Swasta Diperbolehkan Bangun Jaringan Gas
A
A
A
SURABAYA - Pemerintah akhirnya menerbitkan aturan terkait pembangunan jaringan gas tanpa menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Beleid tersebut diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Gas Bumi Melalui Jaringan Transmisi dan/atau Distribusi Gas Bumi untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil.
“Kalau kita lihat di roadmap, migrasi dari APBN ke non APBN di 2021/2022. Supaya nanti di situ sudah mulai integrasi kebijakannya, sehingga orang mulai investasi. Kalau sekarang belum tertarik nanti kalau jumlahnya banyak lumayan juga,” ujar Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Alimuddin Baso, di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, aturan tersebut diterbitkan untuk meningkatkan target pembangunan jargas mencapai hingga 4,7 juta SR pada 2025. Sedangkan kemampuan APBN hanya mampu membiayai pembangunan jargas 125.000 SR per tahun.
“Kalau kita hitung mundur APBN paling mampu sampai 125.000 SR per tahun. Nah sisanya itu nanti dilakukan oleh pelaku usaha,” kata dia.
Berdasarkan laporan pemerintah pada 2018 pembangunan jargas rumah tangga telah mencapai 463.619 SR. Pembangunan jargas rumah tangga terus tumbuh dari tahun 2014 sebanyak 200.000 SR, pada 2015 2020.363 SR, pada 2016 319.514 SR dan pada 2017 sebanyak 373.190 SR.
Pihaknya optimistis kebijakan tersebut, badan usaha baik BUMN maupun swasta akan tertarik investasi jargas. Apalagi ke depannya, APBN untuk jrgas akan semakin kecil.“Nanti kalau sudah masif, pola kerjasama dengan badan usaha, bisa investasi sendiri,” imbuhnya.
Terkait alokasi, kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) diwajibkan untuk memberikan alokasi gas untuk jargas dan BUMN gas boleh menjual secara komersil dengan volume maksimal 1000 m3 per bulan. Pembangunan jargas tersebut juga diperuntukkan BUMN migas dan dapat di serahkan ke anak usaha dengan kepemilikan di atas 50% saham secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk kepastian alokasi gas dari KKKS, kata dia, tidak merugikan kontraktor karena volume yang dibutuhkan sedikit. Sementara manfaat dari proyek jargas cukup besar. “Seperti di Donggi kami bangun jargas di Banggai itu Cuma 0,2 mmscfd. Itu sekarang baru bangun 5.000 SR, kami proyeksikan bisa sampai 10.000 SR sudah masuk ke rumahnya tidak perlu lagi beli tabung elpiji 3 kilogram, secara agregat impor elpiji juga bisa kami kurangi,” jelas dia.
Tak hanya itu, pemerintah ternyata juga menetapkan harga gas di hulu untuk jargas sebesar USD4,72 per mmbtu. Namun harga gas khusus ini hanya untuk jargas rumah tangga dan pelanggan kecil. Namun untuk jargas pelanggan komersil, maka harga insentif gas di hulu tidak berlaku.
“Insentif kalau untuk rumah tangga atau pelanggan kecil harus ditetapkan pemerintah. Untuk komersil dia bisa manfaatkan pipa itu tetapi tidak boleh dia ambil harga khusus,” jelas Alimuddin.
Selain itu, pemerintah juga menetapkan penggratisan toll fee untuk fasilitas bersama yang digunakan untuk jargas seperti fasilitas pengangkutan dan fasilitas penyimpanan. Adapun pemanfaatan fasilitas bersama tidak merugikan karena gas yang dialirkan untuk mendukung percepatan jargas rumah tangga sangat kecil.
“Pemanfaatan gas bumi paling cuma 0,1-0,2 mmscfd. Sementara pemerintah dapat ingin gas dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat dengan lebih efisien,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Utama PGN Gigih Prakoso mendukung langkah pemerintah mengeluarkan aturan terkait pembangunan jargas untuk rumah tangga dan pelanggan kecil. Menurut dia, Perpres tersebut akan menjadi aturan pelaksanaan pembangunan proyek Jargas yang akan dilaksanakan PGN.
Sesuai ketentuan dalam Perpres, maka diperlukan Keputusan Menteri ESDM untuk penunjukkan kepada PGN sebagai pelaksanaan proyek pembangunan jargas. Setelah Perpres tersebut diundangkan, Kementerian ESDM merilis Kepmen ESDM No.11 K/10/EM/2019 tentang penunjukkan PT Pertamina (Persero) atau subholding migas dalam membangun jargas.
“Dengan Perpres ini diharapkan pembangunan jargas akan semakin cepat dengan prioritas tetap untuk sektor rumah tangga dan fasilitas sosial masyarakat yang perlu dibantu oleh pemerintah dan dapat dikembangkan untuk sektor komersial lainnya,” tutur Gigih. (Nanang Wijayanto)
Beleid tersebut diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Gas Bumi Melalui Jaringan Transmisi dan/atau Distribusi Gas Bumi untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil.
