Mengangkat Nilai Lokal dalam Percepatan Pembangunan Papua

Jum'at, 28 Desember 2018 - 23:06 WIB
Mengangkat Nilai Lokal...
Mengangkat Nilai Lokal dalam Percepatan Pembangunan Papua
A A A
JAKARTA - Papua, seperti wilayah Indonesia timur lainnya mesti diakui masih tertinggal dibandingkan wilayah barat Indonesia, khususnya Jawa dan Sumatera. Karena itu, percepatan pembangunan Papua menjadi agenda penting pemerintah, yang dibuktikan dengan diterbitkannya Inpres No 9/2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Begitupun, Papua dengan segala keunikan, karakteristik, serta kompleksitas permasalahannya menimbulkan tantangan berat dalam upaya pembangunannya. Bagaimana pemerintah menyikapi tantangan tersebut? Berikut wawancara SINDOnews dengan Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengenai strategi percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat.

Pemerintah saat ini boleh dibilang memberi perhatian khusus terhadap percepatan pembangunan Papua, apa alasannya?
Dilihat dari konteks secara nasional, perekonomian Indonesia itu memang cenderung terkonsentrasi di wilayah barat, khususnya di Jawa dan Sumatera. Pulau Jawa itu kontribusinya untuk saat ini 58% dan Sumatera itu 20%, jadi hampir 80% ekonomi Indonesia itu hanya ada di Jawa dan Sumatera. Sebagai negara kesatuan dengan wilayah yang begitu luas, ini tentunya harus diperbaiki, dalam pengertian porsi di luar Jawa dan Sumatera harus diperbesar.

Lalu kalau kita lihat data kemiskinan, secara persentase kemiskinan yang terbesar itu ada di kawasan timur Indonesia, misalnya NTT, Maluku dan Papua. Nah, untuk mengurangi konsentrasi kemiskinan yang lebih tinggi di kawasan timur ini harus ada perhatian khusus, utamanya memperbaiki kesejahteraannya dulu.

Papua dan Papua Barat termasuk provinsi yang kemiskinannya tinggi, salah satu yang tertinggi di Indonesia, mencapai 30%. Meskipun secara jumlah mungkin kecil jika dibanding Jawa, tapi 30% dari jumlah penduduk yang termasuk miskin tentunya untuk itu pemerintah harus bertindak lebih. Jadi harus mulai memeratakan kegiatan pembangunan yang kini mulai mengarah ke timur, termasuk Papua. Itu alasan makro mengapa Papua perlu mendapat perhatian.

Selain itu, apakah ada alasan selanjutnya?
Alasan kedua dari konteks politis geografisnya kita melihat Papua mendapat status Otonomi Khusus (Otsus). Tentu konsekuensinya tidak hanya dari segi politis saja tapi juga dari segi ekonomi. Dari sisi fiskal kita tahu bahwa Papua dan Aceh adalah penerima dana Otsus yang besarnya 2% dari DAU, ada juga dana tambahan untuk infrastruktur, artinya sudah ada keberpihakan di sisi fiskalnya, belum lagi mereka kaena ada kegiatan yang berkaitan SDA, ada yang namanya bagi hasil.

Jadi secara fiskal sebenarnya Papua sudah mendapat bagian relatif besar dibanding banyak daerah lain di Indonesia. Dana transfer totalnya mungkin sudah di atas Rp100 triliun.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana dana yang sangat besar itu dapat bermanfaat untuk mencapai tujuan tadi, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Jadi kita lihat apa yang menyebabkan kemiskinan tersebut, salah satunya kita lihat adalah banyak daerah yang masih terisolasi, ada isu konektivitas di Papua, khususnya di daerah pegunungan, bagian tengah. Karena itu Presiden menekankan bahwa harus ada progres yang signifikan dari pembangunan ekonomi Papua dan salah satu fokusnya adalah memperbaiki konektivitas, akses, sehingga masyarakat Papua tidak lagi terisolir dan dapat menata serta memperbaiki kebutuhan dasarnya.

