Ekspor China Anjlok, Kekhawatiran Perlambatan Global Meningkat
A
A
A
BEIJING - Ekspor China pada Februari anjlok terbesar dalam tiga tahun, sementara impor turun untuk bulan ketiga berturut-turut. Perkembangan itu menunjukkan perlambatan lebih lanjut dalam perekonomian China, meski pemerintah negara itu telah menggelar serangkaian langkah dukungan.
Kendati faktor musiman mungkin berperan, bacaan yang sangat lemah dari negara dengan perdagangan terbesar di dunia itu menambah kekhawatiran tentang perlambatan global.
Investor global dan mitra dagang utama China mengamati dengan cermat reaksi kebijakan Beijing saat pertumbuhan ekonomi negara itu melambat dari tahun lalu yang merupakan level terendah dalam 28 tahun terakhir.
Data Bea Cukai menunjukkan, ekspor Februari China turun 20,7% dari tahun sebelumnya, penurunan terbesar sejak Februari 2016. Ekonom yang disurvei oleh Reuters memperkirakan penurunan 4,8% setelah Januari yang tiba-tiba melonjak 9,1%.
"Angka perdagangan hari ini memperkuat pandangan kami bahwa resesi perdagangan China telah mulai muncul," tulis Raymond Yeung, kepala ekonom Gerater China di ANZ, dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters, Jumat (8/3/2019).
Dia mengatakan, ekspor China sudah mencatat pertumbuhan negatif sejak bulan Desember lalu. Sementara angka-angka kuat di bulan Januari menurutnya tidak dapat diandalkan karena distorsi dari periode liburan Tahun Baru Imlek.
Impor turun 5,2% dari tahun sebelumnya, lebih buruk dari perkiraan analis sebesar 1,4% dan melebar dari penurunan 1,5% pada Januari. Secara keseluruhan impor komoditas utama menunjukkan penurunan. Hal itu membuat China hanya mencatatkan surplus perdagangan sebesar USD4,12 miliar untuk bulan itu, jauh lebih kecil dari perkiraan USD26,38 miliar.
Analis memperingatkan bahwa data dari China dalam dua bulan pertama tahun ini harus dibaca dengan hati-hati karena gangguan bisnis yang disebabkan oleh liburan panjang Tahun Baru Imlek.
Namun, banyak pengamat menilai awal yang lemah untuk tahun ini karena survei pabrik menunjukkan berkurangnya pesanan domestik dan ekspor, serta perang perdagangan dengan AS yang masih berlanjut.
Data China yang buruk datang di tengah-tengah negosiasi intens antara Washington dan Beijing yang bertujuan mengakhiri sengketa perdagangan di antara kedua negara.
Data China pada hari ini menunjukkan surplus perdagangannya dengan AS menyempit menjadi USD14,72 miliar pada Februari dari USD27,3 miliar pada Januari lalu. Terlepas dari itu, Beijing telah berjanji untuk membeli lebih banyak barang dari AS, seperti produk pertanian sebagai bagian dari diskusi perdagangan.
Presiden AS Donald Trump belum lama ini mengatakan bahwa pembicaraan perdagangan berjalan dengan baik dan mengatakan akan ada kesepakatan yang baik, atau tidak ada kesepakatan sama sekali antara dua ekonomi terbesar di dunia tersebut.
Pada saat yang sama, permintaan global telah melemah, terutama di Eropa. Ekspor China ke semua pasar utamanya jatuh secara menyeluruh bulan lalu.
Diplomat top pemerintah China, Anggota Dewan Negara Wang Yi, mengatakan bahwa pembicaraan perdagangan telah membuat kemajuan substantif, dan bahwa hubungan kedua negara tidak boleh turun ke konfrontasi.
Ekonomi China sudah melambat tahun lalu sebelum ketegangan perdagangan meningkat, sebagian karena pengekangan peraturan pada pinjaman berisiko yang membuat perusahaan-perusahaan pembiayaan swasta lebih kecil dan kekurangan investasi dan menahan investasi.
Pemerintah China menargetkan pertumbuhan ekonomi 6-6,5% pada 2019. Perdana Menteri Li Keqiang mengatakan pada pembukaan pertemuan tahunan parlemen China hari Selasa (5/3) lalu, target itu memang lebih rendah daripada yang ditetapkan untuk 2018.
Pertumbuhan aktual tahun lalu melambat menjadi 6,6% dan diperkirakan akan mendingin lebih lanjut menjadi 6,2% tahun ini. Banyak analis memperkirakan paruh pertama yang bergejolak sebelum langkah-langkah stimulus mulai menstabilkan aktivitas ekonomi di sekitar pertengahan tahun.
Perlambatan ekonomi China dan perang dagang memiliki dampak pada negara-negara dan bisnis yang bergantung pada perdagangan lainnya di seluruh dunia. Sebagai contoh, ekspor Jepang pada Januari tercatat turun paling besar dalam lebih dari dua tahun karena pengiriman yang menuju China anjlok.
