E-commerce Kini Kena Pajak, Berikutnya Giliran Selebgram dan Youtuber
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 tahun 2018 tentang Pajak untuk E-commerce. Terbitnya beleid ini diapresiasi, karena sudah cukup lama ditunggu untuk memberi kepastian bagi para pelaku usaha dan fiskus di lapangan.
Direktur Eksekutif Center Indonesia for Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, aturan pajak e-commerce ini secara substansi cukup moderat. Karena lebih fokus pada pengaturan hak dan kewajiban yang bersifat umum, dan menekankan registrasi sebagai wajib pajak bagi para pedagang.
"Tidak ada jenis pajak baru, sehingga kewajiban yang ada terkait PPh, PPh Final PP 23, dan PPN (bagi yang memenuhi syarat)," katanya dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (14/1/2019).
Menurutnya, kunci keberhasilan PMK ini salah satunya ada pada pemilik platform, yang akan menjadi tulang punggung pemastian pedagang memiliki NPWP sebelum mendaftar di sebuah platform. "Untuk itu sosialisasi, koordinasi, dan pengawasan harus betul-betul bagus," imbuh dia.
Yustinus melanjutkan, pasal 3 ayat 3 dan 5 PMK, mewajibkan pemilik platform menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) meski termasuk pengusaha kecil. Hal ini sebenarnya tidak sesuai dengan ketentuan di UU PPN, meski dapat dipahami pewajiban ini dimaksudkan untuk memastikan capturing potensi pajak terlaksana dengan lebih baik.
"Maka perlu sosialisasi dan jalan tengah, termasuk konsekuensi penalti yang akan ditanggung pemilik platform apabila lalai melaksanakan kewajiban," nilainya.
Selain itu, kewajiban pemilik platform menyerahkan laporan rekapitulasi transaksi pedagang juga akan menambah beban administrasi. Maka jika biaya administrasi tinggi, sebaiknya ada kompensasi atau fasilitas yang memudahkan pelaporan tersebut.
Masih menurut Yustinus, pekerjaan rumah berikutnya adalah pengaturan pengguna digital seperti selebgram atau youtubers yang sifatnya self-entrepreneurship dan kewajibannya dilaksanakan secara self assessment. Karena pemilik platform belum dapat ditetapkan sebagai subyek pajak dalam negeri.
"Sosialisasi dan edukasi harus dioptimalkan sejak sekarang sampai April, agar diperoleh pemahaman yang baik, tidak menimbulkan gejolak, tidak kontradiktif karena distorsi informasi. Sekaligus penyiapan perangkat administrasi untuk registrasi dan pelaporan," tandasnya.
Direktur Eksekutif Center Indonesia for Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, aturan pajak e-commerce ini secara substansi cukup moderat. Karena lebih fokus pada pengaturan hak dan kewajiban yang bersifat umum, dan menekankan registrasi sebagai wajib pajak bagi para pedagang.
"Tidak ada jenis pajak baru, sehingga kewajiban yang ada terkait PPh, PPh Final PP 23, dan PPN (bagi yang memenuhi syarat)," katanya dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (14/1/2019).
Menurutnya, kunci keberhasilan PMK ini salah satunya ada pada pemilik platform, yang akan menjadi tulang punggung pemastian pedagang memiliki NPWP sebelum mendaftar di sebuah platform. "Untuk itu sosialisasi, koordinasi, dan pengawasan harus betul-betul bagus," imbuh dia.
Yustinus melanjutkan, pasal 3 ayat 3 dan 5 PMK, mewajibkan pemilik platform menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) meski termasuk pengusaha kecil. Hal ini sebenarnya tidak sesuai dengan ketentuan di UU PPN, meski dapat dipahami pewajiban ini dimaksudkan untuk memastikan capturing potensi pajak terlaksana dengan lebih baik.
"Maka perlu sosialisasi dan jalan tengah, termasuk konsekuensi penalti yang akan ditanggung pemilik platform apabila lalai melaksanakan kewajiban," nilainya.
Selain itu, kewajiban pemilik platform menyerahkan laporan rekapitulasi transaksi pedagang juga akan menambah beban administrasi. Maka jika biaya administrasi tinggi, sebaiknya ada kompensasi atau fasilitas yang memudahkan pelaporan tersebut.
Masih menurut Yustinus, pekerjaan rumah berikutnya adalah pengaturan pengguna digital seperti selebgram atau youtubers yang sifatnya self-entrepreneurship dan kewajibannya dilaksanakan secara self assessment. Karena pemilik platform belum dapat ditetapkan sebagai subyek pajak dalam negeri.
"Sosialisasi dan edukasi harus dioptimalkan sejak sekarang sampai April, agar diperoleh pemahaman yang baik, tidak menimbulkan gejolak, tidak kontradiktif karena distorsi informasi. Sekaligus penyiapan perangkat administrasi untuk registrasi dan pelaporan," tandasnya.
(akr)