Kalau ini bisa kita lakukan, kita harapkan kemiskinan di Papua bisa turun lebih jauh, meskipun sekarang juga sudah turun cukup jauh, sekitar 22-23% dibanding 31% sebelumnya. Memang diperlukan upaya lebih untuk terus menurunkan kemiskinan, ya mudah-mudahan bisa sampai single digit suatu hari nanti.

Terkait dengan itu, apa perbedaan kebijakan yang diambil pemerintah sekarang dari sebelumnya?
Memang di pemerintahan sebelumnya ada unit khusus untuk Papua dan Papua Barat. Namun pada periode ini kita menekankan pada koordinasi mengenai penangangan Papua. Nah, kami memiliki Desk Papua di mana lebih kepada memperbaiki rencana pembangunan di Papua, sekaligus juga memperbaiki sasaran prioritas dari anggaran.

Jadi dana yang masuk ke Papua itu ada dua macam, ada yang berasal dari transfer langsung dan satu lagi dari belanja Kementerian/Lembaga (K/L) di daerah. Kita ingin memastikan bahwa pertama perencanaannya itu sekarag sesuai karakteristik yang ada di Papua, yaitu tadi masih banyak kemiskinan, keterisolasian, serta kurangnya pelayanan dasar.

Kemudian, apa terobosan yang dilakukan?
Dalam konteks perencanaan, kita nilai yang paling tepat di Papua adalah perencanaan berbasis wilayah adat, jadi tidak lagi terpaku pada perencanaan secara administratif kabupaten per kabupaten. Karena kalau begitu banyak sekali kabupaten yang secara ekonomi terkait dengan kabupaten tertangganya. Karena itulah kita pakai pendekatan yang secara perencanaan lebih efektif dan dari sisi masyarakat juga bisa lebih diterima karena berbasis wilayah adat.

Dengan kita tidak membuat perencanaan yang berbasis administrasi kita harapkan secara konsep perencanaan menjadi lebih efektif dan yang lebih penting bisa lebih diterima dan diimplementasikan.

Apakah konsep ini baru?
Ya kita paham bahwa pemerintah Indonesia dari masa ke masa memberi perhatian kepada Papua dan pada pemerintahan ini kita beranggapan perbaikan Papua itu harus berasal dari masyarakatnya sendiri, itu akan lebih sustainable dan diterima. Karena itu kita melihat apa yang menjadi pengikat di masyarakat Papua, salah satunya kita melihat adalah pada pendekatan adat ini. Nah wilayah adat ini kebetulan bisa teridentifikasi (5 wilayah adat di Papua dan 2 wilayah adat di Papua Barat) dan kami melihat barangkali ini bisa menjadi solusi agar perencanaan terkait Papua lebih efektif.

Termasuk juga dari sisi sasaran dan prioritas anggaran, karena terus terang dari analisa kami sebelum Desk Papua ini dibentuk, kita melihat bahwa ada kecenderungan lebih dari separuh anggaran K/L di Papua menumpuk hanya pada lima kabupaten saja, Jayapura yang relatif sudah lebih maju, Nabire yang jadi salah satu hub di Papua, lalu Mimika yang sudah lebih berkembang karena ada Freeport, Merauke dan Wamena. Tapi Papua kan tidak hanya 5 wilayah ini, yang di tengah di pegunungan tadi kalau kita bicara kemiskinan mungkin di situ konsentrasinya.

Jadi menurut saya, meskipun tak mudah kita harus lakukan relokasi anggaran dari K/L tersebut dengan pendekatan adat tadi ini yang kita harapkan akan jadi lebih mudah. Misalnya, dari K/L masuk ke Wamena kita bisa arahkan lagi ke wilayah adat yang masih mencakup Wamena, jadi tidak hanya di kabupaten saja.

Itu ada dalam RPJMN 2015-2019, lalu bagaimana dengan arah kebijakan di RPJMN 2020-2024?
Pertama, yang sudah dilakukan di RPJMN yang sekarang ini yang akan berakhir tahun depan kita ingin pastikan dalam RPJMN 2020-2024 apa yang sudah disiapkan saat ini ke depan perencanaannya benar-benar mencerminkan wilayah adatnya. Jadi lebih dipertajam.

