Kebijakan Uni Eropa Terkait Sawit Tidak Berpengaruh di Riau
A
A
A
PEKANBARU - Pusat Statistik (BPS) menyatakan kebijakan Uni Eropa terkait industri kelapa sawit tidak berpengaruh signifikan terhadap ekonomi di Provinsi Riau.
Kepala BPS Provinsi Riau, Aden Gultom, menegaskan sejauh ini ekspor CPO (crude palm oil) dari Riau masih normal. Dia menegaskan tidak terpengaruhnya karena Uni Eropa bukan tujuan utama ekpor kelapa sawit.
"Tujuan utama ekspor industri kelapa sawit Riau adalah China dan India. Uni Eropa hanya sedikit saja. Jadi tidak begitu pengaruh atas kebijakan Uni Eropa soal sawit," kata Aden di Pekanbaru, Senin (1/4/2019).
Namun demikian, industri di sektor kelapa sawit di Riau harus tetap waspada. Mengingat saat ini, China mewacanakan akan menggunakan bahan alternatif lain dari minyak nabati. Jika ini terjadi, ekspor kelapa sawit dari Riau akan terganggu.
"China sedang mewacanakan minyak nabati dari bunga matahari. Jika ini jadi diproduksi secara massal, tentu mengancam ekspor kelapa sawit kita," ucapnya.
Selain itu, Riau belakangan juga mengalami kendala ekspor kelapa sawit di India. Mengingat ada kebijkanan Pemerintah India untuk industri sawit.
"Ada sejumlah kebijakan sawit oleh India yang mendiskriminasikan sawit kita. Ini berbeda dengan industri sawit milik Malaysia yang sangat dipermudah masuk ke India," tegasnya.
Belakangan ini, Uni Eropa melakukan penerapan standar ganda untuk mendiskriminasi kelapa sawit sebagai minyak nabati. Dimana negara-negara Uni Eropa berupaya melakukan proteksi terselubung untuk melindungi produk minyak nabati mereka yang daya saing dan produktivitasnya jauh lebih rendah dari minyak kelapa sawit.
"Secara nasional, kebijakan Uni Eropa, berpengaruh, namun khusus untuk Riau tidak berpengaruh atas kebijakan Uni Eropa itu," imbuhnya.
Secara umum, Aden menjelaskan nilai ekspor Riau berdasarkan harga Free On Board (FOB) pada bulan Februari 2019 mencapai USD927,48 juta atau mengalami penurunan 6,21% dibanding ekspor bulan Januari 2019 sebesar USD988,86 juta.
Penurunan ini disebabkan oleh turunnya ekspor non migas sebesar 9,92%. Ekspor non migas dari semula USD947,93 juta pada bulan Januari 2019 turun menjadi USD853,92 juta pada bulan Februari 2019.
Sedangkan ekspor migas naik 79,71%, yaitu eskpor migas dari USD40,93 juta pada bulan Januari 2019 naik menjadi USD73,56 juta pada bulan Februari 2019.
Selama Januari-Februari 2019, nilai ekspor Riau mengalami penurunan 29,65% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang disebabkan oleh turunnya ekspor migas dan non migas masing-masing sebesar 74,71% dan 20,67%. Penurunan ekspor migas disebabkan oleh turunnya ekspor minyak mentah 84,03% dan ekspor industri pengolahan hasil minyak sebesar 5,91%.
Aden Gultom menegaskan, pada periode Januari-Februari 2019, ekspor non migas ke 10 negara tujuan utama memberikan kontribusi 67,04% terhadap total nilai ekspor non migas Riau. Dari 10 negara tujuan utama, lima diantaranya memberikan kontribusi terbesar.
"Lima negara itu adalah India sebesar USD270,84 juta (15,03%), selanjutnya China USD248,56 juta (13,79%), Belanda USD144,41 juta (8,01%), Pakistan USD102,80 juta (5,70%), dan Malaysia USD101,25 juta (5,62%), dengan kontribusi kelimanya mencapai 48,16%," tukasnya.
Kepala BPS Provinsi Riau, Aden Gultom, menegaskan sejauh ini ekspor CPO (crude palm oil) dari Riau masih normal. Dia menegaskan tidak terpengaruhnya karena Uni Eropa bukan tujuan utama ekpor kelapa sawit.
"Tujuan utama ekspor industri kelapa sawit Riau adalah China dan India. Uni Eropa hanya sedikit saja. Jadi tidak begitu pengaruh atas kebijakan Uni Eropa soal sawit," kata Aden di Pekanbaru, Senin (1/4/2019).
Namun demikian, industri di sektor kelapa sawit di Riau harus tetap waspada. Mengingat saat ini, China mewacanakan akan menggunakan bahan alternatif lain dari minyak nabati. Jika ini terjadi, ekspor kelapa sawit dari Riau akan terganggu.
"China sedang mewacanakan minyak nabati dari bunga matahari. Jika ini jadi diproduksi secara massal, tentu mengancam ekspor kelapa sawit kita," ucapnya.
Selain itu, Riau belakangan juga mengalami kendala ekspor kelapa sawit di India. Mengingat ada kebijkanan Pemerintah India untuk industri sawit.
"Ada sejumlah kebijakan sawit oleh India yang mendiskriminasikan sawit kita. Ini berbeda dengan industri sawit milik Malaysia yang sangat dipermudah masuk ke India," tegasnya.
Belakangan ini, Uni Eropa melakukan penerapan standar ganda untuk mendiskriminasi kelapa sawit sebagai minyak nabati. Dimana negara-negara Uni Eropa berupaya melakukan proteksi terselubung untuk melindungi produk minyak nabati mereka yang daya saing dan produktivitasnya jauh lebih rendah dari minyak kelapa sawit.
"Secara nasional, kebijakan Uni Eropa, berpengaruh, namun khusus untuk Riau tidak berpengaruh atas kebijakan Uni Eropa itu," imbuhnya.
Secara umum, Aden menjelaskan nilai ekspor Riau berdasarkan harga Free On Board (FOB) pada bulan Februari 2019 mencapai USD927,48 juta atau mengalami penurunan 6,21% dibanding ekspor bulan Januari 2019 sebesar USD988,86 juta.
Penurunan ini disebabkan oleh turunnya ekspor non migas sebesar 9,92%. Ekspor non migas dari semula USD947,93 juta pada bulan Januari 2019 turun menjadi USD853,92 juta pada bulan Februari 2019.
Sedangkan ekspor migas naik 79,71%, yaitu eskpor migas dari USD40,93 juta pada bulan Januari 2019 naik menjadi USD73,56 juta pada bulan Februari 2019.
Selama Januari-Februari 2019, nilai ekspor Riau mengalami penurunan 29,65% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang disebabkan oleh turunnya ekspor migas dan non migas masing-masing sebesar 74,71% dan 20,67%. Penurunan ekspor migas disebabkan oleh turunnya ekspor minyak mentah 84,03% dan ekspor industri pengolahan hasil minyak sebesar 5,91%.
Aden Gultom menegaskan, pada periode Januari-Februari 2019, ekspor non migas ke 10 negara tujuan utama memberikan kontribusi 67,04% terhadap total nilai ekspor non migas Riau. Dari 10 negara tujuan utama, lima diantaranya memberikan kontribusi terbesar.
"Lima negara itu adalah India sebesar USD270,84 juta (15,03%), selanjutnya China USD248,56 juta (13,79%), Belanda USD144,41 juta (8,01%), Pakistan USD102,80 juta (5,70%), dan Malaysia USD101,25 juta (5,62%), dengan kontribusi kelimanya mencapai 48,16%," tukasnya.
(ven)