Industri Kuliner Topang Ekonomi Nasional

Minggu, 06 Januari 2019 - 07:59 WIB
Industri Kuliner Topang Ekonomi Nasional
Industri Kuliner Topang Ekonomi Nasional
A A A
JAKARTA - Pertumbuhan industri makanan dan minuman mulai menjadi andalan sebagai penopang pertumbuhan ekonomi nasional dan manufaktur.

Pada 2019 sektor makanan dan minuman diyakini terus menjadi primadona, terutama pada sektor industri pariwisata yang mengembangkan wisata kuliner. Pada 2018 Kementrian Perindustrian (Kemenperin) menyebut sektor makanan dan minuman berhasil menyumbang produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 6,34%.

Capaian Kemenperin tersebut naik 0,23% dari tahun 2017 menjadi sebesar 6,21%. Sejak tahun lalu industri makanan dan minuman berhasil masuk dalam lima besar penyumbang PDB terbesar bersama industri lain seperti industri kimia, alat angkut, tekstil, dan teknologi.

Kemenperin mencatat sektor makanan dan minuman memiliki nilai investasi pada 2018 senilai Rp56,20 triliun. Pada proyeksi pertumbuhan nonmigas 2019, sektor industri makanan dan minuman diproyeksikan akan tumbuh tinggi sebesar 9,86%.

Adapun di industri kecil dan menengah (IKM), sektor makanan minuman menjadi penyumbang terbesar PDB bila dibandingkan dengan perusahaan besar. Direktur Jenderal IKM Kemenperin Gati Wibawaningsih mengatakan, pada 2017 IKM makanan dan minuman menyumbang 40% PDB sektor IKM secara keseluruhan.

“Tenaga kerja yang diserap mencapai 42,5 persen dari total jumlah pekerja di semua sektor IKM,” tutur Gati kepada KORAN SINDO. Menurutnya, IKM makanan dan minuman berhasil menjadi potensi wisata di Indonesia.

Pihak Kemenperin bahkan ikut fokus dalam pembinaan IKM yang berada dalam 10 destinasi wisata baru yang telah ditetapkan pemerintah beberapa waktu lalu. Ke-10 destinasi baru tersebut adalah Danau Toba, Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Kepulauan Seribu, Taman Wisata Candi Borobudur, Taman Nasional Bromo, Labuan Bajo, Pulau Murotai, Mandalika, dan Taman Wisata Wakatobi.

“Kemenperin menggunakan dana alokasi khusus (DAK) yang dimiliki setiap daerah. Kami mendorong kota, kabupaten untuk meningkatkan potensi kuliner mereka. Sama seperti sektor lain, kami memberikan pelatihan,” ujar Gati.

Dia mengungkapkan, pelatihan yang selalu dilakukan salah satunya mengenai pengemasan produk berupa makanan tradisional yang harus dijaga keasliannya. Pengemasan makanan akan menjadikan produk makanan menarik bagi konsumen sehingga dapat menjadi oleh-oleh khas daerah.

Bahkan wisatawan pun tak sedikit yang mencintai keripik, produk makanan olahan tradisional yang terbuat dari singkong, tempe, pisang, dan sebagainya.

“Setiap daerah pasti punya keripik khas masing-masing. Tidak lekang oleh waktu juga. Generasi milenial sekarang menyebutnya chips dengan beraneka rasa. Chips itu menjadi bahasa kekinian yang tak lain adalah keripik,” ungkapnya.

Sepuluh destinasi wisata yang dicanangkan Kemenpar tahun 2016, lanjut Gati, turut didukung Kemenperin dalam sektor kriya. Berbagai pelatihan dilakukan untuk membuat aneka kriya untuk oleh-oleh. Namun diakui Gati, potensi kuliner masih jauh lebih besar.

“Kuliner itu bisa dimakan di tempat atau dijadikan oleh-oleh. Wisatawan sekarang juga senangnya kalau ke daerah makan kuliner khas daerah tersebut,” tutur Gati.

Dia menyarankan adanya sinergi dari kementerian lain seperti Kementrian Pertanian. Menurutnya Indonesia kaya dengan rempah-rempah dan bumbu yang dapat dimulai untuk memberikan kemudahan bagi para pelaku IKM dalam pengembangan sektor kuliner.

“Memang harus dimulai kerja samanya dari sekarang seperti menanam jahe sehingga hasilnya bisa dirasakan lima tahun mendatang. Dengan hasil bertanam sendiri, pelaku IKM tidak akan mengeluh dengan ketersediaan dan harga komoditas bumbu untuk usaha kuliner mereka,” ungkapnya.

Bisnis kuliner juga menjadi tanggung jawab Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Deputi Riset, Edukasi, dan Pengembangan Bekraf Abdur Rohim Boy Berawi mengungkapkan, subsektor kuliner memberikan kontribusi 41,40% dari total pendapatan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.

Boy mengutip data BPS 2016, peningkatan nilai di sektor industri kreatif mencapai Rp 382 triliun. “Kontribusi ini didapat dari 5,5 juta unit usaha kuliner atau sebesar 67,7% dari total unit usaha ekonomi kreatif,” tandasnya.

Pada 2017 kontribusi kuliner diprediksi akan terus mengalami peningkatan baik dari sisi nominal maupun dari pertumbuhannya. “Kontribusi kuliner pada 2017 diperkirakan naik sebesar Rp 410 triliun dengan kontribusi terhadap PDB ekonomi kreatif naik sebesar 41,5%.

