Perlu Terobosan Tingkatkan Pariwisata
A
A
A
JAKARTA - Sektor pariwisata nasional masih menghadapi sejumlah tantangan untuk mengatasi ketertinggalan dari negara lain di wilayah ASEAN.
Perlu kerja keras dari para pelaku usaha dan otoritas terkait guna memaksimalkan potensi wisata yang ada. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Stastistik (BPS) kemarin, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) pada periode Januari-November 2018 tercatat sebanyak 14,40 juta kunjungan.
Angka tersebut naik bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya 12,90 juta kunjungan. Namun jika dibandingkan dengan beberapa negara lain di ASEAN seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia masih kalah jauh.
Berdasarkan data dari UNWTO Tourism Highlights 2018, tingkat kunjungan wisatawan asing (wisman) ke tiga negara tersebut masing-masing mencapai 35,38 juta, 25, 94 juta, dan 13,98 juta kunjungan. Fakta tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya mengingat besarnya potensi sektor wisata di Tanah Air yang sangat beragam.
Mulai dari wisata laut, pantai, gunung hingga objek wisata artifisial yang terdapat di berbagai daerah. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, khusus untuk periode November 2018, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia tumbuh 8,16% menjadi 1,15 juta. Angka tersebut lebih tinggi daripada jumlah wisman pada November 2017 yang hanya 1,06 juta kunjungan.
Sementara apabila dibandingkan dengan Oktober 2018, jumlah kunjungan wisman pada Novem ber 2018 turun 11,26%. “Promosi berpengaruh menaikkan wisatawan, tapi memang berbagai bencana pada 2018 seperti erupsi Gunung Agung, gempa Lombok, tsunami Palu dan Banten berpengaruh pada jumlah wisman,” ujar Suhariyanto di Jakarta kemarin.
Merujuk pada data BPS terkini, diperkirakan target jumlah kunjungan yang ditetapkan pemerintah sebanyak 17 juta wisman tahun ini sulit tercapai. Dengan sisa satu bulan, yakni Desember 2018, akan sulit mengejar kekurangan kunjungan sebanyak 2,6 juta wisman.
Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya sebelumnya memproyeksikan, kunjungan wisman sepanjang 2018 hanya akan mencapai angka 16 juta. Dia menyebut kekurangan tersebut dipengaruhi tiga kejadian, yaitu bencana gempa bumi di Lombok yang disusul di Palu, musibah jatuhnya pesawat terbang Lion Air jurusan Jakarta-Pangkal Pinang, dan polemik Zero Dollar Tour yang menimpa Bali.
Meskipun secara kuantitas tidak tercapai, menteri asal Banyuwangi itu memastikan dari aspek devisa pariwisata akan tercapai sekitar USD17,6 miliar. Polemik Zero Dollar Tour membuat gaduh dan menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi industri pariwisata di Bali. Apalagi muncul kata-kata di media massa yang bernada keras dan kurang bersahabat.
Misalnya kata-kata “mafia”, “kartel”, “sweeping“, “tutup semua”, “tidak ada kompromi”, dan seje nis nya. Arief pun menegaskan untuk masalah business to business seperti itu harus diselesaikan di level asosiasi pariwisata.
Pelaku industri pariwisata Bali Ida Bagus Ngurah Wijaya membenarkan bahwa terdapat pengaruh dari polemik Zero Dollar Tour terhadap penurunan kunjungan wisman China ke Bali. Kendati demikian pemerintah daerah dan pusat memang perlu melakukan pembenahan agar tidak terjadi penurunan kualitas wisman yang datang ke Bali.
Kualitas wisman diindikasikan oleh belanja (spending) dan lama tinggal. Menurut Ngurah, bila dibandingkan dengan 10 tahun lalu, belanja wisman di Bali menurun.
“Walaupun jumlah turis naik, spending dan lama tinggal berkurang. Ini yang harus di perbaiki pemerintah. Bali tidak bisa mengandalkan kuantitas saja, kita harus memperhitungkan spending dan lama tinggal,” ujarnya saat dihubungi kemarin.
Meski dari sisi jumlah kunjungan tidak sesuai target, Arief menegaskan bahwa industri pariwisata akan mampu menyumbang 5,25% dan 5,50% terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2018 dan 2019.
