Fed Fund Rate Makin Longgar, Ekonom Yakini BI Tahan Bunga Acuan
A
A
A
JAKARTA - Ekonom meyakini arah gerak Fed Fund Rate (FFR) semakin longgar (dovish) dimana bank sentral AS tersebut tidak lagi agresif menaikkan suku bunganya mengingat sudah ada indikasi perlambatan pertumbuhan ekonomi di bawah 3% disertai laju inflasi mendekati 2%.
Namun, The Fed masih memiliki dua pilihan, antara menahan FFR di level saat ini 2,25%-2,50% hingga akhir tahun 2019 atau menaikkan FFR hanya sekali sebesar 25 bps menjadi 2,5%-2,75% hingga akhir tahun 2019.
"Bahkan ada yang menghendaki FFR turun 25 bps menjadi 2,0%-2,25% hingga akhir tahun 2019 untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi AS," kata Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto di Jakarta, Rabu (20/3/2019).
Sejumlah bank sentral di dunia juga cenderung menahan suku bunga acuannya dan beberapa bank sentral malah sudah menurunkan suku bunga acuan (Bank of Japan (BOJ) and the European Central Bank (ECB)).
Dengan demikian, diramalkan Bank Indonesia (BI) pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI besok masih akan tetap mempertahankan suku bunga acuan atau BI7DRRR di level 6%.
"Hal tersebut disebabkan BI dan pemerintah memiliki stance yang sama, yakni stability over growth, sehingga pilihan paling rasional dan taktis adalah RDG BI tetap menahan BI7DRRR di level 6% juga deposit facility dan lending facility di level yang tetap," ujarnya.
Ryan melanjutkan, level bunga acuan yang 6% saat ini sesungguhnya sudah priced in atau factored in dimana level 6% ini sudah mempertimbangkan peluang FFR naik 25-50 bps di tahun 2019 ini. Langkah BI yang tahun 2018 lalu secara agresif menaikkan BI7DRRR sebesar 175 bps dari 4,25% ke 6% menurutnya merupakan langkah antisipatif (preemptive dan ahead the curve) yang tepat mengiringi kenaikan FFR 100 bps saat itu.
Menurut Ryan, keputusan mempertahankan bunga acuan bisa membantu penguatan daya tahan ekonomi Indonesia terhadap tekanan eksternal (perang dagang, risiko geopolitik dan Brexit), menjaga stabilitas makroekonomi, khususnya rupiah, dan mempertahankan daya tarik investor asing untuk memegang aset dalam rupiah karena lebih atraktif.
"Juga membantu masuknya dana asing atau capital inflows yang dapat menguatkan kurs rupiah, IHSG di BEI serta memperkecil defisit transaksi berjalan (CAD) menjauhi 3% dari PDB," ungkap dia. Selain itu, momentum pertumbuhan pun masih bisa dikelola dengan baik.
"Dengan ditahannya BI7DRRR akan disambut gembira kalangan perbankan, sektor riil dan investor portofolio karena level 6% ini dinilai akomodatif," imbuhnya.
Namun, The Fed masih memiliki dua pilihan, antara menahan FFR di level saat ini 2,25%-2,50% hingga akhir tahun 2019 atau menaikkan FFR hanya sekali sebesar 25 bps menjadi 2,5%-2,75% hingga akhir tahun 2019.
"Bahkan ada yang menghendaki FFR turun 25 bps menjadi 2,0%-2,25% hingga akhir tahun 2019 untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi AS," kata Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto di Jakarta, Rabu (20/3/2019).
Sejumlah bank sentral di dunia juga cenderung menahan suku bunga acuannya dan beberapa bank sentral malah sudah menurunkan suku bunga acuan (Bank of Japan (BOJ) and the European Central Bank (ECB)).
Dengan demikian, diramalkan Bank Indonesia (BI) pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI besok masih akan tetap mempertahankan suku bunga acuan atau BI7DRRR di level 6%.
"Hal tersebut disebabkan BI dan pemerintah memiliki stance yang sama, yakni stability over growth, sehingga pilihan paling rasional dan taktis adalah RDG BI tetap menahan BI7DRRR di level 6% juga deposit facility dan lending facility di level yang tetap," ujarnya.
Ryan melanjutkan, level bunga acuan yang 6% saat ini sesungguhnya sudah priced in atau factored in dimana level 6% ini sudah mempertimbangkan peluang FFR naik 25-50 bps di tahun 2019 ini. Langkah BI yang tahun 2018 lalu secara agresif menaikkan BI7DRRR sebesar 175 bps dari 4,25% ke 6% menurutnya merupakan langkah antisipatif (preemptive dan ahead the curve) yang tepat mengiringi kenaikan FFR 100 bps saat itu.
Menurut Ryan, keputusan mempertahankan bunga acuan bisa membantu penguatan daya tahan ekonomi Indonesia terhadap tekanan eksternal (perang dagang, risiko geopolitik dan Brexit), menjaga stabilitas makroekonomi, khususnya rupiah, dan mempertahankan daya tarik investor asing untuk memegang aset dalam rupiah karena lebih atraktif.
"Juga membantu masuknya dana asing atau capital inflows yang dapat menguatkan kurs rupiah, IHSG di BEI serta memperkecil defisit transaksi berjalan (CAD) menjauhi 3% dari PDB," ungkap dia. Selain itu, momentum pertumbuhan pun masih bisa dikelola dengan baik.
"Dengan ditahannya BI7DRRR akan disambut gembira kalangan perbankan, sektor riil dan investor portofolio karena level 6% ini dinilai akomodatif," imbuhnya.
(fjo)