Target Penggunaan Energi Terbarukan 23% di 2025 Dinilai Sulit Tercapai
A
A
A
JAKARTA - Target penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional sebesar 23% pada tahun 2025 yang diusung pemerintah, dinilai bakal sulit tercapai. Pasalnya dibutuhkan regulasi yang mampu menopang pemakaian energi terbarukan, bukan malah menghambatnya.
"Pemerintah seharusnya menerbitkan regulasi yang mampu mendorong investasi energi terbarukan, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Regulasi yang diterbitkan malah menjadi faktor utama penghambat investasi energi terbarukan," ujar Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa di Jakarta, Jumat (8/2).
Lebih lanjut Ia membeberkan penyebab energi terbarukan tidak akan mencapai target dikarenakan regulasi saat ini tidak memberikan kepastian terhadap investasi. Hal ini menggeser resiko investasi kepada pengembang.
"Proses pengadaan energi terbarukan dengan pemilihan langsung yang sulit diimplementasikan oleh PLN, dan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) yang tidak bankable, khususnya untuk pembangkit listrik dengan kapasitas < 10 MW," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Asosiasi METI M. Riza Husni mengatakan, semua wilayah di Indonesia memiliki sumber energi terbarukan sehingga akan sangat membantu untuk penyediaan energi setempat. Namun disayangkan, pemerintah terkesan menganaktirikan pengembang energi terbarukan dengan kapasitas < 10 MW”.
"Selain masalah PJBL yang tidak bankable, hal lain yang memberatkan pengembang energi terbarukan dengan skala < 10 MW adalah skema BOOT. Skema ini menyulitkan pengembang untuk mendapatkan pendanaan dari perbankan, kecuali apabila pengembang menyerahkannya," jelasnya.
"Pemerintah seharusnya menerbitkan regulasi yang mampu mendorong investasi energi terbarukan, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Regulasi yang diterbitkan malah menjadi faktor utama penghambat investasi energi terbarukan," ujar Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa di Jakarta, Jumat (8/2).
Lebih lanjut Ia membeberkan penyebab energi terbarukan tidak akan mencapai target dikarenakan regulasi saat ini tidak memberikan kepastian terhadap investasi. Hal ini menggeser resiko investasi kepada pengembang.
"Proses pengadaan energi terbarukan dengan pemilihan langsung yang sulit diimplementasikan oleh PLN, dan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) yang tidak bankable, khususnya untuk pembangkit listrik dengan kapasitas < 10 MW," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Asosiasi METI M. Riza Husni mengatakan, semua wilayah di Indonesia memiliki sumber energi terbarukan sehingga akan sangat membantu untuk penyediaan energi setempat. Namun disayangkan, pemerintah terkesan menganaktirikan pengembang energi terbarukan dengan kapasitas < 10 MW”.
"Selain masalah PJBL yang tidak bankable, hal lain yang memberatkan pengembang energi terbarukan dengan skala < 10 MW adalah skema BOOT. Skema ini menyulitkan pengembang untuk mendapatkan pendanaan dari perbankan, kecuali apabila pengembang menyerahkannya," jelasnya.
(akr)