Pangsa Pasar Game di Indonesia Makin Besar, Harus Direbut
A
A
A
JAKARTA - Bermain game bukan sekadar hobi. Di balik itu tersimpan potensi ekonomi yang sangat menggiurkan. Pada 2018 lalu secara global pasar game mencapai USD137,9 miliar, separuhnya berasal dari game mobile. Angka itu nyaris menyamai produk domestik bruto (PDB) Kosta Rika.
Kue yang sangat besar tersebut sudah pasti sangat menggiurkan kalangan pengembang game dan pencipta konten. Genre game mobile pun berkembang, mulai dari arcade hingga olahraga. Peluang ini tentu harus ditangkap industri game lokal. Jangan sampai pangsa pasar game hanya dinikmati pengembang game mobile global.
Tantangan ini perlu direspons karena potensi pasar game mobile di Indonesia sangat besar. Dengan meningkatnya pengguna ponsel menjadi 80% dan gencarnya penetrasi internet ke berbagai daerah, akses terhadap game mobile menjadi kian mudah.
Pangsa pasar game di Tanah Air akan semakin besar karena jumlah penduduk Indonesia juga sangat besar, di atas 250 juta jiwa. PocketGamer.biz menyatakan Indonesia merupakan pengunduh kedua terbanyak game mobile di belakang China.
Namun upaya tersebut tidak mudah. Pelaku industri game lokal-seperti Founder Digital Happiness Rachmad Imron yang dikenal lewat game horor DreadOut dan CEO PT Lyto Datarindo Fortuna (Lyto) Andi Suryanto-mengakui berkompetisi langsung dengan industri game yang lebih maju puluhan tahun membuat pemain lokal berat untuk mengembangkan bisnisnya.
Sejauh ini perputaran uang di industri game Tanah Air masih menguntungkan pemain asing, terutama dari China dan Korea Selatan.
Rachmad Imron menuturkan, pertumbuhan pengembang lokal pada 2019 tidak sebanyak tiga tahun lalu karena industri game sudah kian matang. “Sekarang bikin game sudah lewat euforianya. Sudah sadar, apalagi buat menghasilkan uang dari game itu susah,” ujar Rachmad saat ditemui beberapa waktu lalu.
Dia menandaskan, dalam industri kreatif seperti game, tidak ada rumus pasti untuk meraih keuntungan besar. Imron mencontohkan kisaran pendapatan DreadOut termasuk menengah ke bawah di segmen indie. Meski begitu ada yang kualitasnya lebih jelek, tapi bisa viral dan ada faktor X yang sulit ditebak.
"Yang bisa dipersiapkan adalah secepatnya melakukan sosialisasi game lewat medsos atau strategi marketing lainnya. Kami dulu hanya mengandalkan medsos tanpa bujet marketing. Sekarang banyak sekali game sehingga cukup sulit untuk bisa dikenal publik,” terangnya.
Sebagai informasi, game DreadOut tersedia bagi pengguna Microsoft Windows, OS X, dan Linux. Realisasi penjualannya tercatat sekitar USD 1 juta dalam dua tahun. Imron menargetkan akan mengembangkan game yang bernuansa horor itu menjadi permainan konsol Nintendo Switch maupun Playstation 4. "Kalau game smartphone, kami memang tidak fokus ke sana sekarang. Ini karena SDM terbatas, kami belum bertemu dengan investor besar," ucapnya.
Dia juga melakukan strategi ekspansi game DreadOut menjadi produk film yang pertama kali di Indonesia. Tujuannya demi meningkatkan edukasi masyarakat terhadap produk game lokal. Menurutnya justru itu kelebihan industri kreatif yang bisa bersinergi lintas subsektor seperti film, novel, atau merchandise.
Andi Suryanto yang sudah berkecimpung di industri game nasional sejak 2003 mengakui tidak mudah menggarap bisnis game karena high risk high profit. Karena itu pihaknya kini bergeser ke industri film karena secara bisnis risikonya jauh lebih kecil daripada game.