Kedua, realokasi anggarannya jadi lebih mudah. Kesulitan kita kan K/L punya arah sendiri-sendiri dan kadang kita tidak bisa memaksa, karena itu kita harus bisa sampaikan argumen bagaimana belanja K/L itu tidak hanya ke kabupaten saja, karena terus terang lima daerah yang umumnya jadi fokus K/L tadi itu sudah lebih mudah untuk dijangkau, padahal concern kita kan ingin memeratakan pembangunan.

Kita juga memperkuat pendekatan green growth dalam konteks pembangunan di Papua. Pendekatan ekologi yang berkelanjutan penting untuk diterapkan dalam pengembangan wilayah dan daerah tertinggal di Papua.

Apa kegiatan yang sudah dilakukan saat ini dan yang akan diperkuat ke depannya?
Yang kita sudah mulai tahun ini, meskipun sifatnya masih pilot (project) adalah kita berikan perhatian khusus pada pendidikan dan kesehatan. Kalau infrastruktur dasar kan relatif sudah, kita sudah membangun konektivitas dan penyediaan infrastruktur dasar, tapi ketika bicara pendidikan dan kesehatan ini yang menurut kami sangat krusial kalau ingin ada lompatan pembangunan di Papua.

Contohnya di bidang pendidikan, masyarakat Papua tinggalnya menyebar. Nah kalau kita membuat sekolah kan harus ada ukuran minimal jumlah murid, tapi ketika membangun sekolah, banyak sekali murid-muridnya yang harus jalan cukup jauh dan lama melalui medan yang sulit untuk sekolah, bisa dibayangkan betapa itu akan sangat menyusahkan, dia akan habis waktu untuk transportasi dan kurang waktu untuk belajar.

Maka kita kembangkan konsep sekolah berasrama, ini sebenarnya sudah ada sejak lama tapi kita ingin bikin lebih banyak dan lebih berkualitas dalam artian lebih terekspose pada teknologi informasi (TI) kita bekerja sama dengan diaspora Indonesia di Amerika untuk membuat sekolah berasrama yang levelnya sudah internasional. Kita harapkan ini bisa diterapkan di sekolah negeri dan swasta. Lalu nanti di luar jam sekolah, karena di asrama, harus ada guru pembimbing yang akan kita arahkan supaya mendidik mereka agar punya produktivitas yang tinggi ketika nanti lulus, apapun profesinya.

Bagaimana dengan bidang kesehatan?
Kalau kesehatan isunya mirip dengan pendidikan, dengan banyaknya masyarakat yang tersebar, solusinya kita harus bangun Puskesmas sebanyak-banyaknya, ini juga akan punya tantangan tenaga kerjanya, maka kita coba program kesehatan jarak jauh atau telemedicine. Pada intinya menggunakan konetivitas IT sehingga tindakan medis yang rumit bisa dilakukan di Puskesmas atau RS setempat yang terkoneksi dengan supervisi dokter dari Jakarta misalnya, atau Surabaya, Makassar atau tempat lainnya, secara real time. Ini sudah dilakukan di banyak negara yang memiliki daerah-daerah terpencil. Itu mungkin satu jawaban untuk memperbaiki layanan kesehatan di Papua. Kita harapkan pada RPJMN selanjutnya gerakan ini menjadi lebih massif dan menyebar.

Di luar itu, salah satu prioritas kita juga soal PON Papua 2020, fokusnya adalah penyelesaian venue yang belum ada. Ini tanggung jawab bersama. Fokusnya tahun depan, jadi harus ada percepatan.

Bagaimana soal pendanaan program-program tersebut?
Soal kesehatan dan pendidikan adalah juga tanggung jawab daerah yang harus kita pastikan pemda dan pemprov benar-benar mengalokasikan anggaran sesuai dengan undang-undang yaitu 20%. Ini menjadi tantangan bagaimana memastikan pemda di seluruh Indonesia, bukan hanya Papua agar 20% anggaran pendidikan itu benar-benar dipakai untuk mendukung pendidikan dan kualitas guru. kesehatan juga, anggaran 10% ini bagaimana agar bisa mendukung program kesehatan jarak jauh itu.

