Kunjungan Turis Tumbuh Melampaui Ekspektasi
A
A
A
MADRID - Kunjungan turis internasional mengalami pertumbuhan 6% atau total menjadi sebanyak 1,4 miliar pada 2018. Laporan itu berdasarkan Barometer Pariwisata Dunia UNWTO yang sembilan tahun sebelumnya mengeluarkan prediksi angka tersebut tidak akan tercapai sampai 2020.
Angka pertumbuhan tersebut juga berada di luar prediksi ekonomi global yang diramalkan hanya akan mencapai 3,7% pada 2018.
Menurut UNWTO, lembaga Badan Pariwisata Dunia yang merupakan bagian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pertumbuhan ini banyak terjadi di Timur Tengah, yakni sebesar 10%, Afrika (7%), dan Asia serta Eropa (6%). Adapun, kunjungan turis ke Benua Amerika masih berada di bawah rata-rata, yakni hanya sekitar 3%.
“Pertumbuhan pariwisata merupakan salah satu sektor yang paling besar berkontribusi dalam pertumbuhan dan pengembangan ekonomi,” ujar Sekretaris Jenderal UNWTO Zurab Pololikashvili seperti dikutip situs resmi unwto.org kemarin.
Pololikashvili menambahkan, UNWTO akan berupaya membantu mengelola potensi pariwisata di setiap kawasan dan memperluas peluang kunjungan agar memberikan keuntungan bagi semuanya, terutama masyarakat lokal. Selain itu UNWTO berharap lapangan pekerjaan akan meluas dan tidak ada negara yang tertinggal.
“Pada tahun ini kami akan fokus pada program pendidikan, peningkatan kemampuan, dan penciptaan lapangan pekerjaan,” kata Pololikashvili. Menurutnya, faktor utama yang mendorong pertumbuhan kunjungan turis pada tahun lalu ialah ekonomi yang stabil, tiket murah, perubahan teknologi, model bisnis baru, dan bebas visa.
Pada laporan tersebut, UNWTO juga menyebutkan tingkat kunjungan ke Eropa mencapai 713 juta pada 2018, naik 6% bila dibandingkan dengan setahun sebelumnya. Pertumbuhan paling besar terjadi di Eropa Mediterania dan Selatan sebesar 7%. Lalu di Eropa Timur dan Tengah 6% dan Eropa Barat 6%. Hasil di Eropa Utara berlangsung datar akibat rendahnya kunjungan ke Inggris Raya.
Sama seperti Eropa, kawasan Asia dan Pasifik juga hanya mengalami kenaikan kunjungan turis global sebesar 6% atau sebanyak 343 juta bila dibandingkan dengan tahun 2017. Kunjungan ke Asia Tenggara naik 7%. Lalu di Asia Timur Laut naik 6% dan Asia Selatan 5%. Oseania mengalami pertumbuhan moderat, yakni 3%.
Jumlah itu masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan kawasan Amerika yang menyambut 217 juta turis internasional pada 2018. Pertumbuhan paling besar terjadi di Amerika Utara sebesar 4% dandiikuti Amerika Selatan sebesar 3%. Amerika Tengah dan Karibia mengalami penurunan sebesar 2% menyusul terjadinya topan Irma dan Maria.
Data dari Afrika menunjukkan adanya kenaikan sebesar 7% atau 67 juta kunjungan yang dipimpin Afrika Utara dan Sub-Sahara. Kawasan Timur Tengah juga mencetak hasil yang memukau setelah terpuruk akibat berbagai bencana politik, sosial, dan kemanusiaan, yakni naik sebesar 10% atau total sekitar 64 juta.
Berdasarkan tren terkini, UNWTO meramalkan kunjungan turis internasional akan kembali tumbuh 3-4% pada 2019. Harga bahan bakar yang stabil akan membuat harga tiket terjangkau. Konektivitas udara di berbagai wilayah juga terus mengalami kemajuan yang cukup signifikan.
Kunjungan dari pasar negara-negara sedang berkembangjuga dinilai kuat, terutama dari India dan Rusia, juga dari negara yang lebih kecil di Asia dan Timur Tengah. Namun secara keseluruhan sulit diprediksi. Sebab, pada saat bersamaan, isu Brexit belum terselesaikan, ekonomi global melambat,serta terjadi perang perdagangan dan geopolitik.