Dia menuturkan, tak banyak yang tahu industri film menghasilkan keuntungan bagus itu di kisaran 10–15%, sedangkan produk game hanya kurang dari 5%. Hal ini karena mayoritas produk game di Indonesia masih dikuasai produk asing.
“Kita melihat di Hollywood film dan game sangat menyatu. Orang akan mengikuti produk IP (intellectual property/IP) mulai dari filmnya lalu biasanya berlanjut ke produk game. Ini yang sangat penting dan harusnya terjadi di sini,” ujar Andi di Jakarta.
Deputi Akses Permodalan Bekraf Fadjar Hutomo menandaskan, aset pelaku ekonomi kreatif saat ini adalah kekayaan intelektual (intellectual property/IP) yang merupakan konten. Namun pelaku ekraf juga harus melakukan manajemen IP atau jangan hanya mendaftarkannya saja lalu tidak dikembangkan.
“Kalau dikembangkan dengan lintas IP seperti game ke film atau sebaliknya, itu bisa meningkatkan sumber pendapatan. Bahkan investor juga akan lebih tertarik karena melihat kesuksesan suatu game lalu dijadikan film layar lebar,” ujar Fadjar.
Dia menuturkan, saat ini aset industri kreatif merupakan konten melalui karakter produknya. Kebutuhan konten dari berbagai platform media kian beragam. Misalnya dalam platform film ada berbagai platform selain bioskop, yaitu jaringan OTT seperti Netflix, Iflix, atau HBO Original, yang semuanya butuh konten berbeda.
“Ke depannya kita harus melihat peluang ini sebagai entrepreneur. Artinya pembuat konten jangan hanya bikin yang dia suka tapi riset juga selera pasar. Juga dipikirkan kemungkinan monetisasinya,” ujar Fadjar.
Berdasar riset yang dilakukan AppsFlyer, game paling banyak digemari pasar Indonesia adalah game midcore dan strategi. Genre itu meliputi petualangan, simulasi, laga, permainan peran, arcade, dan balap serta berhasil mendominasi iklan di Indonesia dengan persentase mencapai 62%.
“Namun tantangannya ialah para developer harus mampu meningkatkan jumlah pendapatan karena angkanya masih relatif rendah,” kata Presiden dan Direktur Pelaksana AppsFlyer Ronen Mense. Rata-rata transaksi game di Indonesia ialah sebesar USD0,25 untuk pengguna Android dan USD0,43 untuk pengguna iOS.
Angka retensi di Indonesia juga masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain seperti Jepang, Jerman, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan China. Kendati demikian Ronen menyatakan banyak kreator konten game Indonesia yang masih berpeluang meraih kesuksesan. Faktanya tak sedikit game Indonesia yang masuk top unduhan.
Pada 2017, jumlah gamer Indonesia mencapai 43,7 juta dengan total pengeluaran USD880 juta. Hal itu membuat Indonesia sebagai pasar game ke-16 terbesar di dunia berdasarkan revenue. Sebanyak 44 gamer Indonesia juga merupakan perempuan berusia 10–35 tahun yang bermain sedikitnya satu kali seminggu.
Pasar Terus Tumbuh
Newzoo menyatakan sebanyak 2,3 miliar gamer di dunia menghabiskan USD137,9 miliar pada tahun lalu, naik sebesar 13,3% dari setahun sebelumnya atau sebesar USD16,2 miliar. “Game mobile akan terus menjadi segmen terbesar setelah mengalami pertumbuhan dua digit selama 10 tahun terakhir,” ujar Newzoo.
Revenue dari game mobil telah tumbuh sebesar 25,5% dan mencapai USD70,3 miliar pada 2018. Sebesar 80% atau USD56,4 miliar berasal dari smartphone, sisanya tablet. Game console telah menjadi segmen kedua terbesar dengan pendapatan USD34,6 miliar, sedangkan game komputer sebesar USD32,9 miliar.