Juga ada dana Otsus yang salah satu penekanannya adalah untuk pendidikan, plus belanja K/L, lalu ada intervensi BUMN. Jadi ada tiga sumber, transfer daerah, belanja K/L danBUMN. Kita harapkan kombinasi ketiga pembiayaan ini dan dengan perencanaan yang baik berbasis pendekatan wilayah adat tadi kita bisa mempercepat pembangunan di Papua.

Semua itu tentunya butuh koordinasi. Dalam hal ini bagaimana Kementerian PPN/Bappenas menjalankan perannya dalam fungsi tersebut?
Ya kita berusaha memainkan peran koordinasi yang lebih baik dalam percepatan pembangunan di Papua, agar K/L tidak jalan sendiri-sendiri, daerah juga. Kita harapkan ada koordinasi yang baik antardaerah, antar-K/L dan antar K/L dan daerah.

Ini memang tidak mudah, kuncinya adalah perbaikan penggunaan anggaran dan perencanaan yang lebih baik. Dengan begitu ini bisa mengarahke target tadi, yakni pengurangan kemiskinan dan perbaikan kualitas manusia. IPM itu kan bicara pedidikan, kesehatan dan daya beli. Semuanya harus disentuh agar IPM-nya naik signifikan.

Saya yakin pemerintah dari masa ke masa memberikan perhatian khusus ke Papua sehingga mungkin di Inpres berikutnya, apakah itu pemerintahan yang sama atau yang berbeda, itu tinggal nuansanya penekanannya saja. Kita ingin menegaskan bahwa dalam RPJMN sekarang inilah penekanan kita mengenai pembangunan Papua.

Bagaimana dengan capaian dalam empat tahun terakhir?
Data-data dasar pada intinya membaik, seperti yang saya katakan, kemiskinan sudah turun menjadi 22-23% dibanding 31% sebelumnya. Untuk pertumbuhan ekonomi memang fluktuatif karena selama masih tergantung pada sektor pertambangan yang harganya naik-turun ya otomatis pertumbuhan ekonominya juga naik-turun.

Tapi yang lebih penting adalah pada persebarannya, kalau kita lihat antarkabupaten pertumbuhan yang tertinggi adalah di wilayah tengah, pegunungan. Pada periode 2012-2016 Kabupaten Intan Jaya, Yalimo, Nduga, Mamberamo, kita lihat mulai ada pemerataan. Jadi mulai ada perbaikan persebaran pertumbuhan ekonomi. Lalu pengangguran terbuka juga kecil hanya 3,6%.

Kemudian IPM tahun 2016 juga sudah 58 naik dari 56 di 2013 dan tahun 2017 pasti naik lagi. Tapi memang IPM Papua ini memang masih terbilang yang rendah di Indonesia. Kalau gini ratio sedikit lebih rendah dari nasional 0,38 dibanding nasional 0,39.

Selain itu sudah ada diversifikasi ekonomi di Papua sebagai akibat realokasi anggaran yang lebih baik dan penggunaan dana transfer yang lebih baik. Mudah-mudahan ke depan akan semakin baik dan kemiskinan juga semakin turun.

Bagaimana dengan isu gangguan keamanan, sejauh mana itu akan mempengaruhi pembangunan di Papua dan Papua Barat?
Justru, salah satu ide kenapa kita harus menggunakan pendekatan berbasis wilayah adat adalah supaya pemahaman mengenai pentingnya pembangunan lebih mengena pada masyarakat lokal. Kalau perencanaan biasa yang basisnya administrasi kan seolah-olah ini pogram pemerintah saja baik pusat atau daerah, dan kalau tidak bisa mengomunikasikan itu dengan baik, bahkan mungkin terjadi ketidaksetujuan.

Jadi dengan pendekatan yang baru dalam pembangunan ini, masyarakat harus lebih partisipatif, suara dan ide lokalnya harus lebih terasa. Termasuk dalam hal ini adalah pemberdayaan Orang Asli Papua.

Jadi pembangunan Papua itu tidak bisa hanya dengan pendekatan teknokratis, ekonomis, harus menyentuh manusianya, sosialnya, budayanya bahkan adatnya. Peran adat itu sangat krusial di Papua, kita harus benar-benar melibatkan masyarakat lokal.
(fjo)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0683 seconds (0.1#10.140)