Jumlah tenaga kerja juga diprediksi akan meningkat menjadi 8,6 juta orang dari yang sebelumnya hanya 7,9 juta orang,” paparnya. Bekraf terus mendukung perkembangan kuliner Indonesia melalui perbaikan ekosistem industri kuliner.

Hal itu dimulai dari peningkatan SDM pelaku industri kuliner, peningkatan kualitas dan mutu produk kuliner, akses permodalan, perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) hingga pemasaran produk kuliner Indonesia baik dalam maupun luar negeri.

“Kami juga punya program unggulan Bekraf seperti Food Startup Indonesia (FSI), yaitu platform yang menghubungkan perusahaan rintisan (start up ) kuliner Indonesia dengan ekosistem kuliner sekaligus mempertemukan mereka dengan berbagai sumber permodalan,” papar Boy.

Di dalam program ini, lanjut Boy, para pelaku kuliner akan mendapatkan dukungan mulai dari capacity building, mentoring, pitching kepada investor hingga pameran dari dalam maupun luar negeri.

Pelatihan seperti yang dilakukan Kemenperin juga dilakukan untuk mengajarkan pengemasan produk, branding, dan penyelenggaraan pameran produk kuliner seperti event Kreatifood.

Bekraf juga melihat masih banyak yang perlu diperbaiki dan dikelola secara serius. Salah satunya akses perizinan usaha melalui satu pintu sehingga lebih efektif. Diharapkan pebisnis kuliner baru mendapatkan panduan dari pemerintah mengenai informasi perizinan hingga pendampingan hukum dalam proses pendirian usaha.

Ekonomi kreatif dan pariwisata memiliki keterkaitan yang sangat erat. Menurut Boy, perbaikan ekosistem sektor ekonomi kreatif akan meningkatkan nilai tambah untuk sektor pariwisata di suatu daerah.

Ada banyak daerah yang sudah diintervensi Bekraf, yang selanjutnya dijadikan daerah unggulan wisata oleh pemerintah setempat seperti Pesawaran Lampung dan Singkawang Banjarmasin. Boy mengungkapkan, daya tarik tempat wisata 20-30 tahun lalu masih seputar alam dan budayanya.

Namun dalam dekade terakhir beralih ke wisata untuk mencicipi kuliner seiring dengan banyaknya program televisi yang mengulas banyak lokasi wisata kuliner dari berbagai daerah. Promosi tersebut membuat masyarakat penasaran dengan ragam kuliner khas daerah.

Penentuan tujuan wisata pun kini dilihat dari makanan khas yang terkenal dari daerah tersebut sekaligus dengan cerita di dalamnya. Misalnya yang dilakukan Arie Parikesit. Dia sejak 2011 membuat tur wisata kuliner dengan nama Kelana Rasa.

Diakui Arie setiap tahun minat tur wisatanya ini selalu mengalami peningkatan. Dalam satu kali kunjungan tur wisata, Arie bisa membawa 20-40 wisatawan. Menurut Arie, tren wisata kuliner telah bergeser bukan hanya mengincar makanan asli dari daerah tertentu, tetapi juga makan di rumah warga setempat.

“Makanannya pun yang biasa hanya keluar di momen tertentu. Karena rombongan Kelana Rasa mau datang, jadi saya request untuk disajikan. Seperti pestanya orang Minang disebut baralek atau kendurinya orang Palembang bukan cuma makanannya saja, tetapi filosofinya dari acara tersebut,” urai Arie.

Dalam acara tersebut, peserta Kelana Rasa dapat langsung berinteraksi dengan warga sekitar serta mendapatkan pemahaman baru. Arie menambahkan, biasanya ada tata cara makan khusus dalam acara tersebut. Tren wisata kuliner seperti ini diakui Arie semakin diminati dan pelaku usaha ini belum banyak.

Siapa pun dapat mengambil peluang potensi besar ini. Arie mengingatkan, pengusaha tur kuliner ini harus punya pemahaman mengenai gastronomi. Dia mengungkapkan, wisata kuliner bukan sekadar tur yang hanya makanmakan, tetapi harus ada pengetahuan baru yang dibawa peserta.

Tur wisata kuliner ini juga diharapkan dapat membuat peserta semakin cinta dengan kuliner Nusantara. Pengalaman seperti inilah yang dicari wisatawan masa kini. “Selama ini kita tahu sate padang, padahal sebenarnya sate dari Minang itu ada lima jenis. Rendang itu bukan nama masakan, itu adalah proses. Ada 15 bahan yang bisa jadi rendang,” ungkap Arie.Kedepannya Arie akan mengumpulkan data siapa saja yang siap lingkungannya menjadi tempat wisata kuliner. Kelana Rasa akan mengumpulkan data dan dibuat aplikasi sehingga memudahkan siapa pun yang ingin berkunjung.
“Tujuannya tentu memberdayakan masyarakat setempat. Meskipun di daerah mereka dapat mengelola warisan berupa bahan makanan, cara memasak, bahkan cerita filosofi sebuah acara atau makanan yang nantinya dijadikan sumber penghasilan mereka,” tambahnya. (Ananda Nararya)
(nfl)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4322 seconds (0.1#10.140)