Bantah Prabowo, Mentan: Harga Beras RI Bukan yang Termahal
Sabtu, 16 Februari 2019 - 00:01 WIB

Bantah Prabowo, Mentan: Harga Beras RI Bukan yang Termahal
A
A
A
JAKARTA - Setelah Menko Perekonomian Darmin Nasution, kini giliran Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengeluarkan bantahan atas ucapan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto bahwa harga beras eceran di Indonesia adalah salah satu yang termahal di dunia.
Mengutip basis data global Numbeo, Amran menyebutkan bahwa harga beras eceran Indonesia menempati urutan ke-81 dari daftar harga beras eceran di dunia. Harga beras eceran di Indonesia sebesar Rp12.374 per kg (Numbeo 2019).
"Urutan pertama harga beras eceran termahal dunia adalah Jepang sebesar Rp57.678 per kg, sementara harga beras termurah di Sri Lanka sebesar Rp7.618 per kg," ujar Amran dalam keterangan tertulis, Jumat (15/2/2019).
Dengan fakta tersebut, Menteri Amran meminta agar informasi tidak benar terkait harga beras eceran Indonesia termahal di dunia jangan terus dijadikan polemik. Bahkan, tegas dia, semua pihak patut bangga bahwa berdasarkan data FAO tahun 2017, Indonesia menempati nomor urut ketiga negara penghasil beras terbesar di dunia. "Jadi jangan lagi polemik. Kalau produsen beras, tahun 2017 Indonesia nomor 3 dunia. Catat ya, ini data FAO," sebutnya.
Terkait kenaikan harga beras yang kerap menjadi polemik, Amran menegaskan hal tersebut disebabkan ulah mafia pangan. "Namun demikian, di era pemerintahan Jokowi-JK, Kementan bersama Panglima TNI, Kapolri, KPPU dan Bulog sudah banyak menyelesaikan mafia pangan. Sebanyak 409 mafia pangan sudah dikirim ke penjara dan yang sedang proses hukum sebanyak 782 perusahaan telah ditindak dengan tegas," ujarnya.
Dia menambahkan, 15 lainnya sudah dimasukkan daftar hitam dan sebentar lagi akan ditambah 21 perusahaan. "Aku tidak biarkan mafia pangan berkeliaran di Indonesia. Ini dicatat ya. Jangan 135 juta petani di atas namakan, marah nanti petani dan anda kualat," tegasnya.
Amran juga menyesalkan beberapa waktu terakhir ini banyak polemik muncul dengan menyinggung sektor pertanian. Dia mengatakan, ada aksi yang mengatasnamakan petani yang membuang hasil pertanian yang ternyata bukanlah petani dan seringnya ditunggangi kepentingan politik.
"Perlu jadi perhatian semua pihak, kenapa dalam pikiran para pengamat bahwa komoditas pertanian dan petani selalu diposisikan untuk dipolitisasi. Jangan membuat marah 132 juta keluarga tani Indonesia," pungkasnya.
Mengutip basis data global Numbeo, Amran menyebutkan bahwa harga beras eceran Indonesia menempati urutan ke-81 dari daftar harga beras eceran di dunia. Harga beras eceran di Indonesia sebesar Rp12.374 per kg (Numbeo 2019).
"Urutan pertama harga beras eceran termahal dunia adalah Jepang sebesar Rp57.678 per kg, sementara harga beras termurah di Sri Lanka sebesar Rp7.618 per kg," ujar Amran dalam keterangan tertulis, Jumat (15/2/2019).
Dengan fakta tersebut, Menteri Amran meminta agar informasi tidak benar terkait harga beras eceran Indonesia termahal di dunia jangan terus dijadikan polemik. Bahkan, tegas dia, semua pihak patut bangga bahwa berdasarkan data FAO tahun 2017, Indonesia menempati nomor urut ketiga negara penghasil beras terbesar di dunia. "Jadi jangan lagi polemik. Kalau produsen beras, tahun 2017 Indonesia nomor 3 dunia. Catat ya, ini data FAO," sebutnya.
Terkait kenaikan harga beras yang kerap menjadi polemik, Amran menegaskan hal tersebut disebabkan ulah mafia pangan. "Namun demikian, di era pemerintahan Jokowi-JK, Kementan bersama Panglima TNI, Kapolri, KPPU dan Bulog sudah banyak menyelesaikan mafia pangan. Sebanyak 409 mafia pangan sudah dikirim ke penjara dan yang sedang proses hukum sebanyak 782 perusahaan telah ditindak dengan tegas," ujarnya.
Dia menambahkan, 15 lainnya sudah dimasukkan daftar hitam dan sebentar lagi akan ditambah 21 perusahaan. "Aku tidak biarkan mafia pangan berkeliaran di Indonesia. Ini dicatat ya. Jangan 135 juta petani di atas namakan, marah nanti petani dan anda kualat," tegasnya.
Amran juga menyesalkan beberapa waktu terakhir ini banyak polemik muncul dengan menyinggung sektor pertanian. Dia mengatakan, ada aksi yang mengatasnamakan petani yang membuang hasil pertanian yang ternyata bukanlah petani dan seringnya ditunggangi kepentingan politik.
"Perlu jadi perhatian semua pihak, kenapa dalam pikiran para pengamat bahwa komoditas pertanian dan petani selalu diposisikan untuk dipolitisasi. Jangan membuat marah 132 juta keluarga tani Indonesia," pungkasnya.
(fjo)