Dugaan saya Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akhirnya sama-sama tahu bahwa tidak ada yang menang dalam perang dagang,” katanya.
Meski begitu, Darmin menilai segala kemungkinan masih bisa terjadi di tahun depan, apakah perang dagang akan mereda atau tetap berlanjut. Untuk itu, pemerintah akan menyiapkan berbagai strategi dalam mengantisipasi dampak tersebut.
“Di tahun 2019, tergantung kita bisa strategi apa. Apakah perang dagang bisa selesai setelah 90 hari dari sekarang. Misalnya damai, ceritanya akan lain. Kalau normalisasi kebijakan, moneter AS kurang lebih tidak akan banyak berbeda,” tuturnya.
Perkuat Industri Manufaktur
Peneliti Bank Dunia Indira Hapsari mengatakan, sektor manufaktur masih menjadi elemen penting untuk Indonesia dan perlu diperbaharui seiring kemajuan teknologi dan digitalisasi. Sektor manufaktur mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar.
“Selama ini sektor manufaktur dianggap sebagai sektor yang menjadi kunci mesin pertumbuhan ekonomi, di Indonesia dan secara keseluruhan. Karena sektor tersebut membuka lapangan pekerjaan yang besar dibandingkan sektor jasa dan pertanian,” ungkapnya.
Menurut dia, seiring dengan kemajuan teknologi dan digitalisasi, ada ketakutan masyarakat terhadap hilangnya lapangan pekerjaan. Namun, dalam kenyataannya, lapangan pekerjaan masih tetap ada, hanya saja para pekerjanya harus disertai kemampuan yang lebih baik.
“Secara global, banyak yang bilang sektor manufaktur mulai mati dan menurun, digantikan sektor jasa. Padahal, sektor manufaktur atau industri itu potensinya sangat besar dengan adanya peningkatan populasi kelas menengah,” jelasnya.
Sektor manufaktur Indonesia mengalami perlambatan dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah. Di sisi lain, kurangnya daya saing Indonesia berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi.
“Untuk itu, pekerjaan rumah Indonesia ada tiga, yaitu meningkatkan produktivitas tenaga kerja, meningkatkan pembangunan infrastruktur, dan meningkatkan pendidikan masyarakat Indonesia,” tuturnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Kebijakan Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana menjelaskan, perekonomian Indonesia telah bergeser di mana nilai tambah sektor pertanian dan manufaktur menurun seiring dengan peningkatan sektor jasa.
Sementara peningkatan sektor jasa ini dinilai belum mampu menyerap tenaga kerja yang melimpah di pasar tekanan kerja. “Penurunan nilai tambah sektor manufaktur ini mengindikasikan adanya deindustrialisasi secara prematur. Dengan begitu, transformasi ekonomi ini diperlukan untuk dapat terus digalakkan oleh pemerintah agar tetap menyerap tenaga kerja,” ujarnya. (Dita Angga/ Oktiani Endarwati)
(nfl)