Industri Penerbangan Hadapi Masa Sulit di Awal Tahun
A
A
A
JAKARTA - Industri penerbangan di berbagai dunia sedang menghadapi situasi sulit. Tantangan low season tahun ini semakin berat dibandingkan tahun sebelumnya. Pengamat industri penerbangan Alvin Lie mengakui maskapai penerbangan di berbagai negara memang sedang hadapi masa sulit.
Tantangan low season pasca libur akhir tahun menjadi tantangan industri. Penurunan jumlah penumpang Januari 2018 dan Januari 2019 sudah turun di kisaran 10%. Kondisi daya beli masyarakat yang menurun juga diprediksi menjadi penyebab turunnya jumlah penumpang angkutan udara. “Faktor daya beli kita itu memang menurun. Saya kira banyak yang menahan belanja karena ekonomi yang sedang lesu,” ujar Alvin di Jakarta, Rabu (20/2/1019).
Bulan Februari ini maskapai penerbangan di Berlin, Germania, mengalami kebangkrutan dan membatalkan semua penerbangan yang sebelumnya telah direncanakan. Maskapai dengan 37 pesawat ini memiliki rute ke Mediterania, Afrika Utara, dan Timur Tengah untuk berlibur.
Mereka mengangkut lebih dari empat juta penumpang per tahun. Namun akhirnya mereka gagal menyelesaikan upaya pembiayaan untuk likuiditas jangka pendek. “Maskapai di berbagai negara memang menghadapi masa sulit,” ujar Alvin kemarin.
Dia juga menilai pemerintah terlambat mengantisipasi lonjakan tarif pesawat. Dia beralasan PM 14 2016, sudah seharusnya direvisi mempertimbangkan banyak hal mengenai ketentuan batas bawah maupun batas atas tarif pesawat.
“Seharusnya PM 14 2016 sudah revisi, sebab komponen tarif pesawat mempertimbangkan harga minyak dunia. Kalau harga minyak dunia turun, nilai USD terhadap rupiah juga stagnan maka idealnya tarif tiket turun,” ujar dia.
Industri penerbangan diharapkan tidak perlu merespons semua kritikan masyarakat mengenai harga tiket. Fokus industri sebaiknya mencapai efisiensi yang maksimal sebagai syarat utama menghindari kerugian.
Hal ini disampaikan pengamat penerbangan Gerry Soejatman, menurutnya industri harus mengkaji ulang harga yang terjangkau di tengah tekanan daya beli masyarakat. Namun syaratnya maskapai harus mendorong efisiensi dalam operasional.
“Kalau maskapai tidak efisien pasti akan tetap rugi berapapun harga tiketnya. Dampak tiket mahal ke perekonomian nasional akan jelek sekali. Karena itu harus efisien sehingga harganya terjangkau tapi maskapai masih bisa untung,” ujar Gerry kemarin di Jakarta.
Lebih lanjut dia mengatakan keputusan maskapai yang menerapkan tiket mahal memang tidak menyalahi regulasi. Namun dia mengkhawatirkan harga setinggi itu kemungkinan tidak akan terbeli konsumen. Sementara alasan harga avtur untuk menaikkan juga kurang masuk akal karena harganya sudah turun sejak Oktober tahun lalu.
Menurutnya saat ini pemerintah hanya bisa memastikan kompetisi industri penerbangan nasional sehat. Caranya berikan sanksi apabila ada yang melanggar dan menetapkan batas atas dan bawah harga. Sementara masyarakat jangan asal celoteh dan harus cari tahu alasan kenaikannya. Apakah kondisi industrinya memungkinkan menaikkan harga, hal itu belum ada yang mengkritisi.
Oktober lalu pasca musibah Lion Air masyarakat ramai-ramai protes karena harga tiket kerendahan dan sekarang juga protes bilang ketinggian. “Soal harga tiket itu bukan urusan pemerintah. Pemerintah tidak akan tanggung jawab kalau maskapai merugi. Jadi biarkan maskapai yang menentukan harganya. Posisi pemerintah akan serba salah kalau terlalu berpihak atau tidak objektif,” ujarnya.
Tantangan maskapai penerbangan saat ini cukup berat terlihat jumlah penumpang hingga Januari tahun 2019 lebih sedikit dibandingkan tahun lalu. Diprediksi untuk Februari dengan tiket mahal akan berdampak menekan jumlah penumpang lebih sedikit lagi. “Low season tahun ini jauh lebih sepi dibandingkan tahun lalu hingga nanti musim lebaran diharapkan baru ada peningkatan,” tambahnya.