“Kalau kita lihat di roadmap, migrasi dari APBN ke non APBN di 2021/2022. Supaya nanti di situ sudah mulai integrasi kebijakannya, sehingga orang mulai investasi. Kalau sekarang belum tertarik nanti kalau jumlahnya banyak lumayan juga,” ujar Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Alimuddin Baso, di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, aturan tersebut diterbitkan untuk meningkatkan target pembangunan jargas mencapai hingga 4,7 juta SR pada 2025. Sedangkan kemampuan APBN hanya mampu membiayai pembangunan jargas 125.000 SR per tahun.
“Kalau kita hitung mundur APBN paling mampu sampai 125.000 SR per tahun. Nah sisanya itu nanti dilakukan oleh pelaku usaha,” kata dia.
Berdasarkan laporan pemerintah pada 2018 pembangunan jargas rumah tangga telah mencapai 463.619 SR. Pembangunan jargas rumah tangga terus tumbuh dari tahun 2014 sebanyak 200.000 SR, pada 2015 2020.363 SR, pada 2016 319.514 SR dan pada 2017 sebanyak 373.190 SR.
Pihaknya optimistis kebijakan tersebut, badan usaha baik BUMN maupun swasta akan tertarik investasi jargas. Apalagi ke depannya, APBN untuk jrgas akan semakin kecil.“Nanti kalau sudah masif, pola kerjasama dengan badan usaha, bisa investasi sendiri,” imbuhnya.
Terkait alokasi, kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) diwajibkan untuk memberikan alokasi gas untuk jargas dan BUMN gas boleh menjual secara komersil dengan volume maksimal 1000 m3 per bulan. Pembangunan jargas tersebut juga diperuntukkan BUMN migas dan dapat di serahkan ke anak usaha dengan kepemilikan di atas 50% saham secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk kepastian alokasi gas dari KKKS, kata dia, tidak merugikan kontraktor karena volume yang dibutuhkan sedikit. Sementara manfaat dari proyek jargas cukup besar. “Seperti di Donggi kami bangun jargas di Banggai itu Cuma 0,2 mmscfd. Itu sekarang baru bangun 5.000 SR, kami proyeksikan bisa sampai 10.000 SR sudah masuk ke rumahnya tidak perlu lagi beli tabung elpiji 3 kilogram, secara agregat impor elpiji juga bisa kami kurangi,” jelas dia.
Tak hanya itu, pemerintah ternyata juga menetapkan harga gas di hulu untuk jargas sebesar USD4,72 per mmbtu. Namun harga gas khusus ini hanya untuk jargas rumah tangga dan pelanggan kecil. Namun untuk jargas pelanggan komersil, maka harga insentif gas di hulu tidak berlaku.
“Insentif kalau untuk rumah tangga atau pelanggan kecil harus ditetapkan pemerintah. Untuk komersil dia bisa manfaatkan pipa itu tetapi tidak boleh dia ambil harga khusus,” jelas Alimuddin.
Selain itu, pemerintah juga menetapkan penggratisan toll fee untuk fasilitas bersama yang digunakan untuk jargas seperti fasilitas pengangkutan dan fasilitas penyimpanan. Adapun pemanfaatan fasilitas bersama tidak merugikan karena gas yang dialirkan untuk mendukung percepatan jargas rumah tangga sangat kecil.
“Pemanfaatan gas bumi paling cuma 0,1-0,2 mmscfd. Sementara pemerintah dapat ingin gas dapat dimanfaatkan langsung oleh masyarakat dengan lebih efisien,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Utama PGN Gigih Prakoso mendukung langkah pemerintah mengeluarkan aturan terkait pembangunan jargas untuk rumah tangga dan pelanggan kecil. Menurut dia, Perpres tersebut akan menjadi aturan pelaksanaan pembangunan proyek Jargas yang akan dilaksanakan PGN.
Sesuai ketentuan dalam Perpres, maka diperlukan Keputusan Menteri ESDM untuk penunjukkan kepada PGN sebagai pelaksanaan proyek pembangunan jargas. Setelah Perpres tersebut diundangkan, Kementerian ESDM merilis Kepmen ESDM No.11 K/10/EM/2019 tentang penunjukkan PT Pertamina (Persero) atau subholding migas dalam membangun jargas.
“Dengan Perpres ini diharapkan pembangunan jargas akan semakin cepat dengan prioritas tetap untuk sektor rumah tangga dan fasilitas sosial masyarakat yang perlu dibantu oleh pemerintah dan dapat dikembangkan untuk sektor komersial lainnya,” tutur Gigih. (Nanang Wijayanto)
(nfl)