Mitigasi Gempa Jadi Acuan Bangun Infrastruktur
A
A
A
JAKARTA - Kawasan Batangtoru di Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, merupakan kawasan zona gempa. Hal ini membuat pembangunan infrastruktur di kawasan itu tetap mengacu mitigasi risiko gempa. Geolog Institut Teknologi Bandung (ITB), Abdullah Sanny, menyatakan zona gempa di kawasan Batangtoru bukan berarti tidak boleh ada pembangunan infrastruktur. Menurut Abdullah, pembangunan bisa berjalan sepanjang telah memiliki kajian penelitian komprehensif.
Hasil penelitian tersebut menjadi pedoman menentukan model infrastruktur yang dibangun. Langkah ini bertujuan memitigasi risiko kegempaan. "Itu bisa direkayasa. Artinya perlu diketahui bahwa vibrasi yang akan ditimbulkan oleh gempa terhadap bangunan dengan mendesain struktur yang sesuai," kata Abdullah dalam keterangan resmi, Rabu (9/1/2019).
Terkait kondisi Batangtoru yang berada di zona gempa, dan di kawasan itu akan dibangun Pembangki Listrik Tenaga Air (PLTA), Lismawaty dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumut, menyatakan lokasi pembangunan PLTA Batangtoru tidak ada masalah. Menurut pengajar Program Studi Teknik Geologi Institut Teknologi Medan itu, sepanjang memenuhi semua syarat kajian yang telah dilakukan, maka proyek Batangtoru dinilai sebagai solusi.
"Saya sangat optimistis berbagai kajian soal kegempaan yang juga sudah dilakukan akan membuat PLTA Batangtoru menjadi solusi dan justru tidak menjadi masalah," katanya dalam diskusi "Dinamika Tektonik dan Potensi Bahaya Gempa Segmen Toru, Khususnya PLTA Batangtoru" di Medan belum lama ini.
Dalam kesempatan sama, tenaga ahli PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), Didiek Djawadi, mengatakan pembangunan penampungan air untuk proyek pembangkit listrik sepenuhnya dilakukan dengan memperhatikan berbagai kajian dan penelitian akademik. Kajian-kajian tersebut melingkupi kajian terkait potensi gempa dari berbagai sumber yang dimungkinkan seperti Subduction Zone, Shallow Crustal & Background serta Benioff Zone.
"Semuanya diperhitungkan berdasarkan potensi dari semua jenis sumber gempa yang dimungkinkan," katanya.
Berdasarkan kajian ini, pembangunan penampungan air tersebut dipastikan dilakukan dengan mempedomani berbagai prosedur yang menjadi standar nasional hingga standar internasional sebagaimana yang tercantum dalam Bulletin ICOLD (International Commissionon Large Dams), US Army Corpsof Engineer, dan standar lainya.
"Itu yang harus kita analisis, bagaimana membuat suatu bangunan yang tidak runtuh oleh gempa. Sehingga baik dari struktur, beton, jenis tipenya itu semua harus terukur sehingga dia tidak runtuh," ujarnya.
Masalah potensi gempa ini termasuk menjadi perhatian pegiat lingkungan terkait keberadaan perusahaan tambang di Batangtoru. Penampungan limbah tambang atau tailing menjadi salah satu persoalan yang harus menjadi perhatian pemerintah pada perusahaan pertambangan yang beroperasi pada daerah sesar gempa seperti di kawasan Batangtoru, Tapanuli Selatan.
Direktur Jaringan Monitor Tambang (JMT), Ali Adam, menyatakan tak tertutup kemungkinan penampungan limbah yang biasanya mengandung bahan-bahan kimia berbahaya akan mengalami kerusakan saat terjadinya gempa. "Secara teknis kami tentu tidak pernah mengukur kekuatan, tentu itu menjadi bagian yang harus diawasi pemerintah," tukasnya.
Meskipun pihak perusahaan tambang mengklaim penampungan limbahnya aman, publik tetap mengkhawatirkan risiko yang terjadi jika gempa di sesar. Pemerintah dan pihak terkait harus belajar dari bencana kerusakan reaktor nuklir Fukushima, Jepang, yang sebelumnya digadang-gadang memiliki standar keselamatan tinggi, ternyata menimbulkan dampak pencemaran lingkungan fatal akibat kebocoran limbah setelah gempa terjadi.
Risiko serupa pun bisa terjadi terhadap penampungan limbah pertambangan emas di kawasan Batangtoru, yang saat ini saja sudah menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan Sungai Batangtoru.