Untuk mencapai target itu, pemerintah menyusun strategi pengembangan di tiga aspek utama pariwisata, yakni 3A: akses, atraksi, dan amenitas. Dalam paparannya saat menyampaikan outlook pariwisata 2019 beberapa waktu lalu, Arief menyatakan, untuk menarik wisman pelaku usaha harus mengikuti tren kekinian, termasuk memanfaatkan teknologi digital.
Menurut dia, aspek lain yang akan berpengaruh adalah terkait perubahan regulasi. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Asnawi Bahar mengatakan, tahun ini harus dijadikan masa konsolidasi antara Kementerian Pariwisata dan pelaku industri pariwisata.
Hal ini demi mencapai target 20 juta wisatawan asing yang dicanangkan pemerintah. Namun, menurut dia, faktanya selama ini pemerintah belum melibatkan pelaku industri dalam membuat kebijakan dan hasilnya tidak mencapai target.
“Pelaku tentu lebih paham kondisi lapangan, misalnya siapa pihak yang sesuai untuk dijadikan mitra di luar negeri. Kami bisa cek track record mitra di luar negeri untuk diajak bekerja sama. Tapi kami tidak pernah dilibatkan secara total dan hanya jadi penonton saja,” ujar Asnawi di Jakarta kemarin.
Dia menambahkan, saat ini yang dibutuhkan pariwisata nasional adalah pemasaran yang lebih baik dan pengelolaan profesional. Menurutnya, masih banyak pelaku pariwisata yang tidak memiliki sertifikasi sehingga kualitas layanannya sering mengecewakan.
“Ini harus dilakukan bertahap karena lapangan pekerjaan juga sangat dibutuhkan masyarakat saat ini,” ujar Asnawi. Selain itu, menurut dia, juga dibutuhkan perencanaan matang dengan sinergi kuat antara pemerintah dan industri seperti yang dilakukan negara tetangga.
Pemerintah juga harus lebih membuka diri pada industri dengan membentuk badan seperti Malaysia Tourism Board. “Negara seperti Singapura dan Thailand juga punya semua, tapi kita tidak. Badan Promosi Pariwisata Indonesia di tingkat pusat tidak diseriusi, tapi menjamur di tingkat daerah. Ini ada yang salah,” ujarnya.
Anggota DPR Wiryanti Sukamdani juga melihat industri pariwisata yang paling tumbuh di kawasan adalah Malaysia dan Thailand. Tahun 2018 target wisman masih di bawah angka yang diharapkan, yakni 17 juta kunjungan.
Sementara di tahun ini ditargetkan akan ada 20 juta wisatawan yang masuk. “Kami sudah meminta kementerian untuk melakukan marketing yang spesifik untuk destinasinya, dalam 10 Bali Baru. Diharapkan turis dapat langsung tersebar dengan akses bandara. Jangan lagi menumpuk di Bali. Akses bandara sudah lebih baik di berbagai kota,” ujar Wiryanti.
Selain itu dia meminta ada sinergi yang lebih baik antara pemerintah dan pelaku usaha. Pemerintah harus jadi fasilitator pelaku lintas sektoral di pariwisata seperti maskapai penerbangan atau hotel.
Tugas pemerintah sudah seharusnya mengikuti kebutuhan industri dan diperkuat supaya target tercapai. “Pemerintah seharusnya mendukung kebutuhan industri yang punya rencana pengembangan bisnisnya masingmasing. Memang peran nya memperkuat industri,” ujarnya.
Dia juga mengingatkan, strategi komunikasi pemerintah harus kuat dalam menyampaikan pesan. Dia mencontohkan, di Prancis saat terjadi demonstrasi menggunakan rompi kuning, pemerintahnya menyampaikan pesan yang jelas sehingga akhirnya turis tidak khawatir untuk datang.
“Sementara di Indonesia bencana tsunami di Selat Sunda bikin orang asing berpikir itu terjadi di Jakarta. Ada strategi komunikasi yang lemah oleh pemerintah,” tambahnya.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) menyatakan akan terus mendukung sektor-sektor yang mendatangkan devisa seperti pariwisata dan ekspor.