“Kami memperkirakan gamer akan menghabiskan USD180,1 miliar pada 2021,” ungkap Newzoo. “Hal itu berdasarkan pertimbangan revenue pasar game global sebesar USD70,6 miliar pada 2012 sehingga 10 tahun CAGR (Angka Pertumbuhan Tahunan Gabungan) untuk periode 2012-2001 sebesar 11%,” tambah Newzoo.
Selama satu dekade ke depan, game mobile akan tumbuh dari segmen terkecil pada 2012 menjadi industri 100 miliar dollar AS. Uniknya, kesuksesan itu tidak “memutilasi” revenue pasar game console ataupun komputer. Ketiga segmen itu akan tumbuh bersamaan. Hanya saja, game mobile tumbuh lebih besar, yakni 59%.
Game console dan komputer juga menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun lalu game console menghasilkan USD34,6 miliar dan menangkap 25% di pasar game. Adapun game PC menghasilkan USD32,9 dan menjadi segmen gaming paling kecil dengan pangsa pasar sebesar 24%.
“Rata-rata harga pay-to-play game komputer memang menurun belakangan ini sehingga memberikan tekanan terhadap pertumbuhan revenue. Selain itu banyak gamer komputer yang pindah menuju game mobile,” ungkap Newzoo. “Kendati begitu, industri game komputer tetap akan tumbuh karena beberapa alasan,” imbuhnya.
Newzoo menyatakan pengembang dan publisher game, baik komputer ataupun console, perlu melakukan improvisasi transaksi di dalam game, mulai dari penyesuaian harga hingga kemudahan pembayaran. Tidak seperti game mobile yang bisa menggunakan pulsa, game komputer biasanya menggunakan kartu kredit.
Dengan berlanjutnya kesuksesan perusahaan game mobile asal Jepang, pasar game di Negeri Sakura naik 15,1% pada 2018. Sejauh ini pasar game di Jepang masih menjadi ketiga terbesar di dunia setelah China dan AS. Selain itu gamer Jepang paling banyak menghabiskan uang di game mobile atau 2,5 kali lipat dari Eropa.
Kue yang sangat besar tersebut sudah pasti sangat menggiurkan kalangan pengembang game dan pencipta konten. Genre game mobile pun berkembang, mulai dari arcade hingga olahraga. Peluang ini tentu harus ditangkap industri game lokal. Jangan sampai pangsa pasar game hanya dinikmati pengembang game mobile global.
Tantangan ini perlu direspons karena potensi pasar game mobile di Indonesia sangat besar. Dengan meningkatnya pengguna ponsel menjadi 80% dan gencarnya penetrasi internet ke berbagai daerah, akses terhadap game mobile menjadi kian mudah.
Pangsa pasar game di Tanah Air akan semakin besar karena jumlah penduduk Indonesia juga sangat besar, di atas 250 juta jiwa. PocketGamer.biz menyatakan Indonesia merupakan pengunduh kedua terbanyak game mobile di belakang China.
Namun upaya tersebut tidak mudah. Pelaku industri game lokal-seperti Founder Digital Happiness Rachmad Imron yang dikenal lewat game horor DreadOut dan CEO PT Lyto Datarindo Fortuna (Lyto) Andi Suryanto-mengakui berkompetisi langsung dengan industri game yang lebih maju puluhan tahun membuat pemain lokal berat untuk mengembangkan bisnisnya.
Sejauh ini perputaran uang di industri game Tanah Air masih menguntungkan pemain asing, terutama dari China dan Korea Selatan.
Rachmad Imron menuturkan, pertumbuhan pengembang lokal pada 2019 tidak sebanyak tiga tahun lalu karena industri game sudah kian matang. “Sekarang bikin game sudah lewat euforianya. Sudah sadar, apalagi buat menghasilkan uang dari game itu susah,” ujar Rachmad saat ditemui beberapa waktu lalu.