Pada hari Kamis (7/3), produsen chip otomotif Renesas Electronics Corp mengatakan berencana untuk menghentikan produksi di enam pabrik di Jepang hingga dua bulan tahun ini karena bersiap untuk perlambatan lebih lanjut dalam permintaan China.
Kendati faktor musiman mungkin berperan, bacaan yang sangat lemah dari negara dengan perdagangan terbesar di dunia itu menambah kekhawatiran tentang perlambatan global.
Investor global dan mitra dagang utama China mengamati dengan cermat reaksi kebijakan Beijing saat pertumbuhan ekonomi negara itu melambat dari tahun lalu yang merupakan level terendah dalam 28 tahun terakhir.
Data Bea Cukai menunjukkan, ekspor Februari China turun 20,7% dari tahun sebelumnya, penurunan terbesar sejak Februari 2016. Ekonom yang disurvei oleh Reuters memperkirakan penurunan 4,8% setelah Januari yang tiba-tiba melonjak 9,1%.
"Angka perdagangan hari ini memperkuat pandangan kami bahwa resesi perdagangan China telah mulai muncul," tulis Raymond Yeung, kepala ekonom Gerater China di ANZ, dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters, Jumat (8/3/2019).
Dia mengatakan, ekspor China sudah mencatat pertumbuhan negatif sejak bulan Desember lalu. Sementara angka-angka kuat di bulan Januari menurutnya tidak dapat diandalkan karena distorsi dari periode liburan Tahun Baru Imlek.
Impor turun 5,2% dari tahun sebelumnya, lebih buruk dari perkiraan analis sebesar 1,4% dan melebar dari penurunan 1,5% pada Januari. Secara keseluruhan impor komoditas utama menunjukkan penurunan. Hal itu membuat China hanya mencatatkan surplus perdagangan sebesar USD4,12 miliar untuk bulan itu, jauh lebih kecil dari perkiraan USD26,38 miliar.
Analis memperingatkan bahwa data dari China dalam dua bulan pertama tahun ini harus dibaca dengan hati-hati karena gangguan bisnis yang disebabkan oleh liburan panjang Tahun Baru Imlek.
Namun, banyak pengamat menilai awal yang lemah untuk tahun ini karena survei pabrik menunjukkan berkurangnya pesanan domestik dan ekspor, serta perang perdagangan dengan AS yang masih berlanjut.
Data China yang buruk datang di tengah-tengah negosiasi intens antara Washington dan Beijing yang bertujuan mengakhiri sengketa perdagangan di antara kedua negara.
Data China pada hari ini menunjukkan surplus perdagangannya dengan AS menyempit menjadi USD14,72 miliar pada Februari dari USD27,3 miliar pada Januari lalu. Terlepas dari itu, Beijing telah berjanji untuk membeli lebih banyak barang dari AS, seperti produk pertanian sebagai bagian dari diskusi perdagangan.
Presiden AS Donald Trump belum lama ini mengatakan bahwa pembicaraan perdagangan berjalan dengan baik dan mengatakan akan ada kesepakatan yang baik, atau tidak ada kesepakatan sama sekali antara dua ekonomi terbesar di dunia tersebut.
Pada saat yang sama, permintaan global telah melemah, terutama di Eropa. Ekspor China ke semua pasar utamanya jatuh secara menyeluruh bulan lalu.
Diplomat top pemerintah China, Anggota Dewan Negara Wang Yi, mengatakan bahwa pembicaraan perdagangan telah membuat kemajuan substantif, dan bahwa hubungan kedua negara tidak boleh turun ke konfrontasi.
Ekonomi China sudah melambat tahun lalu sebelum ketegangan perdagangan meningkat, sebagian karena pengekangan peraturan pada pinjaman berisiko yang membuat perusahaan-perusahaan pembiayaan swasta lebih kecil dan kekurangan investasi dan menahan investasi.
Pemerintah China menargetkan pertumbuhan ekonomi 6-6,5% pada 2019. Perdana Menteri Li Keqiang mengatakan pada pembukaan pertemuan tahunan parlemen China hari Selasa (5/3) lalu, target itu memang lebih rendah daripada yang ditetapkan untuk 2018.
Pertumbuhan aktual tahun lalu melambat menjadi 6,6% dan diperkirakan akan mendingin lebih lanjut menjadi 6,2% tahun ini. Banyak analis memperkirakan paruh pertama yang bergejolak sebelum langkah-langkah stimulus mulai menstabilkan aktivitas ekonomi di sekitar pertengahan tahun.
Perlambatan ekonomi China dan perang dagang memiliki dampak pada negara-negara dan bisnis yang bergantung pada perdagangan lainnya di seluruh dunia. Sebagai contoh, ekspor Jepang pada Januari tercatat turun paling besar dalam lebih dari dua tahun karena pengiriman yang menuju China anjlok.
Pada hari Kamis (7/3), produsen chip otomotif Renesas Electronics Corp mengatakan berencana untuk menghentikan produksi di enam pabrik di Jepang hingga dua bulan tahun ini karena bersiap untuk perlambatan lebih lanjut dalam permintaan China.
(fjo)