Bisnis Properti Diyakini Akan Rebound pada Tahun Ini
A
A
A
JAKARTA - Bisnis properti tahun ini diyakini akan kembali menggeliat pascapilpres April 2019. Namun demikian, rebound tersebut diperkirakan tidak panjang karena cenderung kembali tertekan oleh berbagai faktor hingga tahun 2021.
"Tahun ini hingga tahun 2021 akan ditandai dengan jenis-jenis properti yang uptrend seperti lowrise apartment, permintaan 3-4 kamar, logistic park/gudang mini dan co-working space/virtual office di luar CBD). Sedang yang downtrend antara lain townhouse di Jabodetabek, kondotel dan office grade C," kata pengamat properti F Rach Suherman, dalam keterangan resmi, di Jakarta, Selasa (5/2/2019).
Selanjutnya, kata dia, kaum milenial belum akan menikmati insentif pasar sehingga masih akan jadi penonton lagi. Daya beli yang masih rendah dan prioritas belanja yang belum untuk membeli rumah, tidak akan membuat pengembang menyasar pangsa ini secara spesifik. Karena itu, dia menilai pasar optimis tumbuh tetapi tidak signifikan atau melandai, seperti masa tahun 2010-2013 lalu.
Dia melanjutkan, keterlibatan anak usaha Lippo Group melalui PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) dalam pembangunan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dinilai membantu dalam program sejuta rumah yang di gagas pemerintah. "Peran Lippo Cikarang dalam pembangunan rumah murah sangat bermanfaat bagi masyarakat, meski margin di bisnis ini kecil sehinga tidak menarik bagi lebih banyak pengembang," kata dia.
Menurutnya, Lippo sebagai perusahaan properti dinilai tetap kuat dalam pengembangan bisnisnya, meksi digoyang dari kasus Meikarta. "Mereka sedang mengalami musim gugur tetapi ada musim lain yang akan mampu dilalui," ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi V DPR Yoseph Umarhadi mengatakan, pembangunan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga swasta sebagai pengembang. Pembangunan rumah murah, kata dia, tidak hanya bisnis semata tetapi juga merupakan nilai tanggung jawab sosial perusahaan. "Rumah murah bagi MBR jadi tanggung jawab juga pengembang agar kesenjangan backlog perumahan bisa ditekan," ujarnya.
Pembangunan rumah murah merupakan amanat UU Tapera di mana di dalam undang-undang tersebut ada semangat gotong royong bagi semua pengembang untuk menghadirkan rumah menengah kelas bawah.
Dia mengakui saat ini pembangunan rumah murah bagi MBR oleh pengembang masih minim. Ini dikarenakan lemahnya penegakan hukum karena pengembang lebih memilih membayar kompensasi ketimbang memenuhi kewajiban membangun rumah murah karena harga tanah yang makin mahal tiap tahunnya. "Namun yang pasti, saat ini masih banyak pengembang besar yang belum menyasar pembangunan proyek rumah murah," pungkasnya.
"Tahun ini hingga tahun 2021 akan ditandai dengan jenis-jenis properti yang uptrend seperti lowrise apartment, permintaan 3-4 kamar, logistic park/gudang mini dan co-working space/virtual office di luar CBD). Sedang yang downtrend antara lain townhouse di Jabodetabek, kondotel dan office grade C," kata pengamat properti F Rach Suherman, dalam keterangan resmi, di Jakarta, Selasa (5/2/2019).
Selanjutnya, kata dia, kaum milenial belum akan menikmati insentif pasar sehingga masih akan jadi penonton lagi. Daya beli yang masih rendah dan prioritas belanja yang belum untuk membeli rumah, tidak akan membuat pengembang menyasar pangsa ini secara spesifik. Karena itu, dia menilai pasar optimis tumbuh tetapi tidak signifikan atau melandai, seperti masa tahun 2010-2013 lalu.
Dia melanjutkan, keterlibatan anak usaha Lippo Group melalui PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) dalam pembangunan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dinilai membantu dalam program sejuta rumah yang di gagas pemerintah. "Peran Lippo Cikarang dalam pembangunan rumah murah sangat bermanfaat bagi masyarakat, meski margin di bisnis ini kecil sehinga tidak menarik bagi lebih banyak pengembang," kata dia.
Menurutnya, Lippo sebagai perusahaan properti dinilai tetap kuat dalam pengembangan bisnisnya, meksi digoyang dari kasus Meikarta. "Mereka sedang mengalami musim gugur tetapi ada musim lain yang akan mampu dilalui," ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi V DPR Yoseph Umarhadi mengatakan, pembangunan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga swasta sebagai pengembang. Pembangunan rumah murah, kata dia, tidak hanya bisnis semata tetapi juga merupakan nilai tanggung jawab sosial perusahaan. "Rumah murah bagi MBR jadi tanggung jawab juga pengembang agar kesenjangan backlog perumahan bisa ditekan," ujarnya.
Pembangunan rumah murah merupakan amanat UU Tapera di mana di dalam undang-undang tersebut ada semangat gotong royong bagi semua pengembang untuk menghadirkan rumah menengah kelas bawah.
Dia mengakui saat ini pembangunan rumah murah bagi MBR oleh pengembang masih minim. Ini dikarenakan lemahnya penegakan hukum karena pengembang lebih memilih membayar kompensasi ketimbang memenuhi kewajiban membangun rumah murah karena harga tanah yang makin mahal tiap tahunnya. "Namun yang pasti, saat ini masih banyak pengembang besar yang belum menyasar pembangunan proyek rumah murah," pungkasnya.
(fjo)