“Negara tujuan dan para pebisnis juga perlu beradaptasi dengan perubahan sosial, tiket terjangkau, model bisnis baru, dan digitalisasi jika mereka ingin tetap kompetitif,” ujar Pololikashvili.
“Kami melihat pada tahun ini turis ingin memilih wisata sehat seperti berjalan kaki, multigenerasi, dan lebih aman,” tambahnya.
Dari dalam negeri, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) terus mendorong tingkat kunjungan turis mancanegara ke Indonesia dengan menghadirkan destinasi berkelanjutan.
Menteri Pariwisata Arief Yahya beberapa waktu lalu mengatakan, berdasarkan Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) World Economic Forum (WEF), Indonesia berada di peringkat ke-42 pada 2017 dan tahun ini diproyeksikan naik ke peringkat ke-30 dunia.
Dalam pelaksanaannya ada tiga poin untuk mendukung pengembangan sustainable Tourism. Pertama, lingkungan yang meliputi perbaikan aspek pelestarian alam bebas, kualitas dan keamanan air, konservasi energi, dan lainnya.
Kedua, komunitas yang dalam hal ini pelaku pariwisata wajib mempertahankan atraksi, memiliki manajemen untuk pengunjung, memperhatikan kebiasaan pengunjung, menjaga warisan budaya dan lainnya. Adapun aspek ketiga adalah ekonomi sehingga pariwisata bisa membantu perekonomian, dan mendatangkan pekerjaan bagi warga setempat.
Desa Wisata
Sementara itu dari ajang Feria Internacional de Turismo (Fitur) Madrid di Spanyol yang berlangsung mulai kemarin, Kementerian Pariwisata mengusung berbagai program untuk mendukung pengembangan pariwisata nasional.
Menpar pada kesempatan itu memperkenalkan Mobile Positioning Data (MPD), Sustainable Tourism Program, dan Homestay-Desa Wisata sebagai program unggulan.
Menurut Arief, MPD diyakini sebagai cara terbaru menghitung jumlah wisatawan mancanegara dengan teknologi digital. MPD bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 30–31 hari sebulan, 12 bulan setahun nonstop sehingga jauh lebih up to date daripada survei atau sensus.
“Jauh lebih akurat, lebih mudah, lebih murah, dan tidak ada campur tangan manusia. Prinsip kerjanya seperti mobile celullar yang punya identitas. Selama ada jaringan, sinyal ponsel akan ditangkap dan merekam data yang akurat, bukan hanya jumlah, tetapi juga profil data pengunjung, lama tinggal, frekuensi berkunjung, sampai ke negara originasi atau asal negaranya mana,” kata Arief.
Pada kesempatan itu Arief juga menegaskan soal komitmen Indonesia dalam mengembangkan konsep sustainable tourism development (STD), sustainable tourism observatory (STO), dan sustainable tourism certification (STC). Selama tiga tahun terakhir, Kemenpar cukup getol membangun konsep pengembangan Pariwisata berkelanjutan itu.
“Kami berkomitmen untuk mengembangkan STD sejak 2016 melalui SK Menpar Nomor 14/2016. Lalu membangun 5 model STO yang menjadi bagian dari UNWTO. Indonesia merupakan negara kedua se-Asia Pasifik setelah China yang membangun STO,” jelasnya.
Misi lain, menurut Arief, adalah program Homestay-Desa Wisata. Dengan memiliki 17.508 pulau dan 75.000 desa di Indonesia, Kemenpar bersama Kemendes menargetkan 2.000 desa wisata pada 2019. Jumlah itu naik dari tahun sebelumnya sebanyak 1.734 desa.
Berdasarkan catatan Kemenpar, tahun ini ditargetkan ada 10.000 homestay di 10 destinasi prioritas. Adapun selama periode 2017–2018 terdapat 2.938 homestay. Di antaranya dengan melakukan pengubahan menjadi homestay 2.640 unit, merenovasi 203 unit, dan membangun baru 95 unit.