Dia menandaskan, dalam industri kreatif seperti game, tidak ada rumus pasti untuk meraih keuntungan besar. Imron mencontohkan kisaran pendapatan DreadOut termasuk menengah ke bawah di segmen indie. Meski begitu ada yang kualitasnya lebih jelek, tapi bisa viral dan ada faktor X yang sulit ditebak.
"Yang bisa dipersiapkan adalah secepatnya melakukan sosialisasi game lewat medsos atau strategi marketing lainnya. Kami dulu hanya mengandalkan medsos tanpa bujet marketing. Sekarang banyak sekali game sehingga cukup sulit untuk bisa dikenal publik,” terangnya.
Sebagai informasi, game DreadOut tersedia bagi pengguna Microsoft Windows, OS X, dan Linux. Realisasi penjualannya tercatat sekitar USD 1 juta dalam dua tahun. Imron menargetkan akan mengembangkan game yang bernuansa horor itu menjadi permainan konsol Nintendo Switch maupun Playstation 4. "Kalau game smartphone, kami memang tidak fokus ke sana sekarang. Ini karena SDM terbatas, kami belum bertemu dengan investor besar," ucapnya.
Dia juga melakukan strategi ekspansi game DreadOut menjadi produk film yang pertama kali di Indonesia. Tujuannya demi meningkatkan edukasi masyarakat terhadap produk game lokal. Menurutnya justru itu kelebihan industri kreatif yang bisa bersinergi lintas subsektor seperti film, novel, atau merchandise.
Andi Suryanto yang sudah berkecimpung di industri game nasional sejak 2003 mengakui tidak mudah menggarap bisnis game karena high risk high profit. Karena itu pihaknya kini bergeser ke industri film karena secara bisnis risikonya jauh lebih kecil daripada game.
Dia menuturkan, tak banyak yang tahu industri film menghasilkan keuntungan bagus itu di kisaran 10–15%, sedangkan produk game hanya kurang dari 5%. Hal ini karena mayoritas produk game di Indonesia masih dikuasai produk asing.
“Kita melihat di Hollywood film dan game sangat menyatu. Orang akan mengikuti produk IP (intellectual property/IP) mulai dari filmnya lalu biasanya berlanjut ke produk game. Ini yang sangat penting dan harusnya terjadi di sini,” ujar Andi di Jakarta.
Deputi Akses Permodalan Bekraf Fadjar Hutomo menandaskan, aset pelaku ekonomi kreatif saat ini adalah kekayaan intelektual (intellectual property/IP) yang merupakan konten. Namun pelaku ekraf juga harus melakukan manajemen IP atau jangan hanya mendaftarkannya saja lalu tidak dikembangkan.
“Kalau dikembangkan dengan lintas IP seperti game ke film atau sebaliknya, itu bisa meningkatkan sumber pendapatan. Bahkan investor juga akan lebih tertarik karena melihat kesuksesan suatu game lalu dijadikan film layar lebar,” ujar Fadjar.
Dia menuturkan, saat ini aset industri kreatif merupakan konten melalui karakter produknya. Kebutuhan konten dari berbagai platform media kian beragam. Misalnya dalam platform film ada berbagai platform selain bioskop, yaitu jaringan OTT seperti Netflix, Iflix, atau HBO Original, yang semuanya butuh konten berbeda.
“Ke depannya kita harus melihat peluang ini sebagai entrepreneur. Artinya pembuat konten jangan hanya bikin yang dia suka tapi riset juga selera pasar. Juga dipikirkan kemungkinan monetisasinya,” ujar Fadjar.
Berdasar riset yang dilakukan AppsFlyer, game paling banyak digemari pasar Indonesia adalah game midcore dan strategi. Genre itu meliputi petualangan, simulasi, laga, permainan peran, arcade, dan balap serta berhasil mendominasi iklan di Indonesia dengan persentase mencapai 62%.