Tantangan low season pasca libur akhir tahun menjadi tantangan industri. Penurunan jumlah penumpang Januari 2018 dan Januari 2019 sudah turun di kisaran 10%. Kondisi daya beli masyarakat yang menurun juga diprediksi menjadi penyebab turunnya jumlah penumpang angkutan udara. “Faktor daya beli kita itu memang menurun. Saya kira banyak yang menahan belanja karena ekonomi yang sedang lesu,” ujar Alvin di Jakarta, Rabu (20/2/1019).
Bulan Februari ini maskapai penerbangan di Berlin, Germania, mengalami kebangkrutan dan membatalkan semua penerbangan yang sebelumnya telah direncanakan. Maskapai dengan 37 pesawat ini memiliki rute ke Mediterania, Afrika Utara, dan Timur Tengah untuk berlibur.
Mereka mengangkut lebih dari empat juta penumpang per tahun. Namun akhirnya mereka gagal menyelesaikan upaya pembiayaan untuk likuiditas jangka pendek. “Maskapai di berbagai negara memang menghadapi masa sulit,” ujar Alvin kemarin.
Dia juga menilai pemerintah terlambat mengantisipasi lonjakan tarif pesawat. Dia beralasan PM 14 2016, sudah seharusnya direvisi mempertimbangkan banyak hal mengenai ketentuan batas bawah maupun batas atas tarif pesawat.
“Seharusnya PM 14 2016 sudah revisi, sebab komponen tarif pesawat mempertimbangkan harga minyak dunia. Kalau harga minyak dunia turun, nilai USD terhadap rupiah juga stagnan maka idealnya tarif tiket turun,” ujar dia.
Industri penerbangan diharapkan tidak perlu merespons semua kritikan masyarakat mengenai harga tiket. Fokus industri sebaiknya mencapai efisiensi yang maksimal sebagai syarat utama menghindari kerugian.
Hal ini disampaikan pengamat penerbangan Gerry Soejatman, menurutnya industri harus mengkaji ulang harga yang terjangkau di tengah tekanan daya beli masyarakat. Namun syaratnya maskapai harus mendorong efisiensi dalam operasional.
“Kalau maskapai tidak efisien pasti akan tetap rugi berapapun harga tiketnya. Dampak tiket mahal ke perekonomian nasional akan jelek sekali. Karena itu harus efisien sehingga harganya terjangkau tapi maskapai masih bisa untung,” ujar Gerry kemarin di Jakarta.
Lebih lanjut dia mengatakan keputusan maskapai yang menerapkan tiket mahal memang tidak menyalahi regulasi. Namun dia mengkhawatirkan harga setinggi itu kemungkinan tidak akan terbeli konsumen. Sementara alasan harga avtur untuk menaikkan juga kurang masuk akal karena harganya sudah turun sejak Oktober tahun lalu.
Menurutnya saat ini pemerintah hanya bisa memastikan kompetisi industri penerbangan nasional sehat. Caranya berikan sanksi apabila ada yang melanggar dan menetapkan batas atas dan bawah harga. Sementara masyarakat jangan asal celoteh dan harus cari tahu alasan kenaikannya. Apakah kondisi industrinya memungkinkan menaikkan harga, hal itu belum ada yang mengkritisi.
Oktober lalu pasca musibah Lion Air masyarakat ramai-ramai protes karena harga tiket kerendahan dan sekarang juga protes bilang ketinggian. “Soal harga tiket itu bukan urusan pemerintah. Pemerintah tidak akan tanggung jawab kalau maskapai merugi. Jadi biarkan maskapai yang menentukan harganya. Posisi pemerintah akan serba salah kalau terlalu berpihak atau tidak objektif,” ujarnya.
Tantangan maskapai penerbangan saat ini cukup berat terlihat jumlah penumpang hingga Januari tahun 2019 lebih sedikit dibandingkan tahun lalu. Diprediksi untuk Februari dengan tiket mahal akan berdampak menekan jumlah penumpang lebih sedikit lagi. “Low season tahun ini jauh lebih sepi dibandingkan tahun lalu hingga nanti musim lebaran diharapkan baru ada peningkatan,” tambahnya.
(akr)