Namun BI belum mengungkapkan secara terperinci kebijakan makroprudensial yang disiapkan untuk mendorong pariwisata. “Di makroprundensial, kami terus mengkaji relaksasi untuk instrumen apa, misal nya untuk mendorong pariwisata, ekspor, dan juga UMKM,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo. (Hafid Fuad/ Inda Susanti/Ant)
Perlu kerja keras dari para pelaku usaha dan otoritas terkait guna memaksimalkan potensi wisata yang ada. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Stastistik (BPS) kemarin, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) pada periode Januari-November 2018 tercatat sebanyak 14,40 juta kunjungan.
Angka tersebut naik bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya 12,90 juta kunjungan. Namun jika dibandingkan dengan beberapa negara lain di ASEAN seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia masih kalah jauh.
Berdasarkan data dari UNWTO Tourism Highlights 2018, tingkat kunjungan wisatawan asing (wisman) ke tiga negara tersebut masing-masing mencapai 35,38 juta, 25, 94 juta, dan 13,98 juta kunjungan. Fakta tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya mengingat besarnya potensi sektor wisata di Tanah Air yang sangat beragam.
Mulai dari wisata laut, pantai, gunung hingga objek wisata artifisial yang terdapat di berbagai daerah. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, khusus untuk periode November 2018, jumlah kunjungan wisman ke Indonesia tumbuh 8,16% menjadi 1,15 juta. Angka tersebut lebih tinggi daripada jumlah wisman pada November 2017 yang hanya 1,06 juta kunjungan.
Sementara apabila dibandingkan dengan Oktober 2018, jumlah kunjungan wisman pada Novem ber 2018 turun 11,26%. “Promosi berpengaruh menaikkan wisatawan, tapi memang berbagai bencana pada 2018 seperti erupsi Gunung Agung, gempa Lombok, tsunami Palu dan Banten berpengaruh pada jumlah wisman,” ujar Suhariyanto di Jakarta kemarin.
Merujuk pada data BPS terkini, diperkirakan target jumlah kunjungan yang ditetapkan pemerintah sebanyak 17 juta wisman tahun ini sulit tercapai. Dengan sisa satu bulan, yakni Desember 2018, akan sulit mengejar kekurangan kunjungan sebanyak 2,6 juta wisman.
Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya sebelumnya memproyeksikan, kunjungan wisman sepanjang 2018 hanya akan mencapai angka 16 juta. Dia menyebut kekurangan tersebut dipengaruhi tiga kejadian, yaitu bencana gempa bumi di Lombok yang disusul di Palu, musibah jatuhnya pesawat terbang Lion Air jurusan Jakarta-Pangkal Pinang, dan polemik Zero Dollar Tour yang menimpa Bali.
Meskipun secara kuantitas tidak tercapai, menteri asal Banyuwangi itu memastikan dari aspek devisa pariwisata akan tercapai sekitar USD17,6 miliar. Polemik Zero Dollar Tour membuat gaduh dan menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi industri pariwisata di Bali. Apalagi muncul kata-kata di media massa yang bernada keras dan kurang bersahabat.
Misalnya kata-kata “mafia”, “kartel”, “sweeping“, “tutup semua”, “tidak ada kompromi”, dan seje nis nya. Arief pun menegaskan untuk masalah business to business seperti itu harus diselesaikan di level asosiasi pariwisata.
Pelaku industri pariwisata Bali Ida Bagus Ngurah Wijaya membenarkan bahwa terdapat pengaruh dari polemik Zero Dollar Tour terhadap penurunan kunjungan wisman China ke Bali. Kendati demikian pemerintah daerah dan pusat memang perlu melakukan pembenahan agar tidak terjadi penurunan kualitas wisman yang datang ke Bali.
Kualitas wisman diindikasikan oleh belanja (spending) dan lama tinggal. Menurut Ngurah, bila dibandingkan dengan 10 tahun lalu, belanja wisman di Bali menurun.
“Walaupun jumlah turis naik, spending dan lama tinggal berkurang. Ini yang harus di perbaiki pemerintah. Bali tidak bisa mengandalkan kuantitas saja, kita harus memperhitungkan spending dan lama tinggal,” ujarnya saat dihubungi kemarin.
Meski dari sisi jumlah kunjungan tidak sesuai target, Arief menegaskan bahwa industri pariwisata akan mampu menyumbang 5,25% dan 5,50% terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2018 dan 2019.