“Namun tantangannya ialah para developer harus mampu meningkatkan jumlah pendapatan karena angkanya masih relatif rendah,” kata Presiden dan Direktur Pelaksana AppsFlyer Ronen Mense. Rata-rata transaksi game di Indonesia ialah sebesar USD0,25 untuk pengguna Android dan USD0,43 untuk pengguna iOS.
Angka retensi di Indonesia juga masih rendah bila dibandingkan dengan negara lain seperti Jepang, Jerman, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan China. Kendati demikian Ronen menyatakan banyak kreator konten game Indonesia yang masih berpeluang meraih kesuksesan. Faktanya tak sedikit game Indonesia yang masuk top unduhan.
Pada 2017, jumlah gamer Indonesia mencapai 43,7 juta dengan total pengeluaran USD880 juta. Hal itu membuat Indonesia sebagai pasar game ke-16 terbesar di dunia berdasarkan revenue. Sebanyak 44 gamer Indonesia juga merupakan perempuan berusia 10–35 tahun yang bermain sedikitnya satu kali seminggu.
Pasar Terus Tumbuh
Newzoo menyatakan sebanyak 2,3 miliar gamer di dunia menghabiskan USD137,9 miliar pada tahun lalu, naik sebesar 13,3% dari setahun sebelumnya atau sebesar USD16,2 miliar. “Game mobile akan terus menjadi segmen terbesar setelah mengalami pertumbuhan dua digit selama 10 tahun terakhir,” ujar Newzoo.
Revenue dari game mobil telah tumbuh sebesar 25,5% dan mencapai USD70,3 miliar pada 2018. Sebesar 80% atau USD56,4 miliar berasal dari smartphone, sisanya tablet. Game console telah menjadi segmen kedua terbesar dengan pendapatan USD34,6 miliar, sedangkan game komputer sebesar USD32,9 miliar.
“Kami memperkirakan gamer akan menghabiskan USD180,1 miliar pada 2021,” ungkap Newzoo. “Hal itu berdasarkan pertimbangan revenue pasar game global sebesar USD70,6 miliar pada 2012 sehingga 10 tahun CAGR (Angka Pertumbuhan Tahunan Gabungan) untuk periode 2012-2001 sebesar 11%,” tambah Newzoo.
Selama satu dekade ke depan, game mobile akan tumbuh dari segmen terkecil pada 2012 menjadi industri 100 miliar dollar AS. Uniknya, kesuksesan itu tidak “memutilasi” revenue pasar game console ataupun komputer. Ketiga segmen itu akan tumbuh bersamaan. Hanya saja, game mobile tumbuh lebih besar, yakni 59%.
Game console dan komputer juga menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun lalu game console menghasilkan USD34,6 miliar dan menangkap 25% di pasar game. Adapun game PC menghasilkan USD32,9 dan menjadi segmen gaming paling kecil dengan pangsa pasar sebesar 24%.
“Rata-rata harga pay-to-play game komputer memang menurun belakangan ini sehingga memberikan tekanan terhadap pertumbuhan revenue. Selain itu banyak gamer komputer yang pindah menuju game mobile,” ungkap Newzoo. “Kendati begitu, industri game komputer tetap akan tumbuh karena beberapa alasan,” imbuhnya.
Newzoo menyatakan pengembang dan publisher game, baik komputer ataupun console, perlu melakukan improvisasi transaksi di dalam game, mulai dari penyesuaian harga hingga kemudahan pembayaran. Tidak seperti game mobile yang bisa menggunakan pulsa, game komputer biasanya menggunakan kartu kredit.
Dengan berlanjutnya kesuksesan perusahaan game mobile asal Jepang, pasar game di Negeri Sakura naik 15,1% pada 2018. Sejauh ini pasar game di Jepang masih menjadi ketiga terbesar di dunia setelah China dan AS. Selain itu gamer Jepang paling banyak menghabiskan uang di game mobile atau 2,5 kali lipat dari Eropa.
(don)