“Pengembangan homestay dan desa wisata akan semakin memperkuat bahwa pariwisata itu dampak ekonominya menetes sampai ke bawah,” ungkap Arief. (Muh Shamil/Inda Susanti)
Angka pertumbuhan tersebut juga berada di luar prediksi ekonomi global yang diramalkan hanya akan mencapai 3,7% pada 2018.
Menurut UNWTO, lembaga Badan Pariwisata Dunia yang merupakan bagian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pertumbuhan ini banyak terjadi di Timur Tengah, yakni sebesar 10%, Afrika (7%), dan Asia serta Eropa (6%). Adapun, kunjungan turis ke Benua Amerika masih berada di bawah rata-rata, yakni hanya sekitar 3%.
“Pertumbuhan pariwisata merupakan salah satu sektor yang paling besar berkontribusi dalam pertumbuhan dan pengembangan ekonomi,” ujar Sekretaris Jenderal UNWTO Zurab Pololikashvili seperti dikutip situs resmi unwto.org kemarin.
Pololikashvili menambahkan, UNWTO akan berupaya membantu mengelola potensi pariwisata di setiap kawasan dan memperluas peluang kunjungan agar memberikan keuntungan bagi semuanya, terutama masyarakat lokal. Selain itu UNWTO berharap lapangan pekerjaan akan meluas dan tidak ada negara yang tertinggal.
“Pada tahun ini kami akan fokus pada program pendidikan, peningkatan kemampuan, dan penciptaan lapangan pekerjaan,” kata Pololikashvili. Menurutnya, faktor utama yang mendorong pertumbuhan kunjungan turis pada tahun lalu ialah ekonomi yang stabil, tiket murah, perubahan teknologi, model bisnis baru, dan bebas visa.
Pada laporan tersebut, UNWTO juga menyebutkan tingkat kunjungan ke Eropa mencapai 713 juta pada 2018, naik 6% bila dibandingkan dengan setahun sebelumnya. Pertumbuhan paling besar terjadi di Eropa Mediterania dan Selatan sebesar 7%. Lalu di Eropa Timur dan Tengah 6% dan Eropa Barat 6%. Hasil di Eropa Utara berlangsung datar akibat rendahnya kunjungan ke Inggris Raya.
Sama seperti Eropa, kawasan Asia dan Pasifik juga hanya mengalami kenaikan kunjungan turis global sebesar 6% atau sebanyak 343 juta bila dibandingkan dengan tahun 2017. Kunjungan ke Asia Tenggara naik 7%. Lalu di Asia Timur Laut naik 6% dan Asia Selatan 5%. Oseania mengalami pertumbuhan moderat, yakni 3%.
Jumlah itu masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan kawasan Amerika yang menyambut 217 juta turis internasional pada 2018. Pertumbuhan paling besar terjadi di Amerika Utara sebesar 4% dandiikuti Amerika Selatan sebesar 3%. Amerika Tengah dan Karibia mengalami penurunan sebesar 2% menyusul terjadinya topan Irma dan Maria.
Data dari Afrika menunjukkan adanya kenaikan sebesar 7% atau 67 juta kunjungan yang dipimpin Afrika Utara dan Sub-Sahara. Kawasan Timur Tengah juga mencetak hasil yang memukau setelah terpuruk akibat berbagai bencana politik, sosial, dan kemanusiaan, yakni naik sebesar 10% atau total sekitar 64 juta.
Berdasarkan tren terkini, UNWTO meramalkan kunjungan turis internasional akan kembali tumbuh 3-4% pada 2019. Harga bahan bakar yang stabil akan membuat harga tiket terjangkau. Konektivitas udara di berbagai wilayah juga terus mengalami kemajuan yang cukup signifikan.
Kunjungan dari pasar negara-negara sedang berkembangjuga dinilai kuat, terutama dari India dan Rusia, juga dari negara yang lebih kecil di Asia dan Timur Tengah. Namun secara keseluruhan sulit diprediksi. Sebab, pada saat bersamaan, isu Brexit belum terselesaikan, ekonomi global melambat,serta terjadi perang perdagangan dan geopolitik.