Untuk mencapai target itu, pemerintah menyusun strategi pengembangan di tiga aspek utama pariwisata, yakni 3A: akses, atraksi, dan amenitas. Dalam paparannya saat menyampaikan outlook pariwisata 2019 beberapa waktu lalu, Arief menyatakan, untuk menarik wisman pelaku usaha harus mengikuti tren kekinian, termasuk memanfaatkan teknologi digital.
Menurut dia, aspek lain yang akan berpengaruh adalah terkait perubahan regulasi. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Asnawi Bahar mengatakan, tahun ini harus dijadikan masa konsolidasi antara Kementerian Pariwisata dan pelaku industri pariwisata.
Hal ini demi mencapai target 20 juta wisatawan asing yang dicanangkan pemerintah. Namun, menurut dia, faktanya selama ini pemerintah belum melibatkan pelaku industri dalam membuat kebijakan dan hasilnya tidak mencapai target.
“Pelaku tentu lebih paham kondisi lapangan, misalnya siapa pihak yang sesuai untuk dijadikan mitra di luar negeri. Kami bisa cek track record mitra di luar negeri untuk diajak bekerja sama. Tapi kami tidak pernah dilibatkan secara total dan hanya jadi penonton saja,” ujar Asnawi di Jakarta kemarin.
Dia menambahkan, saat ini yang dibutuhkan pariwisata nasional adalah pemasaran yang lebih baik dan pengelolaan profesional. Menurutnya, masih banyak pelaku pariwisata yang tidak memiliki sertifikasi sehingga kualitas layanannya sering mengecewakan.
“Ini harus dilakukan bertahap karena lapangan pekerjaan juga sangat dibutuhkan masyarakat saat ini,” ujar Asnawi. Selain itu, menurut dia, juga dibutuhkan perencanaan matang dengan sinergi kuat antara pemerintah dan industri seperti yang dilakukan negara tetangga.
Pemerintah juga harus lebih membuka diri pada industri dengan membentuk badan seperti Malaysia Tourism Board. “Negara seperti Singapura dan Thailand juga punya semua, tapi kita tidak. Badan Promosi Pariwisata Indonesia di tingkat pusat tidak diseriusi, tapi menjamur di tingkat daerah. Ini ada yang salah,” ujarnya.
Anggota DPR Wiryanti Sukamdani juga melihat industri pariwisata yang paling tumbuh di kawasan adalah Malaysia dan Thailand. Tahun 2018 target wisman masih di bawah angka yang diharapkan, yakni 17 juta kunjungan.
Sementara di tahun ini ditargetkan akan ada 20 juta wisatawan yang masuk. “Kami sudah meminta kementerian untuk melakukan marketing yang spesifik untuk destinasinya, dalam 10 Bali Baru. Diharapkan turis dapat langsung tersebar dengan akses bandara. Jangan lagi menumpuk di Bali. Akses bandara sudah lebih baik di berbagai kota,” ujar Wiryanti.
Selain itu dia meminta ada sinergi yang lebih baik antara pemerintah dan pelaku usaha. Pemerintah harus jadi fasilitator pelaku lintas sektoral di pariwisata seperti maskapai penerbangan atau hotel.
Tugas pemerintah sudah seharusnya mengikuti kebutuhan industri dan diperkuat supaya target tercapai. “Pemerintah seharusnya mendukung kebutuhan industri yang punya rencana pengembangan bisnisnya masingmasing. Memang peran nya memperkuat industri,” ujarnya.
Dia juga mengingatkan, strategi komunikasi pemerintah harus kuat dalam menyampaikan pesan. Dia mencontohkan, di Prancis saat terjadi demonstrasi menggunakan rompi kuning, pemerintahnya menyampaikan pesan yang jelas sehingga akhirnya turis tidak khawatir untuk datang.
“Sementara di Indonesia bencana tsunami di Selat Sunda bikin orang asing berpikir itu terjadi di Jakarta. Ada strategi komunikasi yang lemah oleh pemerintah,” tambahnya.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) menyatakan akan terus mendukung sektor-sektor yang mendatangkan devisa seperti pariwisata dan ekspor.
Namun BI belum mengungkapkan secara terperinci kebijakan makroprudensial yang disiapkan untuk mendorong pariwisata. “Di makroprundensial, kami terus mengkaji relaksasi untuk instrumen apa, misal nya untuk mendorong pariwisata, ekspor, dan juga UMKM,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo. (Hafid Fuad/ Inda Susanti/Ant)
(nfl)