Ali menyebutkan, pihaknya beberapa waktu lalu pernah melakukan investigasi terkait keberadaan kolam penampungan limbah tambang di Batangtoru. Hasilnya mereka memastikan perusahaan tersebut memiliki kawasan penampungan untuk memproses limbah tambang sebelum dibuang ke Sungai Batangtoru.
Hasil penelitian tersebut menjadi pedoman menentukan model infrastruktur yang dibangun. Langkah ini bertujuan memitigasi risiko kegempaan. "Itu bisa direkayasa. Artinya perlu diketahui bahwa vibrasi yang akan ditimbulkan oleh gempa terhadap bangunan dengan mendesain struktur yang sesuai," kata Abdullah dalam keterangan resmi, Rabu (9/1/2019).
Terkait kondisi Batangtoru yang berada di zona gempa, dan di kawasan itu akan dibangun Pembangki Listrik Tenaga Air (PLTA), Lismawaty dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumut, menyatakan lokasi pembangunan PLTA Batangtoru tidak ada masalah. Menurut pengajar Program Studi Teknik Geologi Institut Teknologi Medan itu, sepanjang memenuhi semua syarat kajian yang telah dilakukan, maka proyek Batangtoru dinilai sebagai solusi.
"Saya sangat optimistis berbagai kajian soal kegempaan yang juga sudah dilakukan akan membuat PLTA Batangtoru menjadi solusi dan justru tidak menjadi masalah," katanya dalam diskusi "Dinamika Tektonik dan Potensi Bahaya Gempa Segmen Toru, Khususnya PLTA Batangtoru" di Medan belum lama ini.
Dalam kesempatan sama, tenaga ahli PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), Didiek Djawadi, mengatakan pembangunan penampungan air untuk proyek pembangkit listrik sepenuhnya dilakukan dengan memperhatikan berbagai kajian dan penelitian akademik. Kajian-kajian tersebut melingkupi kajian terkait potensi gempa dari berbagai sumber yang dimungkinkan seperti Subduction Zone, Shallow Crustal & Background serta Benioff Zone.
"Semuanya diperhitungkan berdasarkan potensi dari semua jenis sumber gempa yang dimungkinkan," katanya.
Berdasarkan kajian ini, pembangunan penampungan air tersebut dipastikan dilakukan dengan mempedomani berbagai prosedur yang menjadi standar nasional hingga standar internasional sebagaimana yang tercantum dalam Bulletin ICOLD (International Commissionon Large Dams), US Army Corpsof Engineer, dan standar lainya.
"Itu yang harus kita analisis, bagaimana membuat suatu bangunan yang tidak runtuh oleh gempa. Sehingga baik dari struktur, beton, jenis tipenya itu semua harus terukur sehingga dia tidak runtuh," ujarnya.
Masalah potensi gempa ini termasuk menjadi perhatian pegiat lingkungan terkait keberadaan perusahaan tambang di Batangtoru. Penampungan limbah tambang atau tailing menjadi salah satu persoalan yang harus menjadi perhatian pemerintah pada perusahaan pertambangan yang beroperasi pada daerah sesar gempa seperti di kawasan Batangtoru, Tapanuli Selatan.
Direktur Jaringan Monitor Tambang (JMT), Ali Adam, menyatakan tak tertutup kemungkinan penampungan limbah yang biasanya mengandung bahan-bahan kimia berbahaya akan mengalami kerusakan saat terjadinya gempa. "Secara teknis kami tentu tidak pernah mengukur kekuatan, tentu itu menjadi bagian yang harus diawasi pemerintah," tukasnya.
Meskipun pihak perusahaan tambang mengklaim penampungan limbahnya aman, publik tetap mengkhawatirkan risiko yang terjadi jika gempa di sesar. Pemerintah dan pihak terkait harus belajar dari bencana kerusakan reaktor nuklir Fukushima, Jepang, yang sebelumnya digadang-gadang memiliki standar keselamatan tinggi, ternyata menimbulkan dampak pencemaran lingkungan fatal akibat kebocoran limbah setelah gempa terjadi.
Risiko serupa pun bisa terjadi terhadap penampungan limbah pertambangan emas di kawasan Batangtoru, yang saat ini saja sudah menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan Sungai Batangtoru.
Ali menyebutkan, pihaknya beberapa waktu lalu pernah melakukan investigasi terkait keberadaan kolam penampungan limbah tambang di Batangtoru. Hasilnya mereka memastikan perusahaan tersebut memiliki kawasan penampungan untuk memproses limbah tambang sebelum dibuang ke Sungai Batangtoru.
(ven)