“Negara tujuan dan para pebisnis juga perlu beradaptasi dengan perubahan sosial, tiket terjangkau, model bisnis baru, dan digitalisasi jika mereka ingin tetap kompetitif,” ujar Pololikashvili.
“Kami melihat pada tahun ini turis ingin memilih wisata sehat seperti berjalan kaki, multigenerasi, dan lebih aman,” tambahnya.
Dari dalam negeri, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) terus mendorong tingkat kunjungan turis mancanegara ke Indonesia dengan menghadirkan destinasi berkelanjutan.
Menteri Pariwisata Arief Yahya beberapa waktu lalu mengatakan, berdasarkan Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) World Economic Forum (WEF), Indonesia berada di peringkat ke-42 pada 2017 dan tahun ini diproyeksikan naik ke peringkat ke-30 dunia.
Dalam pelaksanaannya ada tiga poin untuk mendukung pengembangan sustainable Tourism. Pertama, lingkungan yang meliputi perbaikan aspek pelestarian alam bebas, kualitas dan keamanan air, konservasi energi, dan lainnya.
Kedua, komunitas yang dalam hal ini pelaku pariwisata wajib mempertahankan atraksi, memiliki manajemen untuk pengunjung, memperhatikan kebiasaan pengunjung, menjaga warisan budaya dan lainnya. Adapun aspek ketiga adalah ekonomi sehingga pariwisata bisa membantu perekonomian, dan mendatangkan pekerjaan bagi warga setempat.
Desa Wisata
Sementara itu dari ajang Feria Internacional de Turismo (Fitur) Madrid di Spanyol yang berlangsung mulai kemarin, Kementerian Pariwisata mengusung berbagai program untuk mendukung pengembangan pariwisata nasional.
Menpar pada kesempatan itu memperkenalkan Mobile Positioning Data (MPD), Sustainable Tourism Program, dan Homestay-Desa Wisata sebagai program unggulan.
Menurut Arief, MPD diyakini sebagai cara terbaru menghitung jumlah wisatawan mancanegara dengan teknologi digital. MPD bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 30–31 hari sebulan, 12 bulan setahun nonstop sehingga jauh lebih up to date daripada survei atau sensus.
“Jauh lebih akurat, lebih mudah, lebih murah, dan tidak ada campur tangan manusia. Prinsip kerjanya seperti mobile celullar yang punya identitas. Selama ada jaringan, sinyal ponsel akan ditangkap dan merekam data yang akurat, bukan hanya jumlah, tetapi juga profil data pengunjung, lama tinggal, frekuensi berkunjung, sampai ke negara originasi atau asal negaranya mana,” kata Arief.
Pada kesempatan itu Arief juga menegaskan soal komitmen Indonesia dalam mengembangkan konsep sustainable tourism development (STD), sustainable tourism observatory (STO), dan sustainable tourism certification (STC). Selama tiga tahun terakhir, Kemenpar cukup getol membangun konsep pengembangan Pariwisata berkelanjutan itu.
“Kami berkomitmen untuk mengembangkan STD sejak 2016 melalui SK Menpar Nomor 14/2016. Lalu membangun 5 model STO yang menjadi bagian dari UNWTO. Indonesia merupakan negara kedua se-Asia Pasifik setelah China yang membangun STO,” jelasnya.
Misi lain, menurut Arief, adalah program Homestay-Desa Wisata. Dengan memiliki 17.508 pulau dan 75.000 desa di Indonesia, Kemenpar bersama Kemendes menargetkan 2.000 desa wisata pada 2019. Jumlah itu naik dari tahun sebelumnya sebanyak 1.734 desa.
Berdasarkan catatan Kemenpar, tahun ini ditargetkan ada 10.000 homestay di 10 destinasi prioritas. Adapun selama periode 2017–2018 terdapat 2.938 homestay. Di antaranya dengan melakukan pengubahan menjadi homestay 2.640 unit, merenovasi 203 unit, dan membangun baru 95 unit.
“Pengembangan homestay dan desa wisata akan semakin memperkuat bahwa pariwisata itu dampak ekonominya menetes sampai ke bawah,” ungkap Arief. (Muh Shamil/Inda Susanti)
(nfl)